Kejagung Tetapkan Seorang Pengacara Tersangka di Kasus LPEI
Pengacara berinisial DWW tersebut langsung ditahan.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) menetapkan pengacara berinisial DWW sebagai tersangka terkait kasus penghalang-halangan penyidikan dugaan korupsi pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Rabu (1/12) dini hari. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menetapkan status tersangka tersebut, setelah tim penyidikan melakukan penangkapan terhadapnya di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan (Jaksel), Selasa (30/11) malam.
Setelah ditangkap, dan dibawa ke gedung Pidana Khusus (Pidsus) di Komplek Kejakgung, penyidik sempat melakukan pemeriksaan, dan cek kesehatan. Sekitar pukul 12 malam lewat, Rabu (1/12), tim penyidik Jampidsus, merilis status tersangka DWW tersebut, dan memastikan melakukan penahanan terhadap tersangka itu. “Untuk mempercepat proses penyidikan terkait perkara, penyidikan pada Jampidsus melakukan penahanan terhadap tersangka DWW,” kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Leonard Ebenezer Simanjuntak, Rabu (1/12) dini hari.
Tersangka DWW, kata Ebenezer, ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, cabang Kejakgung. Penahanan dilakukan selama 20 hari terhitung, pada Selasa (30/11). Dengan penetapan tersebut, kini ada total delapan tersangka terkait perkara penghalang-halangan penyidikan dugaan korupsi pada LPEI tersebut. Awal November lalu, Selasa (2/11), Jampidsus, sudah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka awalan. Para tersangka itu, antara lain; mantan Direktur Pelaksana UKM dan Asuransi Penjaminan LPEI 2016-2018 IS, dan NH mantan Kepala Departemen Analisa Risiko Bisnis (ARB)-II LPEI 2017-2018.
EM yang ditetapkan sebagai mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) LPEI Makassar 2019-2020. CRGS yang ditetapkan tersangka selaku mantan Relationship Manager Divisi Unit Bisnis LPEI 2015-2020 Kanwil Surakarta. Tersangka lainnya, Deputi Bisnis LPEI 2016-2018 kanwil Surakarta, AA. Dan ML yang ditetapkan tersangka selaku mantan Kepala Departemen Bisnis UKMK LPEI, serta RAR, tersangka pegawai manager risiko PT BUS Indonesia. Para tersangka tersebut, dijerat dengan Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) 31/1999-20/2001.
Direktur Penyidikan Jampidsus Supardi menjelaskan, tersangka DWW, adalah pengacara dari tujuh tersangka yang sudah ditetapkan sebelumnya. Kata Supardi, DWW sudah pernah dipanggil untuk diperiksa penyidik sebanyak dua kali, pada Jumat (26/11), dan Selasa (30/11). Pemanggilan tersebut kata Supardi terkait dugaan DWW, memengaruhi para kliennya, untuk menghalang-halangi penyidikan dugaan korupsi LPEI yang sedang dalam penyidikan di Jampidsus. Akan tetapi, dua kali pemanggilan tersebut, DWW mangkir.
“Setelah penyidik menemukan cukup bukti adanya peran dari kuasa hukum tujuh tersangka sebelumnya itu, penyidik menaikkan status penyidikan terhadap pengacara DWW menjadi tersangka,” ujar Supardi, pada Rabu (1/12). Supardi mengatakan, DWW adalah pihak utama yang sengaja memengaruhi, dan mengajak, juga memberikan arahan kepada tujuh tersangka sebelumnya itu, untuk menghalang-halangi tugas penyidikan di Jampidsus, dalam penanganan perkara dugaan korupsi di LPEI.
Namun delapan tersangka sementara ini, belum terkait dengan materi pokok kasus korupsi di LPEI itu sendiri. Supardi pernah menerangkan, tersangka materi pokok perkara LPEI masih dalam penyidikan lanjutan. Kata dia, bisa saja dari penyidikan lanjutan, para tersangka yang ada saat ini, ditetapkan kembali sebagai tersangka terkait materi pokok perkara korupsi di LPEI. Akan tetapi, kata Supardi, penetapan tersangka yang ada saat ini, akan menguak fakta di persidangan, tentang perkara pokoknya.
Adapun perkara pokok terkait korupsi LPEI itu, Supardi pernah menjelaskan, dugaan korupsi itu terjadi pada periode pengurusan LPEI 2013-2019. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 4,7 triliun. Kasus tersebut, terkait dengan pemberian fasilitas kredit dan pembiayaan oleh LPEI terhadap banyak perusahaan-perusahaan ekspor di dalam negeri. Akan tetapi pemberian pembiayaan kredit ekspor tersebut terindikasi menyimpang, dan membuat kerugian negara. “Ada satu perusahaan itu, yang (merugikan negara) sampai triliunan rupiah,” terang Supardi.
Dugaan lainnya, berupa pemberian fasilitas kredit ekspor dari LPEI terhadap para debitur yang tak tepat sasaran, dan tak sesuai peruntukan. “Ada juga (perusahaan debitur) yang tidak memiliki izin ekspor tetapi dia menerima kredit ekspor LPEI itu,” terang Supardi. Dari penyidikan, juga terungkap, beberapa perusahaan penerima kredit pembiyaan ekspor tersebut, tak memiliki jaminan yang sebanding dengan kontrak dengan LPEI sebagai kreditur. “Intinya, itu kredit macet. Agunannya, tidak sesuai dari kredit yang diberikan,” terang Supardi.