Hapus Premium dan Pertalite demi Transisi Energi, Siap-Siap Inflasi
Pengalihan energi harus tetap mempertimbangkan dampak ekonomi ke masyarakat bawah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana menghapuskan Premium dan Pertalite dari pasaran dalam rangka transisi energi. Padahal, masyarakat saat ini masih berjuang di tengah sulitnya ekonomi sebagai dampak dari pandemi Covid-19.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Muhammad Faisal menilai kebijakan penghapusan Premium dan Pertalite dalam rangka transisi energi kurang tepat. Sebab, secara substitusi energi alternatif yang terjangkau bagi masyarakat pun belum ada gambarannya.
"Shifting energi harus jelas apa program pemerintah untuk mendorong ke energi alternatifnya, sudah ada atau belum? Kan belum ada. Jadi, masyarakat terutama kelas bawah jadi tidak punya pilihan," ujar Faisal kepada Republika.co.id, Kamis (23/12).
Pemerintah sempat menyebutkan bahwa subsidi energi yang selama ini menjadi beban APBN nantinya akan dialihkan ke subsidi untuk proyek-proyek energi baru-terbarukan (EBT). Nantinya pemerintah mengeklaim juga untuk kesejahteraan masyarakat.
"Lalu, apakah misalnya sudah jelas subsidi Pertalite dan Premium itu apakah pasti akan dialokasikan untuk membangun EBT?" ujar Faisal ragu atas rencana pengalihan subsidi tersebut.
Menurut Faisal, ketika pemerintah memang hendak beralih ke energi bersih di satu sisi juga tetap harus mempertimbangkan dampak ekonomi bagi masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah.
"Shifting energi tetap harus mempertimbangkan dampak ekonominya bagi masyarakat kelas bawah. Ada transisi yang mulus, tidak menciptakan tekanan baru," ujar Faisal.
Penghapusan Premium dan Pertalite akan mengerek inflasi
Faisal menilai penghapusan Pertalite dari pasaran tidak hanya akan memukul masyarakat kelas bawah, tetapi juga kelas menengah. Sedangkan penghapusan Premium, kata Faisal, memang sudah sejak lama menjadi masalah karena kuota dan pasokan yang terbatas.
"Terutama yang Pertalite saya rasa akan mengena bukan hanya pada kelompok miskin, tapi juga kelompok menengah. Kalau Premium sih mungkin terbatas di sebagian daerah saja, sudah tidak banyak, tapi penghapusan Pertalite ini pengaruhnya besar," ujar Faisal.
Hal ini pun, kata Faisal, juga akan berdampak pada inflasi. Faisal menyebut, inflasi yang sewajarnya terjadi karena dorongan kebijakan pemerintah (administered prices) atau cost push inflation. Kebijakan penghapusan Premium dan Pertalite akan memukul telak masyarakat yang di satu sisi masih dalam kondisi pemulihan ekonomi.
"Akan sangat berdampak pada inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh dorongan permintaan atau kenaikan daya beli masyarakat, ini tentu tidak baik, dan kontraproduktif terhadap upaya pemerintah untuk memulihkan ekonomi. Apalagi terhadap daya beli masyarakat golongan bawah yang paling terdampak buruk selama pandemi," ujar Faisal.
Apalagi, kata Faisal, pada saat yang sama postur anggaran tahun depan banyak memotong program bantuan sosial dan subsidi kepada masyarakat bawah. Masyarakat saat ini juga dihadapkan pada berbagai rencana pemerintah yang tidak menyokong masyarakat bawah.
"Belum lagi yang bakal naik bukan cuma BBM, tapi elpiji, pajak juga dinaikkan dan ditambah posnya, sementara harga sembako seperti minyak goreng juga kemungkinan besar belum turun dalam waktu dekat. Tarif dasar listrik juga rencananya akan dinaikkan," ujar Faisal.
Pemerintah melalui Kementerian ESDM pada tahun depan resmi akan menghapus Premium dari peredaran. Menurut Kementerian ESDM, langkah ini dilakukan dalam agenda transisi energi bersih.
Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Soerjaningsih menjelaskan, nantinya keberadaan Premium akan digantikan dengan Pertalite. Hal ini juga hanya dalam bentuk transisi, yang nantinya kata Soerja pemerintah akan sepenuhnya menggunakan BBM yang ramah lingkungan, yang artinya indikator RON di atas 90. Tak hanya premium, pemerintah juga berencana mengurangi porsi Pertalite.
"Kita memasuki masa transisi di mana Premium (RON 88) akan digantikan dengan Pertalite (RON 90), sebelum akhirnya kita akan menggunakan BBM yang ramah lingkungan," ujar Soerja, Kamis (23/12).
Soerja menginformasikan, Premium RON 88 saat ini hanya digunakan oleh tujuh negara. Volume yang digunakan pun sangat kecil. Kesadaran masyarakat menggunakan BBM dengan kualitas yang lebih baik menjadi salah satu penyebabnya.
Lebih lanjut, Soerja mengungkapkan, pemerintah tengah menyusun roadmap BBM ramah lingkungan di mana nantinya Pertalite juga akan digantikan dengan BBM yang kualitasnya lebih baik. "Dengan roadmap ini, ada tata waktu di mana nantinya kita akan menggunakan BBM ramah lingkungan. Ada masa di mana Pertalite harus dry, harus shifting dari Pertalite ke Pertamax," kata Soerja.