Penjualan Perhiasan Mewah Diduga Danai Pelanggaran Militer di Myanmar

Militer Myanmar kini mengendalikan industri batu permata bernilai jutaan dolar

Republika/ Yasin Habibi
Ilustrasi perhiasan. Militer Myanmar kini mengendalikan industri batu permata bernilai jutaan dolar.
Rep: Dwina Agustin Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Sebuah kelompok anti-korupsi Global Witness memperingatakan pembuat perhiasan mewah diduga memiliki peran dalam mendanai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Myanmar. Industri batu permata yang menguntungkan di negara itu telah muncul sebagai sumber penting pendapatan bagi penguasa militer.

Dalam sebuah laporan yang dirilis pekan lalu, Global Witness menyebut militer Myanmar kini mengendalikan industri batu permata bernilai jutaan dolar di negara itu. Data resmi menunjukkan sektor mencakup perdagangan batu rubi, safir, dan batu permata lainnya.

Industri itu bernilai rata-rata 346 juta dolar AS hingga 415 juta dolar AS per tahun dari 2014-2017. Namun, memperhitungkan perdagangan gelap batu permata ini, industri itu bisa bernilai rata-rata 1,73 miliar dolar AS hingga 2,07 miliar dolar AS per tahun selama empat tahun.

Global Witness mengatakan semua perusahaan harus segera meninjau rantai pasokan. Hal ini diperlukan untuk memastikan mereka tidak mendanai konflik, korupsi, atau penindasan negara di Myanmar. Laporan kelompok tersebut dirilis berdasarkan lebih dari 150 wawancara dengan pejabat publik, anggota masyarakat, dan perwakilan industri.

Kelompok ini menyatakan semua penambangan batu permata di Myanmar saat ini ilegal. Semua izin yang dikeluarkan oleh pemerintah sipil yang digulingkan di negara itu telah berakhir pada 2020, setahun sebelum kudeta.

Militer belum mengeluarkan izin apa pun secara publik. Akan tetapi sejak perebutan kekuasaannya, pertambangan informal telah meledak di Myanmar. Puluhan ribu pekerja berbondong-bondong ke tambang di Mogok wilayah Mandalay tengah, membayar suap ke militer.

Baca Juga


Penambangan informal ini berlangsung dengan latar belakang ketidakstabilan ekstrem di Myanmar, termasuk di Mogok. Militer dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk dengan membunuh ratusan pengunjuk rasa anti-kudeta serta melancarkan serangan terhadap warga sipil di wilayah perbatasan negara.

Namun Global Witness menyatakan para penjual perhiasan, rumah lelang, dan pengecer pasar massal terus membeli dan memasarkan batu rubi dan batu mulia lainnya dari Myanmar. Kondisi ini bisa terjadi karena batu mulai itu diproses di Thailand kemudian dijual ke perhiasan internasional.

Hanya satu dari 20 dealer yang berbicara dengan Global Witness di Thailand, yaitu Fai Dee. Dia dapat mengidentifikasi tambang tertentu tempat salah satu batu rubinya berasal.

Tambang itu, Shwe Pyi Aye, telah dikendalikan sejak 1995 oleh Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL). Perusahan ini adalah salah satu dari dua konglomerat utama yang dikendalikan militer yang disetujui oleh Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa, dan Kanada.

Seorang perwakilan perusahaan dari Fai Dee mengatakan kepada Global Witness yang menyamar sebagai pelanggan bahwa tidak ada cara untuk mengatakan dengan tepat kapan batu rubi itu ditambang. Dia mengatakan mereka menjual batu rubi ke merek Amerika dan Inggris terkemuka seperti Harry Winston, Graff, Sotheby's, dan Christie's.

Ketika dimintai tanggapan, seorang pengacara untuk Fai Dee mengatakan perusahaan tersebut tidak mengakuisisi batu rubi Shwe Pyi Aye pada saat MEHL mengendalikan tambang itu. Sebagian besar koleksinya sebelum 1995.

Pengacara juga mengatakan Fai Dee telah beroperasi selama 100 tahun dan telah memperoleh sejumlah permata pada waktu itu yang berasal dari Myanmar. "Fai Dee belum membeli dari tambang atau perusahaan pemerintah mana pun di Myanmar sejak 2008," ujarnya merujuk pada pemberlakuan sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap konglomerat militer yang terkait dengan perdagangan batu permata. Sanksi ini dicabut pada tahun 2016 setelah transisi ke pemerintahan sipil, tetapi diberlakukan kembali tahun ini setelah kudeta militer.

"Perusahaan tidak melanggar sanksi apa pun yang berkaitan dengan Myanmar atau berkontribusi dengan cara apa pun terhadap pelanggaran hak asasi manusia di negara itu," kata pengacara Fai Dee.

Dealer Thailand lainnya secara terbuka mengklaim mereka telah berhenti membeli batu rubi dari Myanmar. Satu perusahaan memberi tahu penyelidik Global Witness yang menyamar sebagai pelanggan bahwa mereka masih bisa melakukannya mulai Juli tahun ini.

Global Witness juga mengatakan telah menghubungi 30 toko perhiasan internasional, rumah lelang, dan pengecer pasar massal yang menjual batu permata yang berbasis di AS, Eropa, dan Asia. "Kami menemukan bahwa sebagian besar dari mereka tidak memiliki langkah-langkah uji tuntas yang memadai untuk memastikan rantai pasokan mereka tidak menyalahgunakan pendanaan. Akibatnya, perusahaan-perusahaan ini mungkin mendanai militer Myanmar, salah satu rezim paling brutal di dunia, membantu mempertahankan kekuasaannya yang kejam atas rakyat Myanmar," ujar laporan itu.

Pakar sanksi AS dengan pengalaman bekerja di Myanmar sejak 2007 dan pengalaman langsung menilai sektor permata di Mogok, Peter Kucik, mengatakan temuan Global Witness sejalan dengan temuannya sendiri. Memperhatikan Myanmar telah dikenakan berbagai rezim sanksi, yang diberlakukan pada 2008, dicabut pada 2016, dan kemudian diberlakukan lagi pada Februari setelah kudeta, Kucik mengatakan dalam hal kewajiban sanksi, perusahaan hanya perlu peduli dengan batu permata yang bersumber sejak Februari.

Namun menurut Kucik tidak ada cara untuk menentukan apakah sebuah rubyiditambang pada 2017 atau 2021. "Secara harfiah tidak ada cara untuk melakukannya. Karena kesulitan atau ketidakmungkinan mengidentifikasi sumber yang sah, solusi baru tampaknya sama dengan yang lama, hentikan sumber batu rubi dari Myanmar untuk mencoba dan memotong aliran pendapatan junta," katanya.

Kucik mengatakan kebijakan sanksi adalah “strict liability”, artinya jika sebuah perusahaan AS berakhir dengan batu rubi Myanmar yang melanggar sanksi, itu akan tetap menjadi pelanggaran. Status itu berlaku bahkan jika perusahaan tersebut tidak mengetahui asalnya.

"Jika saya pergi ke Thailand dan membeli tas kerja yang penuh dengan batu rubi dan penjualnya mengatakan bahwa 100 persen ini tidak berasal dari Myanmar, tetapi mereka melakukannya, saya masih memiliki masalah. Namun itu akan dipertimbangkan dalam hal mekanisme penegakan apa yang akan dilakukan. Itu berkisar kemungkinan dari surat peringatan hingga rujukan untuk penyidikan pidana jika ada pelanggaran yang disengaja," terang Kucik.

Global Witness menyebut hanya tiga perusahaan yaitu Tiffany & Co, Signet Jewellers, dan Boodles yang secara terbuka menyatakan telah berhenti membeli batu permata dari Myanmar sejak kudeta. Cartier dan Gubelin menyatakan hal yang sama kepada kelompok itu, sementara Harry Winston mengeluarkan pernyataan publik pada 9 Desember yang mengatakan mereka juga akan menghentikan pengadaan batu permata dari Myanmar.

sumber : Aljazirah
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler