Masyarakat Gunakan Uang Digital karena Tertarik Promo

Uang digital paling banyak digunakan untuk membeli makanan.

Antara/Puspa Perwitasari
Masyarakat Gunakan Uang Digital karena Tertarik Promo (ilustrasi).
Rep: Arie Lukihardianti Red: Muhammad Fakhruddin

REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Kepemilikan aset kripto di Indonesia mulai tumbuh seiring dengan kian meluasnya penggunaan fasilitas perbankan digital, uang digital (emoney), loka pasar (ecommerce), dan teknologi finansial (tekfin). 


Menurut Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision Bandung, Dimitri Mahayana, pihaknya mensurvei pada 2.095 responden dalam beberapa bulan terakhir. 

"Hasil utama antara lain menunjukkan 11,8 persen responden sudah memiliki aset kripto, 12 persen pernah jual beli aset kripto, serta 5,3 pernah mining (menambang, red) asetnya," ujar Dimitri dalam keterangan pers "Survey eChannel, Fintech, eCommerce dan eLifestyle 2021" di Bandung, akhir pekan ini.

Menurutnya, fenomena baru tersebut simultan seiring banyaknya masyarakat Indonesia yang menggunakan layanan keuangan daring. Misalnya uang digital, yang mana 93,7 persen responden sudah memilikinya. 

"Dalam jawaban terbukanya, tertinggi digunakan Gopay sebesar 79,4 persen. Disusul OVO 66,63 persen, Shopee 58,47 persen, Dana 40,81 persen, eMoney Mandiri 20,33 persen, Flazz BCA 18,66 persen, LinkAja 16,9 persen, Brizzi 7,54 persen," ujar Dosen Sekolah Teknik Elektro Informatika ITB ini.

Uang digital, kata Dimitri, paling banyak digunakan untuk membeli makanan secara delivery. Kemudian berturut-turut membayar ecommerce, transportasi daring, beli pulsa, bayar kafe dan restoran, bayar tol, bayar minimarket, bayar parkir, dan transportasi umum. 

Keluhan terbesar, kata dia, di antaranya karena aplikasi tak bisa digunakan, kartu emoney tidak terdeteksi, menambah nominal dilakukan tapi tak terdeteksi, serta nominal saldo berkurang padahal tak digunakan. 

"QR Code juga makin familiar digunakan dengan jawaban 80 persen dari 2.095 responde menggunakannya. Biasanya QR Code digunakan saat transaksi di kafe, restoran, minimarket, supermarket, tempat rekreasi, hingga pedagang kaki lima," katanya. 

Dimitri mengatakan, 52,8 persen responden juga mengaku mengalami peningkatan belanja di ecommerce. Sementara 31,6 persen mengaku berbelanja tetap serta hanya 12,9 persen yang menjawab menurun. 

Adapun belanja terbesar, kata dia, adalah untuk makanan dan minuman (71,25 persen), fashion dan mode (55,97 persen), pulsa (48,92 persen), buku, hobi, dan koleksi (43,22 persen), kosmetik dan alat kecantikan (40,05 persen), grosir/keperluan sehari-hari (34,72 persen), transportasi jarak jauh (20,98 persen), ponsel, laptop/komputer (16,09 persen), dan booking hotel (14,38 persen). 

Menariknya, kata Dimitri, alasan utama belanja di ecommerce daripada luring adalah karena banyak promo. Setelah itu, karena praktis, bisa belanja kapan dan dimana saja, menghindari keramaian karena pandemi, lebih murah, dan lebih banyak pilihan toko dan produknya. 

Terkait tekfin, Sharing Vision menemukan fakta bahwa tekfin untuk peminjaman (lending) sudah dialami oleh 5,9 persen responden. Alasan utama penggunaan adalah karena pencarian cepat dan mudah, persyaratan tidak ribet, pengajuan cepat, serta tidak memerlukan jaminan. Pun demikian, keluhan utama adalah bunga tinggi, aplikasi tidak bisa diakses, penagihan dilakukan hingga ke kolega peminjam, dan adanya teror oleh debt collector. 

"Seluruh data ini berkorelasi dengan makin jarangnya responden menggunakan ATM dan mengakses kantor cabang bank konvensional. Frekuensi penggunaan yang tumbuh tinggi adalah di mobile banking dan internet bangking," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
 
Berita Terpopuler