Ulama Klasik tak Alergi dengan Filsafat, Ini Buktinya
Ulama klasik menggunakan logika sebagai metode berpikir logis.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ulama-ulama Islam terdahulu sangat menguasai beragam ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu yang berkaitan dengan sains maupun ilmu pengetahuan umum. Hal demikian dapat terjadi salah satunya dikarenakan mereka mempelajari ilmu filsafat sebagai dasar keilmuan untuk mendalami lautan ilmu lainnya.
Aksin Wijaya dalam buku Teori Interpretasi Alquran Ibnu Rusyd menjelaskan para pemikir Muslim klasik menggunakan alat dalam memproduksi pemikirannya sebagai wacana. Baik dalam bidang filsafat, fikih, kalam, maupun tasawuf. Istilah umum yang digunakan untuk menunjuk pemikiran sebagai alat adalah logika (manthiq), ushul fikih, ulumul-quran, balaghah, dan ilmu nahwu.
Terkait dengan manthiq misalnya, Al-Ghazali menyatakan perbedaan para pemikir tentang nilai penting logika hanya terkait dengan persoalan istilah, bukan makna, esensi, maupun tujuan. Bagi Al-Ghazali, logika berguna untuk melepaskan diri dari hakim indera dan nafsu sambil berpegang teguh pada hakim akal.
Oleh karena itu, Al-Ghazali menganjurkan penggunaan logika dalam merumuskan disiplin keilmuan dan bahkan menjadikannya cermin ilmu (mi’yarul-ilm). Nilai penting logika bagi Al-Ghazali tidak hanya untuk studi ilmu-ilmu sekular, seperti ilmu hitung, alam, dan ilmu ukur. Tapi juga untuk ilmu-ilmu keagamaan seperti ilmu fikih dan kalam.
Pemikiran seseorang tidak akan valid dan akan terjebak pada kesalahan jika tidak menguasai logika. Agar seseorang terbebas dari kesalahan berpikir, Al-Ghazali menyarankan menggunakan logika Aristoteles.
Sebab logika Aristoteles tidak hanya digunakan untuk mengantarkan seseorang mengetahui sesuatu yang tidak diketahui dengan berpijak pada sesuatu yang telah diketahui. Logika juga digunakan untuk membedakan antara pengetahuan dengan kebodohan.
Ibnu Rusyd yang dikenal sebagai pembela filsafat dan filsafat Aristoteles dari kesalahan pemahaman Al-Farabi dan Ibnu Sina, juga menggunakan logika. Logika digunakan sebagai metode berpikir logis dan benar dalam memproduksi pemikiran.
Selain itu, Ibnu Rusyd juga menjadikan logika sebagai metode kritik, baik kritik nalar filsafat maupun kritik nalar syariat. Dia bahkan hendak memberi legitimasi hukum untuk menunjukkan nilai pentingnya logika dan filsafat dalam pemikiran Islam. Dalam karyanya yang berjudul Tahafut at-Tahafut berisi secara terperinci tentang berbagai persoalan logika, fisika, dan metafisika.
Buktu tersebut merupakan upaya menyelamatkan filsafat Aristoteles dari kesalahan yang dibuat Al-Farabi dan Ibnu Sina. Buku itu juga dikenal merupakan sanggahan atas kritik nalar filsafat Al-Ghazali terhadap para filsuf.
Sedangkan dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd berbicara tentang metode nalar fikih ikhtilaf. Yakni membahas persolan-persoalan fikhiyah secara terperinci dengan gaya yang jelas, serta menghadirkan dalil-dalil akurat dari Alquran, sunnah, ijma, dan qiyas. Jika misalnya terdapat kesamaan pandangan di antara fuqaha dalam membahas persoalan tertentu, Ibnu Rusyd akan menyatakan, “Para ulama sepakat… atau para ulama Anshor sepakat… atau mereka sepakat…”.
Dan jika terdapat perbedaan pandangan di antara para fuqaha dalam membahas persoalan fikih, Ibnu Rusyd melansirnya secara jelas dan padat kemudian menjelaskan sebab-sebabnya dan dalil-dalil yang digunakan para fuqaha tersebut. Sehingga dalam kitab karyanya itu, Ibnu Rusyd mencoba menelusuri latar belakang perbedaan dan kesamaan para mujtahid dalam merumuskan hukum Islam.