Sri Mulyani Keluhkan Banyak Nomor Berbeda Milik Penduduk

Banyaknya nomor berbeda mendorong penerbitan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

istimewa
emerintah mengeluhkan saat ini penduduk Indonesia memiliki banyak nomor yang berbeda seperti nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP), dan paspor. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan banyaknya nomor yang berbeda mendorong pemerintah menerbitkan UU Harmoninasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Rep: Intan Pratiwi Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengeluhkan saat ini penduduk Indonesia memiliki banyak nomor yang berbeda seperti nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP), dan paspor. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan banyaknya nomor yang berbeda mendorong pemerintah menerbitkan UU Harmoninasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Baca Juga


"Dan tidak perlu setiap kali nanti urusan KTP nomornya lain, paspor lain, pajak lain, bea cukai lain, pusinglah jadi penduduk Indonesia itu," ujarnya saat sosialisasi UU HPP di Kantor Pusat Ditjen Pajak secara virtual, Selasa (14/12). 

Sri Mulyani menjelaskan penggabungan NIK menjadi NPWP bukan untuk menagih pajak seluruh penduduk Indonesia. Dia memastikan, hanya masyarakat yang memiliki penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang akan dikenakan pajak. 

"Jadi paling tidak untuk urusan perpajakan itu kita menggunakan satu NIK identik NPWP. Pada saat Anda memiliki kemampuan membayar pajak, tidak perlu minta NPWP lagi," jelasnya.

Sri Mulyani mencontohkan di Amerika Serikat (AS) setiap penduduknya hanya memiliki satu nomor, yakni social security number (SSN). Adapun nomor ini digunakan berbagai macam keperluan masyarakat di Negeri Paman Sam tersebut. 

"Waktu saya sekolah di AS, saya diberikan SSN sebagai nomor mahasiswa saya, sampai saya kerja, saya pulang lagi ke Indonesia, kemudian saya balik lagi ke AS karena bekerja di sana, saya seharusnya punya SSN. Itu masih yang sama dengan nomor mahasiswa dan SSN saya, sampai saya kembali lagi," ucapnya.

 

Sementara itu, pemerintah memastikan pajak atas fasilitas kantor atau natura hanya dikenakan bagi pekerja dengan level tertentu. Adapun fasilitas kerja seperti handphone, laptop, uang makan tidak dikenakan pajak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan fasilitas seperti handphone, laptop, uang makan merupakan natura dan masuk objek pajak. “Ada orang bekerja mendapatkan fasilitas dari perusahaannya. Lalu muncul headline Sri Mulyani tega amat saya dikasih uang makan dan laptop saya harus bayar pajak. Itu salah,” ujarnya.

Sri Mulyani menjelaskan pajak natura yang akan dikenai pajak merupakan fasilitas mewah yang biasanya diterima oleh CEO sebuah perusahaan. “Kalau CEO naturanya gede banget, yang bukan laptop sama uang makan harian. Mobil dinasnya private jet kata Pak Misbakhun. Jadi yang kayak gitu yang memang harusnya, pantes-pantesnya jadi objek pajak,” jelasnya.

Sri Mulyani menyebut pengenaan pajak natura sangat menjunjung asas keadilan. Dia menegaskan pajak ini tidak akan dibebankan bagi para karyawan biasa.

 

“Jadi tega-teganya Sri Mulyani dan DPR uang makan saya dipajaki. Itu salah. Kita akan sangat selektif. Perlengkapan kerja tidak termasuk natura yang dipajaki,” ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler