Representasi Distorsi Wanita Muslim di Produksi Film Barat
Penggambaran wanita Muslim di film barat kerap tak akurat.
REPUBLIKA.CO.ID,ANKARA -- Seperti bentuk karya seni lainnya, sinema adalah cerminan realitas. Namun, kenyataan yang ditampilkan di layar tidak natural, yakni realitas yang direproduksi oleh tangan-tangan manusia.
Sebagai bahasa artistik yang penting, sinema telah menyaksikan lingkaran kehidupan dan mencerminkan realitas terstruktur masyarakat sejak awal. Dunia film juga telah mewakili perempuan dalam berbagai cara selama lebih dari 100 tahun.
Representasi perempuan di layar lebar ini mulai diamati secara seksama dan dikritisi dari waktu ke waktu. Fakta perempuan direfleksikan secara menyimpang dan sejalan dengan kepentingan budaya patriarki, menjadi kritik utama, termasuk perihal keragaman.
Keanekaragaman adalah fokus terbesar dari sektor perfilman dan TV saat ini. Mereka tidak hanya merepresentasikan perempuan, tetapi juga penggambaran umum dari semua jenis orang di layar. Dalam media visual, keragaman berarti lebih banyak representasi dari beragam kelompok ras atau etnis, perempuan dan orang-orang dengan disabilitas kognitif atau fisik.
Meskipun sektor perfilman dan TV mulai lebih memperhatikan keragaman setelah banyak kritik keras, representasi kelompok yang kurang terwakili mungkin masih memiliki masalah.
Baru-baru ini, ada sedikit peningkatan dalam representasi perempuan Muslim. Tetapi, penggambaran mereka yang berpotensi tidak akurat telah memicu kontroversi yang lebih besar.
Dilansir di Daily Sabah, Kamis (25/11), Annenberg Inclusion Initiative dari University of Southern California melakukan penelitian tentang representasi Muslim di layar pada bulan Juni tahun ini.
200 film paling populer yang diproduksi pada 2017-2019 di AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru menjadi objek penelitian. Prakarsa tersebut mengungkapkan Inggris memiliki tingkat kehadiran wanita Muslim di layar tertinggi sebesar 36,7 persen.
Angka ini diikuti oleh AS dengan 25,5 persen, Australia dengan 15,9 persen dan Selandia Baru tanpa perwakilan. Meski hampir seperempat dari populasi dunia adalah Muslim, tingkat keterwakilan ini masih sangat rendah.
Lebih dari itu, muncul diskusi besar tentang representasi perempuan Muslim di layar sebenarnya adalah bagaimana karakter mereka dibentuk dalam film dan serial TV Barat. Dalam sebagian besar produksi ini, terlihat perempuan Muslim umumnya distereotipkan.
Misalnya, wanita Muslim direpresentasikan sebagai karakter yang tertekan dan pendiam, sering dimanipulasi oleh pria. Dalam penggambaran lain, mereka diprofilkan sebagai karakter radikal yang umumnya terlibat dalam kegiatan teroris. Atau mereka ditampilkan sebagai individu yang perlu dibebaskan oleh orang Barat, orang kulit putih.
Selain itu, menurut penelitian Annenberg Inclusion Initiative, wanita Muslim terutama ditampilkan sebagai pasangan romantis dan bagian dari anggota keluarga.
Seorang akademisi di departemen radio-televisi dan sinema Universitas Marmara, Mesut Bostan, mengatakan produksi Barat menciptakan fantasi oriental dengan penggambaran perempuan yang bermasalah. Menurut akademisi, wanita Muslim adalah misteri yang tidak diketahui bagi Barat dan hal ini menghasilkan penciptaan beberapa fantasi.
Menurut CEO layanan streaming video daring Alchemiya, Navid Akhtar, dalam produksi sinematik Barat, para produser tidak tahu apa-apa tentang wanita Muslim. Mereka hanya mencoba mencerminkan karakter ini sesuai dengan sudut pandang mereka. Ia juga mengatakan perspektif produsen Barat tentang wanita Muslim tidak akurat.
Distrosi representasi perempuan Muslim dalam film dan serial TV dapat menyerupai lukisan Orientalis era Ottoman. Meskipun para seniman ini belum pernah melihat harem, mereka menciptakan banyak mahakarya yang menggambarkan kehidupan harem, yang tidak lebih dari fantasi pribadi mereka.
Di Barat, sebenarnya ada wacana umum tentang perempuan Muslim yang mengancam tradisi sekuler dan nilai-nilai kebebasan. Refleksi problematis perempuan-perempuan ini di layar kaca seolah menunjukkan kekuatan media dalam menegaskan keberbedaan perempuan Muslim dalam wacana umum itu.
Saat ini, Netflix adalah salah satu platform yang paling menarik reaksi terhadap serial TV dan filmnya, yang menampilkan stereotip, representasi terdistorsi dari wanita Muslim. Beberapa yang bisa dilihat ada dalam tayangan “The Bodyguard” dan “Elite”.
The Bodyguard merupakan film bergenre thriller, tentang seorang veteran perang yang ditugaskan untuk melindungi politisi. Sementara itu, Elite merupakan tayangan drama remaja Spanyol. Representasi perempuan Muslim yang sangat mengganggu menjadi kesamaan dari kedua produksi itu.
Dalam “The Bodyguard”, Anjli Mohindra memerankan seorang wanita berhijab bernama Nadia, dengan cara hidup yang benar-benar sesuai stereotip. Mengenakan syal hitam, Nadia tampaknya telah dicuci otak suaminya hingga melakukan aksi bunuh diri, tapi dia kemudian diselamatkan oleh aktor utama, Richard Madden.
Awalnya, orang-orang akan berpikir dia digambarkan sebagai karakter yang dimanipulasi dan diselamatkan oleh pahlawan pria kulit putih. Tetapi, ternyata dia adalah dalang teroris di balik semua serangan berikutnya. Nadia seolah mencerminkan stereotip yang mengancam.
Menonton "Elite", kita melihat gadis lain bernama Nadia, seorang siswi beasiswa cerdas yang mengenakan jilbab di musim pertama seri. Di musim kedua, ia digambarkan melepas jilbabnya dan berjalan ke bar dengan tampilan yang sangat seksi.
Masalah yang muncul dalam film ini bukan apakah dia berhijab atau tidak, tetapi serial tersebut dengan jelas menyiratkan jika Nadia baru bebas setelah melepas jilbabnya.
Navid Akhtar menyebut banyak penggambaran yang bermasalah serupa ini menarik perhatian media. Dunia Muslim disebut harus menggambarkan diri mereka dengan cara yang tepat, dengan memproduksi film dan serial mereka sendiri.
“Kami tidak bisa mengontrol media. Kami mungkin hanya menghasilkan 5 persen dari Hollywood. Dari perspektif Muslim, kami tidak memiliki cukup uang dan tidak melatih cukup banyak orang di sektor perfilman,” kata dia.
Banyak profesional perfilman lainnya berpikiran sama dengan Akhtar tentang masalah ini. Misalnya, aktor Riz Ahmed, Muslim pertama yang dinominasikan untuk aktor terbaik di Academy Awards.
Ia meluncurkan inisiatif yang bekerja sama dengan banyak mitra, untuk memperbaiki cara Muslim digambarkan dalam film. Hal ini ia lakukan setelah studi Annenberg Inclusion Initiative mengungkapkan Muslim jarang muncul dalam film dan jika hadir, mereka digambarkan dalam gamabran yang negatif.
Sumber:
https://www.dailysabah.com/arts/distorted-representation-of-muslim-women-in-western-productions/news