Mesir dan Israel Diduga Dukung Kudeta Militer di Sudan
Mesir dinilai hanya diam ketika sebagian besar negara menolak kudeta di Sudan.
REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Mantan menteri luar negeri Sudan Mariam al-Sadiq al-Mahdi menuduh Mesir dan Israel mendukung kudeta militer di Sudan. Al-Mahdi mengatakan, Mesir hanya diam ketika sebagian besar negara menolak kudeta di Sudan.
"Bahkan ada negara-negara yang ingin mendukung kudeta, seperti Mesir misalnya. Selama Dialog Strategis AS-Mesir, Mesir terpaksa mengutuk kudeta," ujar al-Mahdi, dilansir Anadolu Agency, Rabu (24/11).
Pada 25 Oktober, kepala dewan militer yang berkuasa di Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan menyatakan, keadaan darurat dan membubarkan pemerintah transisi. Setelah militer mengambil alih, Mesir mengeluarkan pernyataan yang menyerukan semua pihak Sudan menahan diri dan berusaha mencapai konsensus nasional.
Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry mengatakan, Mesir tidak mendukung pihak manapun di Sudan, dan tidak mencampuri urusan negara lain. Sementara terkait dukungan Israel, al-Mahdi mengatakan, Pemerintah Sudan mengetahui tentang posisi Israel yang mendukung kudeta militer meskipun tidak berada di garis depan.
Dia menambahkan, utusan khusus AS untuk Tanduk Afrika Jeffrey Feltman telah mengunjungi Israel untuk mendukung kudeta. Secara resmi, Israel tidak mengomentari perkembangan di Sudan tetapi Public Broadcasting Corporation yang dikelola negara mengatakan, delegasi Israel bertemu dengan al-Burhan di Khartoum.
Sementara, wakil kepala dewan militer yang berkuasa di Sudan Mohamed Hamdan Dagalo mengunjungi Israel menjelang kudeta militer. Terkait kesepakatan politik yang ditandatangani antara al-Burhan dan Perdana Menteri Abdalla Hamdok, al-Mahdi mengatakan, kesepakatan itu sebuah kemunduran. Dia menambahkan, Hamdok tidak berkonsultasi dengan jajaran menterinya sebelum menandatangani perjanjian.
"Posisi kami sebagai koalisi Pasukan Kebebasan dan Perubahan (FFC) adalah menentang kesepakatan itu dan tetap berpegang pada tuntutan rakyat," kata al-Mahdi.
Al-Mahdi dan 11 menteri lainnya mengumumkan pengunduran diri mereka pada Senin (22/11), sebagai protes atas perjanjian politik yang ditandatangani antara Hamdok dan militer. Kesepakatan yang terdiri dari 14 poin itu menetapkan deklarasi politik 2019 akan menjadi dasar bagi transisi demokrasi Sudan, dan pemilihan akan diadakan pada 2023 sesuai jadwal. Kesepakatan tersebut juga mengatur agar perdana menteri membentuk pemerintahan teknokrat.
Sebagian besar masyarakat internasional menyambut baik kesepakatan tersebut. Sementara, kekuatan politik Sudan telah menilai kesepakatan itu sebagai upaya melegitimasi kudeta.
Sebelum militer mengambil alih, Sudan dikelola dewan berdaulat antara pejabat militer dan sipil, yang mengawasi periode transisi hingga pemilihan umum pada 2023. Hal ini sebagai bagian dari pakta pembagian kekuasaan antara militer dan koalisi Pasukan untuk Kebebasan dan Perubahan.