Cerita Pilunya Rakyat Korut Berjuang Menghadapi Kekurangan Pangan

Memasuki musim dingin kekurangan pangan makin dirasakan rakyat Korut

AP/Jon Chol Jin
Seorang karyawan Toko Umum Bahan Makanan Kyonghung mendisinfeksi ruang pamer di Pyongyang, Korea Utara, Rabu, 10 November 2021. Memasuki musim dingin kekurangan pangan makin dirasakan rakyat Korut.
Rep: Fergi Nadira Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG - Penutupan perbatasan yang diberlakukan sendiri oleh Korea Utara (Korut) selama pandemi memperburuk krisis pangan negara tersebut. Terlebih, memasuki musim dingin, kekurangan makanan, persediaan obat-obatan, dan uang tunai melukai orang-orang rentan di negara yang memang sudah terisolasi sejak lama.

Musim dingin biasanya merupakan waktu tak menentu di negara yang masih berjuang dengan kekurangan makanan kronis. Para analis menilai kekhawatiran bertambah sepanjang tahun ini oleh karena penutupan perbatasan sejak 2020. Korut bahkan menutup perbatasan dengan mitra dagang pentingnya, China.

Pada saat yang sama, pemimpin Korut Kim Jong-un telah memberlakukan langkah baru yang semakin membatasi aktivitas ekonomi internal. Sementara pemerintahnya terus meningkatkan kemajuan bidang militer hingga menguji peluncuran rudal.

Kim menekankan kemandirian negaranya selama krisis pangan yang berkepanjangan. Sikap itu juga menciptakan tantangan bagi mereka yang ingin melibatkan kembali Korut dalam pembicaraan denuklirisasi yang terhenti selama hampir tiga tahun.

Terdapat tanda-tanda bahwa Korut mungkin ingin membuka kembali perbatasannya dengan China. Namun, prospek untuk membawa Kim kembali ke negosiasi nuklir tetap tipis, terutama karena pemerintahan Amerika Serikat (AS) Joe Biden tidak menunjukkan sinyal memberikan keringanan sanksi yang dituntut Kim.

Mendesak Korut untuk membuka kembali ekonominya secara bertahap, Pelapor Khusus PBB Tomas Ojea Quintana menulis dalam laporan Oktober. "Akses masyarakat terhadap makanan adalah masalah serius dan anak-anak serta orang tua yang paling rentan berisiko kelaparan," katanya dikutip laman The Washington Post, Rabu (15/12).

Krisis Pangan yang Mencekik

Analis mengantisipasi hasil panen musim gugur ini tidak terlalu terpengaruh oleh cuaca buruk. Namun, kekurangan pangan secara keseluruhan di Korut tetap ada. Bahkan kelompok bantuan internasional telah meninggalkan negara itu selama penguncian pandemi.

Menurut pemimpin redaksi Daily NK, layanan berita yang berbasis di Seoul dengan informan Korut Lee Sang-yong, kurangnya pupuk impor dan bahan pertanian seperti vinil untuk menutupi tanaman telah menyebabkan panen yang kurang dari yang diantisipasi. Lee menuturkan, harga jagung telah meningkat pada masa pandemi sehingga membuat pertanda semakin banyak orang yang mencampur jagung dengan nasi, atau makan jagung sebagai pengganti nasi, yang lebih sulit didapat.

"Ada berbagai macam efek karena pengurangan perdagangan besar-besaran ini," kata direktur Korea Selatan dari organisasi non-pemerintah Liberty di Korut, yang membantu warga Korut bermukim kembali di Selatan, Sokeel Park.

Baca Juga


Pada Juni tahun ini, Kim menyebut situasi pangan negaranya mengalami ketegangan. Pada akhir Oktober, Kim mengumumkan rencana untuk membiakkan angsa hitam sebagai cara untuk menebus sektor pertanian yang tidak efisien dan kekurangan makanan.

Dia mengatakan, dagingnya lezat dan memiliki nilai obat. Seorang pejabat senior Partai Buruh Korea memimpin upacara pembukaan pusat angsa hitam di sebuah peternakan bebek.

Angsa tidak dikenal sebagai makanan lezat tertentu. Beberapa analis mengatakan, upaya semacam itu adalah solusi picik yang sedang dicoba menggantikan perbaikan sistemik pada ekonomi.

Korut memiliki sejarah dalam mempromosikan hewan eksotis sebagai solusi makanan yang inovatif. Peternakan burung unta dibangun setelah kelaparan yang mematikan pada 1990-an, sebuah cobaan berat yang dikenal sebagai "pawai yang sulit".

Menurut pejabat intelijen Korea Selatan, tingkat perdagangan yang rendah telah bertahan lama dan ada beberapa tanda Korut mengambil langkah untuk melanjutkan perdagangan darat dengan China. Selama beberapa dekade, Beijing telah menjadi jalur kehidupan ekonomi bagi Korut.

Menurut laporan triwulanan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB yang dikeluarkan pada 2 Desember, Korut mengimpor sekitar satu juta ton biji-bijian, gandum, dan beras pada tahun lalu untuk melengkapi produksinya. Rakyat Korut diketahui mengembangkan cara mereka sendiri untuk bertahan dalam masa-masa sulit yang lama setelah kelaparan 1990-an.

Sejak itu, pasar lokal yang disebut "jangmadang" telah dibuka dan beroperasi di bawah pengawasan negara. Warga diizinkan untuk menjual dan memperdagangkan barang dan makanan.

Namun, kekurangan impor dan pasokan pada gilirannya membatasi ketersediaan makanan dan kebutuhan lain seperti obat-obatan dan baterai di pasar. Pendiri layanan berita yang berbasis di Jepang, Asia Press Rimjingang yang memiliki informan di dalam Korut, Jiro Ishimaru, mengatakan, penduduk perkotaan Korut bergantung pada pasar dan telah terkena dampak lebih buruk oleh penguncian daripada penduduk di daerah perdesaan yang dapat bertani makanan mereka sendiri dan menjual dan menukar produk pertanian.

"Mereka yang mengalami masa paling sulit dan sekarat karena kelaparan mati karena tidak punya uang, bukan karena tidak ada padi yang tumbuh di dalam negeri," kata Ishimaru.

Spesialis ekonomi Korut yang berbasis di Seoul, Peter Ward, mengatakan blokade perdagangan kemungkinan juga telah menyebabkan inflasi harga di pasar dan kekurangan mata uang domestik dan asing untuk membeli barang.

Kurangnya akses ke obat-obatan di pasar telah mempersulit pengobatan pneumonia dan penyakit cuaca dingin lainnya saat musim dingin mendekat. Menurut Ishimaru, kekurangan tersebut telah merugikan orang tua dan pengasuh yang kehilangan pekerjaan dan sekarang tidak dapat memberikan perawatan.

Petani Sukses Didesak Berbagi Pengalaman
Demi mengatasi keisis pangan, Korut meminta petani untuk belajar dari para petani yang mencapai hasil tinggi sepanjang 2021. Langkah ini menjadi bagian dari upaya untuk meningkatkan hasil panen negara dalam menghadapi kekurangan pangan kronis.

Surat kabar Korut Rodong Sinmun menyebut banyak petani mencapai hasil baik berkat komitmen mereka untuk pembangunan yang stabil dan berkelanjutan. Mereka mencapainya pada tahun pertama dari rencana ekonomi lima tahun negara.

Pada Januari, Kim Jong-un mengadakan kongres partai dan meluncurkan skema pembangunan lima tahun. Pidatonya terjadi setelah ia mengakui kegagalan dalam rencana sebelumnya di tengah sanksi yang melumpuhkan dan penutupan perbatasan yang berlarut-larut karena Covid-19.

"Kami tidak dapat mempercepat dorongan kami untuk mencapai keputusan yang dibuat di kongres partai hanya dengan jumlah kelompok dan petani yang terbatas," kata surat kabar itu seperti dilansir laman Yonhap News Agency, Rabu (15/12).

"Hanya ketika semua pekerja secara aktif menerima pengalaman yang dibagikan oleh mereka yang memiliki hasil tinggi, barulah ada jaminan penting untuk hasil yang luar biasa di tahun kedua dari rencana lima tahun," kata Rodong Sinmun menambahkan.

Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian bulan Desember mengatakan Korut termasuk di antara 44 negara yang membutuhkan bantuan eksternal untuk makanan. Sebagian besar penduduknya diperkirakan menderita tingkat konsumsi makanan yang rendah.

Namun PBB telah mengecualikan Korut dari rencana bantuan kemanusiaan global untuk 2022. Hal ini menandai tahun kedua berturut-turut PBB telah membuat keputusan seperti itu.

Langkah itu dilakukan ketika Korut mempertahankan kendali perbatasan yang ketat untuk mencegah virus corona sehingga mendorong anggota staf organisasi internasional yang diperlukan untuk pemantauan dan penilaian di tempat untuk meninggalkan negara yang terisolasi itu.

sumber : Reuters/Washington Post
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler