Lobi Guru dan Orang Tua, Taliban Herat Izinkan Sekolah Putri
Keberhasilan di Herat menunjukkan perbedaan antara Taliban sekarang dan dulu.
REPUBLIKA.CO.ID, Banyak siswi di Afghanistan tidak pergi ke sekolah karena dilarang pemerintah Taliban. Tapi ada satu pengecualian.
Selama beberapa pekan putri-putri di barat Provinsi Herat sudah kembali ke ruang kelas. Keberhasilan ini merupakan hasil dari usaha unik guru dan orang tua yang membujuk penguasa Taliban setempat untuk mengizinkan sekolah perempuan di desa itu dibuka kembali.
Usai lobi sebenarnya pemerintah Taliban tidak pernah resmi membuka sekolah putri itu. Tapi mereka juga tidak mencegah ketika para guru dan orang tua memulai kembali kelas pada awal Oktober. "Orang tua, siswi dan guru bergandengan tangan untuk melakukan ini," kata ketua serikat guru Herat, Mohammed Saber Meshaal, Rabu (1/12).
"Ini satu-satunya tempat di mana aktivis komunitas dan guru mengambil resiko untuk bertahan dan berbicara dengan Taliban," tambahnya.
Keberhasilan di Herat menunjukkan perbedaan besar antara kekuasaan Taliban yang sekarang dengan kekuasaan mereka sebelumnya pada tahun 1990-an. Ketika itu milisi tersebut sama sekali tidak berkompromi.
Mereka memaksakan ideologi garis keras dengan, melarang perempuan memiliki kehidupan di luar rumah dan bersekolah. Mereka menerapkan hukum yang brutal untuk menegakan peraturan-peraturan tersebut.
Kali ini tampaknya mereka menyadari tidak dapat lagi begitu kejam di Afghanistan yang sudah berubah drastis dalam 20 tahun terakhir. Mereka tetap menerapkan beberapa peraturan lama tapi tidak begitu ambisius mengenai apa yang diperbolehkan dan yang tidak.
Ambiguitas ini mungkin untuk menghindari alienasi terutama saat Taliban tengah menghadapi kehancuran ekonomi. Bantuan internasional tertahan, ancaman kelaparan dan bahaya meningkatnya pemberontakan dari ISIS. Mereka mencoba memperkecil kemungkinan rakyat Afghanistan melakukan perlawanan.
Saat Taliban berkuasa pada Agustus lalu sebagian besar sekolah ditutup karena pandemi Covid-19. Atas tekanan internasional Taliban membuka kembali kelas 1 hingga enam untuk anak-anak perempuan dan semua kelas tingkatan untuk anak laki-laki-laki.
Namun mereka belum mengizinkan siswi kelas 7 hingga 12 kembali bersekolah. Taliban beralasan perlu memastikan kelas digelar sesuai 'dengan aturan Islam'. Taliban juga melarang perempuan bekerja di pemerintah yang sebelumnya merupakan menjadi peluang terbesar perempuan Afghanistan. Tapi para guru di Provinsi Herat langsung mengorganisir kelas.
"Ketika Taliban datang, kami sangat khawatir, atas apa yang terjadi sebelumnya," kata kepala sekolah Sekolah Putri Tajrobawai, Basira Basiratkhah.
Pejabat serikat guru bertemu dengan gubernur Taliban dan departemen pendidikannya. Awal para guru tidak menyinggung sekolah perempuan. Mereka fokus membangun hubungan. "Sampai Taliban datang untuk melihat kami wakil masyarakat," katanya.
Ketika para guru meminta agar sekolah dibuka kembali, para pejabat Taliban menolaknya. Pejabat Taliban setempat mengatakan mereka tidak dapat mengizinkan tanpa perintah dari pemerintah pusat di Kabul.
Namun para guru terus menekannya. Pada September sekitar 40 kepala sekolah perempuan termasuk Basiratkhah bertemu dengan pejabat pendidikan Taliban untuk membahas kekhawatiran utama mereka.
"Kami menyakinkan mereka kelasnya dipisah, hanya guru perempuan dan para siswi mengenakan hijab yang benar, kami tidak perlu melakukan perubahan apa pun, kami Muslim dan kami sudah memenuhi semua syarat Islam," katanya.
Pada bulan Oktober para guru merasa mereka mendapatkan kesepakatan dari Taliban untuk tidak menghalangi mereka. Para guru mulai menyebarkan informasi di Facebook dan saluran media sosial, sekolah putri dibuka kembali pada 3 Oktober.
Orang tua membentuk rantai saluran telepon untuk menyebarkan kabar tersebut. Para siswi memberitahu teman-temannya.
Orang tua murid Mastoura yang dua putrinya kelas satu dan delapan di Sekolah Putri Tajrobawai menelepon orang tua yang lain. Ia mengajak orang tua yang lain untuk bersekolah di sekolah putri.
Beberapa orang tua khawatir Taliban akan menyerang para siswi atau akan ada serangan milisi. Mastoura dan perempuan yang lain masih mengantar putri-putri mereka ke sekolah setiap hari. "Kami memiliki kekhawatiran dan kami masih memilikinya, tapi putri-putri kami harus mendapat pendidikan, tanpa pendidikan hidup anda akan terhambat,"katanya Mastoura.
Fadieh Ismailzadeh yang berusia 14 tahun mengatakan ia menangis bahagia ketika mendengar sekolahnya dibuka kembali. "Kami telah kehilangan harapan sekolah-sekolah akan dibuka kembali," kata siswi kelas sembilan itu.
Tidak semua siswi datang ketika pintu gerbang sekolah Tajrobawai dibuka kembali. Tapi ketika orang tua sudah semakin yakin, kelas terisi penuh dalam beberapa hari. Basiratkhah mengatakan terdapat 3.900 siswi dari kelas 1 hingga 12.