Potret Kemiskinan Afghanistan: Jual Anak Demi Bisa Membeli Makanan
Kemiskinan yang memburuk membuat warga Afghanistan semakin sulit memenuhi kebutuhan
REPUBLIKA.CO.ID, KAMP SHEDAI -- Kemiskinan dan perekonomian yang memburuk membuat warga Afghanistan semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Bahkan, jual beli anak mulai marak di kalangan warga miskin untuk bertahan hidup.
Di sebuah permukiman gubuk yang terbuat dari tanah liat di Afghanistan barat, seorang wanita, Aziz Gul, berjuang untuk menyelamatkan putrinya. Suami Aziz Gul menjual anak perempuannya yang berusia 10 tahun untuk dinikahkan tanpa memberitahu istrinya. Dia mengambil uang muka agar dapat memberi makan lima anaknya.
Tanpa uang itu, keluarga Gul akan kelaparan sehingga suami Gul harus mengorbankan satu anaknya, untuk menyelamatkan anaknya yang lain. Mengatur pernikahan melalui perjodohan untuk gadis-gadis yang sangat muda kerap dilakukan di seluruh wilayah.
Keluarga mempelai pria yang sering kali merupakan kerabat jauh, membayar uang untuk membuat kesepakatan. Seorang anak yang telah dibeli biasanya akan tinggal bersama orang tuanya sampai setidaknya berusia sekitar 15 atau 16 tahun. Namun, karena banyak yang tidak mampu membeli makanan pokok, beberapa keluarga mengizinkan calon pengantin pria untuk membawa pulang anak perempuan di bawah umur untuk dinikahkan.
Namun Gul menolak untuk menyerahkan anak perempuannya, Qandi Gul, untuk dijual dan menikah di usia 10 tahun. Aziz Gul menikah ketika berusia 15 tahun. Dia mengancam akan bunuh diri jika Qandi Gul dibawa pergi secara paksa.
Gul ingat betul saat dia mengetahui suaminya telah menjual Qandi. Selama sekitar dua bulan, keluarga mereka sudah bisa membeli makanan. Namun Gul curiga dan bertanya kepada suaminya dari mana dia mendapatkan uang untuk membeli makanan. Suami Gul kemudian memberi tahu bahwa dia telah menjual Qandi.
“Jantung saya berhenti berdetak. Saya berharap saya mati saat itu, tetapi mungkin Tuhan tidak ingin saya mati," ujar Gul.
Qandi duduk dekat ibunya, mata cokelatnya mengintip malu-malu dari balik kerudung warna biru langitnya. “Setiap kali saya mengingat malam itu… saya mati dan hidup kembali. Itu sangat sulit," ujar Gul.
Gul berjuang untuk mendapatkan anaknya kembali. Gul bercerita kepada saudara laki-lakinya dan para tetua desa bahwa suaminya telah menjual anak mereka secara diam-diam. Saudara laki-laki Gul dan para tetua desa bergegas memberikan bantuan melalui permintaan perceraian terhadap Qandi. Perceraian dapat dilakukan dengan syarat Gul harus membayar 100 ribu afghani atau setara dengan 1.000 dolar AS.
Gul tak punya uang sebanyak itu untuk menebus perceraian anaknya. Sementara suami Gul telah melarikan diri karena takut Gul akan mengadukannya ke pihak berwenang. Berdasarkan kesepakatan, Qandi akan dinikahkan oleh seorang pria yang berusia sekitar 21 atau 22 tahun. Keluarga calon pengantin pria telah beberapa kali mencoba untuk mengklaim gadis itu.
"Saya sangat putus asa. Jika saya tidak dapat menyediakan uang untuk membayar orang-orang ini dan tidak dapat menjaga putri saya, mungkin saya akan bunuh diri. Namun kemudian saya teringat dengan anak-anak saya yang lainnya. Apa yang akan terjadi pada mereka? Siapa yang akan memberi mereka makan?" tutur Gul.
Gul memiliki enam anak. Anak sulungnya berusia 12 tahun dan anak bungsunya berusia dua bulan. Gul menitipkan anak-anaknya bersama ibunya yang sudah lanjut usia sementara dia pergi bekerja di rumah-rumah penduduk.
Putranya yang berusia 12 tahun bekerja memetik safron sepulang sekolah. Musim safron biasanya pendek, yaitu hanya beberapa pekan di musim gugur sehingga uang yang didapatkan tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Kami tidak punya apa-apa," kata Gul.
Perjodohan juga terjadi di bagian lain di kamp yang sama. Seorang ayah empat anak, Hamid Abdullah, menjual putrinya yang masih kecil untuk dijodohkan. Dia sangat membutuhkan uang untuk mengobati istrinya yang sakit kronis dan sedang hamil anak kelima.
Abdullah meminjam uang untuk membayar perawatan istrinya dan tidak dapat mengembalikannya. Jadi tiga tahun lalu, dia menerima uang muka untuk putri sulungnya Hoshran yang berusia 7 tahun dalam perjodohan dengan seorang anak laki-laki berusia 18 tahun di provinsi asal mereka, Badghis.
Abdullah sekarang mencari seseorang untuk menjodohkan putri keduanya, Nazia, yang berusia 6 tahun. “Kami tidak punya makanan. Dia membutuhkan operasi, saya tidak punya sepeser uang untuk membayar dokter," kata Abdullah.
Ia menerangkan keluarga yang membeli Hoshran akan melunasi sisa pembayaran ketika dia sudah mencapai usia matang. Akan tetapi, Abdullah membutuhkan uang dengan sangat mendesak untuk membeli makanan dan perawatan istrinya. Sehingga dia mencoba mengatur perjodohan dan pernikahan untuk Nazia dengan biaya sekitar 20.000-30.000 afghani.
"Apa yang harus kita lakukan? Kami harus melakukannya, kami tidak punya pilihan lain. Ketika kami membuat keputusan tersebut, rasanya seperti seseorang telah mengambil bagian dari tubuh saya," ujar istri Abdullah, Bibi Jan.
Di provinsi tetangga Badghis, keluarga pengungsi lainnya sedang mempertimbangkan untuk menjual putra mereka, Salahuddin, yang berusia 8 tahun. Ibunda Salahuddin, Guldasta, mengatakan setelah berhari-hari tidak makan dia menyuruh suaminya untuk membawa anak laki-laki itu ke pasar dan menjualnya.
“Saya tidak ingin menjual putra saya, tetapi saya terpaksa melakukannya. Tidak ada ibu yang bisa melakukan ini pada anaknya, tetapi ketika kamu tidak punya pilihan lain, kamu harus membuat keputusan yang bertentangan dengan keinginanmu," ungkap Guldasta.
Ayah Salahuddin, Shakir, memiliki masalah ginjal. Dia mengatakan anak-anaknya telah menangis selama berhari-hari karena kelaparan. Dia memutuskan untuk membawa Salahuddin ke pasar sebanyak dua kali tapi dia mengurungkan niatnya dan tidak mampu melakukannya.
"Namun sekarang saya pikir saya tidak punya pilihan lain selain menjualnya," ujar Shakir.
Menjual anak laki-laki sangat jarang terjadi daripada anak perempuan. Namun pernah ada kasus pembelian bayi laki-laki dibeli oleh keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki.
Keputusasaan jutaan warga Afghanistan semakin terpampang nyata. Mahalnya harga bahan pangan dan krisis ekonomi yang semakin memburuk membuat warga miskin Afghanistan menghalalkan segara cara untuk bertahan hidup. Pemerintah Taliban belum lama ini mengumumkan larangan menikahkan perempuan secara paksa atau menggunakan perempuan dan anak perempuan sebagai alat tukar untuk menyelesaikan perselisihan.
Menurut data PBB, sekitar 3,2 juta anak Afghanistan di bawah 5 tahun diperkirakan akan menderita kekurangan gizi akut. Direktur Nasional World Vision di Afghanistan, Asuntha Charles, menjelaskan malnutrisi dan kemiskinan membayangi kelompok yang paling rentan. Kelompok bantuan kemanusiaan mengatakan lebih dari setengah populasi Afghanistan menghadapi kekurangan pangan akut.
“Hari demi hari, situasi di negara ini semakin memburuk, dan anak-anak menderita. Hari ini saya sangat sedih melihat keluarga bersedia menjual anak-anak mereka untuk memberi makan anggota keluarga lainnya," kata Charles.
Charles menjalankan klinik kesehatan untuk orang-orang terlantar di luar kota Herat. Menurut dia, dana bantuan kemanusiaan sangat dibutuhkan.