Stabilkan Harga, Biden Perintahkan Pelepasan Cadangan Minyak

Pelepasan cadangan minyak dilakukan karena OPEC enggan tambah produksi.

AP Photo/Evan Vucci
Presiden AS Joe Biden
Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden AS Joe Biden pada Selasa (23/11) memerintahkan pelepasan 50 juta barel cadangan minyak AS untuk menstabilkan harga. Hal ini dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan konsumen minyak utama lainnya termasuk India, Inggris, dan China.

Baca Juga


Aksi ini difokuskan untuk mengatasi kenaikan harga jelang libur akhir tahun. American Automobile Association mengungkapkan harga bensin saat ini lebih tinggi 50 persen dibandingkan tahun lalu. "Ini akan memakan waktu, tetapi tidak lama lagi, Anda akan melihat harga turun sehingga dapat mengisi tangki Anda," ujar Biden seperti dilansir AP News, Rabu (24/11).

Pelepasan cadangan ini dilakukan lantaran aliansi OPEC Plus antara Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutu termasuk Rusia menolak permintaan berulang dari Washington untuk memompa lebih banyak minyak. Ini menyebabkan harga tinggi.

Tak lama setelah pengumuman AS, India mengatakan akan melepas 5 juta barel dari cadangan strategisnya. Inggris menegaskan akan melepaskan hingga 1,5 juta barel dari persediaannya.

Jepang juga akan mengadakan lelang untuk sekitar 4,2 juta barel minyak dari cadangan nasionalnya setelah pengumuman Amerika Serikat tentang pelepasan cadangan terkoordinasi di antara negara-negara ekonomi utama.

Surat kabar Nikkei melaporkan, lelang untuk minyak mentah, sekitar 1 atau 2 hari permintaan untuk Jepang, akan diadakan pada akhir tahun.

Terlepas dari semua pernyataan optimistis itu, tindakan AS dan negara lain ini berisiko dilawan oleh negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi dan Rusia. Mereka telah menegaskan hendak mengendalikan pasokan untuk menjaga harga tetap tinggi.

Pada perdagangan Selasa, minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Januari melonjak 2,61 dolar AS atau 3,3 persen, menjadi menetap di 82,31 dolar AS per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Januari naik 1,75 dolar AS atau 2,3 persen, menjadi ditutup di 78,50 dolar AS per barel.

Itu adalah persentase kenaikan harian terbesar untuk Brent sejak Agustus dan penutupan tertinggi sejak 16 November. Ini juga mendorong premi Brent atas WTI ke level tertinggi sejak pertengahan Oktober.

Sementara di Asia, harga minyak justru turun karena isu tersebut. Sementara, investor mengambil keuntungan dari reli hari sebelumnya menjelang liburan Thanksgiving AS.

Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS melemah 12 sen atau 0,2 persen, menjadi diperdagangkan di 78,38 dolar AS per barel pada pukul 01.22 GMT, berbalik dari kenaikan 2,3 persen pada hari sebelumnya. Minyak mentah berjangka Brent merosot 32 sen atau 0,4 persen, menjadi diperdagangkan di 81,99 dolar AS per barel, setelah naik 3,3 persen pada Selasa.

"Upaya terkoordinasi oleh negara-negara konsumen minyak utama untuk menurunkan harga minyak mentah mendorong penjualan baru," kata Kazuhiko Saito, kepala analis di Fujitomi Securities Co Ltd.

Menambah tekanan, stok minyak mentah dan bensin AS naik minggu lalu sementara persediaan sulingan turun, menurut sumber pasar yang mengutip angka American Petroleum Institute (API) pada Selasa. Stok minyak mentah naik 2,3 juta barel untuk pekan yang berakhir 19 November, terhadap ekspektasi analis untuk penurunan sekitar 500.000 barel. Persediaan bensin naik sekitar 600.000 barel dan stok sulingan turun 1,5 juta barel, data menunjukkan.

Namun, beberapa analis mengatakan efek pada harga dari rilis terkoordinasi kemungkinan akan berumur pendek setelah bertahun-tahun penurunan investasi dan pemulihan global yang kuat dari pandemi COVID-19. Rilis terkoordinasi dapat menambah sekitar 70 juta hingga 80 juta barel pasokan minyak mentah, lebih kecil dari 100 juta barel yang telah diperkirakan pasar, kata analis di Goldman Sachs.

"Ancaman lebih banyak pasokan dalam jangka pendek tentu menciptakan pasar minyak secara artifisial lebih longgar untuk periode 1-2 bulan ke depan," Louise Dickson, analis pasar minyak senior di Rystad Energy, mengatakan dalam sebuah laporan.

"Namun, langkah (Presiden AS) Biden dan para pemimpin lainnya mungkin hanya mendorong masalah pasokan ke berlalunya waktu, karena mengosongkan penyimpanan akan menambah tekanan pada stok minyak yang sudah rendah," tambahnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler