Setelah China Gertak Soal Natuna, Menlu Amerika Serikat Datang ke Jakarta

Indonesia diam-diam melawan gertakan China?

Twitter Ned Price - Anadolu Agency
Menlu AS Anthony Blinken tiba di Jakarta pada 13 Desember.
Red: Muhammad Subarkah

IHRAM.CO.ID, Oleh Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika


Setelah China menggertak Indonesia agar jangan melakukan eksplorasi tambang minyak di Natuna, Indonesia diam-diam membalasnya dengan menerima kedatangan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Anthony Blinken, pada kemarin (Senin 12/12). Bahkan, Blinken bersama Dubes AS untuk Republik Indonesia Sung Y Kim sudah melakukan pertemuan di Istana Negara. Tak hanya Jakarta, Blinken juga melakukan kunjungan kerja ke sejumlah negara ASEAN.

“Blinken telah mendarat di Indonesia. Di Jakarta, ia akan membahas tujuan bersama dalam pemulihan Covid-19, memperkuat demokrasi, hubungan perdagangan dan ekonomi, mempertahankan kebebasan navigasi, dan berkolaborasi dalam keamanan siber dengan Indonesia,” ujar juru bicara Kemenlu AS Ned Price di Twitter pada Senin. Berita ini dilansir situs kantor berita Turki, Anadolu Agency.

Dalam pernyataan Kedubes AS di Jakarta, Blinken akan berada di Indonesia pada 13-14 Desember dan bertemu dengan Presiden Joko Widodo, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan pejabat tinggi Indonesia lainnya untuk menegaskan kemitraan strategis kedua negara yang kuat serta arti penting kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.

“Amerika Serikat dan Indonesia memiliki visi yang sama akan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka, termasuk komitmen terhadap kebebasan navigasi dan penerbangan. Indonesia merupakan pemimpin dalam ASEAN dan “jangkar” tatanan berbasis aturan di Indo-Pasifik,” demikian pernyataan Kedubes AS tersebut.

AS juga mendukung upaya kuat Indonesia untuk melindungi hak-hak maritimnya dan mempertahankan diri dalam menghadapi agresi China di Laut China Selatan, termasuk di zona ekonomi eksklusifnya di sekitar Kepulauan Natuna.

Keterangan foto: Presiden Jokowi menerima kunjungan kehormatan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Anthony J. Blinken di Istana Merdeka, Senin (13/12). - (Lukas - Biro Pers Sekretariat Presiden)

 

Seperti dilaporkan banyak media, selama ini Pemerintah Indonesia seakan terdiam ketika Pemerintah China beberapa waktu lalu melakukan 'protes' terhadap Indonesia. Protes itu meliputi pengeboran minyak dan gas alam di wilayah Laut China Selatan (LCS), serta latihan militer yang dilakukan RI bersama Amerika Serikat (AS).

Dalam sebuah laporan yang dirilis Reuters Pemerintah China mengirimkan surat kepada Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI. Pengeboran minyak dan gas alam itu disebut bersinggungan dengan klaim wilayah negeri itu, melalui konsep 'sembilan garis putus-putus (nine-dash line).

Baca juga : Tanda-Tanda RUU Ibu Kota Negara Dikebut DPR Seperti Kala Bahas Omnibus Law

 

Namun, jauh sebelum itu, semenjak tahun 1995, sebenarnya China telah mengeluarkan pernyataan bahwa 200 mil timur Laut Natuna Besar masuk dalam zona ekonomi eksklusifnya. Klaim China tersebut didasari atas deklarasi tahun 1958 tentang Laut Cina Selatan serta Undang-Undang tentang Laut Teritorial dan Wilayah yang Berbatasan pada 1992.

Fakta sejarah ini bersumber dari kofirmasi kepada mantan menteri keuangan Fuad Bawazier ketika ditanya soal eksplorasi di kawasan Natuna pada masa Orde Baru. Dia menyatakan, sudah sangat lama Presiden Soeharto tahu bahwa China terus mengincar wilayah itu. "Mereka (China) tidak hirau atas resolusi PBB bahwa wilayah itu bukan teriorialnya. Makanya Pak Harto waktu serahkan ekplorasi wilayah itu ke Amerika. Bahkan terasa istimewa. Sebab, perjanjiannya saja sedikit menyimpang dari perjanjian yang biasanya dibikin Indonesia mengenai bagi hasi eksploarsi pertambangan. Pak Harto tetap tanda tangani perjanjian itu meski Indonesia porsi bagi hasilnya kecilan dibandingkan dengan eksplorasi sejenis di wilayah Indonesia lain."

Namun, Fuad melanjutkan, pemerintah kala itu ingin mendapat dua keuntungan. Pertama, karena memang wilayah itu jauh terpencil sehingga secara teknis pengambilnya hasil ekspolrasi (dalam hal ini gas) gasnya sulit dan mahal. Eksplorasi pada saat itu harus memakai teknologi tinggi yang belum dikuasai Indonesia. Kedua, bagi pemerintah perjanjian itu sangat penting. Ini karena dibuat dengan di Jakarta. Artinya, Pemerintah Amerika Serikat mengakui wilayah itu merupakan kedaulatan Indonesia. Pak Harto tahu persis apa pentingnya perjanjian denan AS itu.''

''Namun, masa perjanjian itu yang ditandangi sekitar akhir 1970-an dan awal 1980-an beberapa tahun kemudian habis. Namun, konsesi eksplorasi gas di sana itu diperjualbelikan. Dan sampai sekarang gas dari Natuna sebagai akibat perjanjian itu disalurkan ke ke Singapura melalui pipa laut," kata Fuad Bawazier.

Baca juga : KPAI Nilai Herry Wirawan Memenuhi Syarat untuk Dihukum Kebiri

Keterangan foto: Kapal Coast Guard China-5302 memotong haluan KRI Usman Harun-359 pada jarak 60 yards (sekitar 55 meter) saat melaksanakan patroli mendekati kapal nelayan pukat China yang melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna, Sabtu (11/1/2020). - (M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO)

 

Pada sisi lain, publik Indonesia secara jelas selama ini sudah merasa terhina atas klaim dan 'usiran' China yang melarang Indonesia melakukan eksplorasi di wilayah Natuna itu. Publik juga tahu bahwa kapal penjaga pantai (coast guard) China berulang kali dengan seenaknya masuk ke wilayah RI di Natuna. Pada 12 Desember 2020 misalnya China nyata-nyata melakukan tindak tidak terpuji itu. Menurut laporan Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI), kapal dengan nomor lambung 5204 itu terus berada di kawasan selama akhir pekan dan menolak untuk pergi meski sudah diperingatkan.

Alasannya adalah karena mereka sedang berpatroli di area nine dash line (sembilan garis putus-putus). "Meskipun sudah ditanyakan maksud keberadaannya, kapal China enggan pergi dan berkeras di area tersebut," kata salah satu pihak di Bakamla saat itu.

 
 

Terkait hal tersebut, pada sebuah kesempatan lain beberapa waktu lalu, Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, tampak berhati-hati menanggai masalah sensitif ini. Dia hanya mengatakan tidak "memiliki informasi atas apa yang diberitakan sebagai komunikasi diplomatik" tersebut.

Faizasyah juga mengatakan "komunikasi diplomatik pada umumnya bersifat tertutup (rahasia) antarnegara sehingga tidak bisa diungkapkan ke publik sebelum masa berlaku kerahasiaannya berakhir atau kedaluwarsa."

Namun, menanggapi laporan itu, anggota Komisi 1 DPR dari Partai Nasdem, Muhammad Farhan, pun sudah tegas bila Indonesia tak akan menghentikan pengeboran dan menyarankan agar Indonesia memperbanyak eksplorasi pengeboran maupun perikanan di Natuna.

Farhan juga mengatakan pihaknya mengetahui adanya nota diplomatik dari China ketika ada laporan dari Badan Keamanan Laut (Bakamla) mengenai "rasa terancamnya" para kru di lokasi pengeboran minyak dan gas di lepas pantai Natuna. 

Baca juga : Trump: Netanyahu tak Pernah Ingin Damai dengan Palestina

Nah, sekarang Anthony Blinken telah tiba di Jakarta. Indonesia pun sudah melakukan latihan militer bersama AS beberapa waktu lalu yang juga sudah membuat gerah China. Maka mari kita lihat ke depan apakah China masih nekat meneruskan ambisinya. Kalau nekat, dia akan kehilangan mitra. Tak hanya kehilangan Indonesia, China juga akan kehilangan mitra dengan negara-negara di kawasan itu yang selama ini sebenarnya diam-diam punya masalah atas adanya klaim itu, seperti Malaysia, Philipina, hingga Vietnam.

Dan kalau nekat terus, China akan semakin terkucil. Dia hanya sendirian di tengah situasi semakin panasnya perebutan pengaruh dan kontrol atas yang disebut kawasan Laut China Selatan!


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler