Jaksa Gali Dasar Rekonstruksi Kasus KM 50 oleh Bareskrim Polri

Penyidik Polri akui sumber rekonstruksi hanya dari kedua pelaku penembakan.

ANTARA/M Ibnu Chazar
Sejumlah anggota tim penyidik Bareskrim Polri memperagakan adegan saat rekonstruksi kasus penembakan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di Karawang, Jawa Barat, Senin (14/12/2020) dini hari. Rekonstruksi tersebut memperagakan 58 adegan kasus penembakan enam anggota laskar FPI di tol Jakarta - Cikampek KM 50 pada Senin (7/12/2020) di empat titik kejadian perkara.
Rep: Bambang Noroyono Red: Ilham Tirta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang lanjutan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pembunuhan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) menguak fakta baru terkait proses awal pengungkapan dan penyidikan kasus tersebut. Terungkap di persidangan, rekonstruksi atau reka adegan penembakan mati para pengawal Habib Riziq Shihab (HRS) yang dilakukan oleh tim penyidikan Bareskrim Polri hanya berdasarkan keterangan para saksi pelaku, yakni Briptu Fikri Ramadhan dan Yusmin Ohorello.

Baca Juga


Kedua saksi yang merupakan anggota Resmob Polda Metro Jaya itui adalah dua orang terdakwa yang diseret jaksa ke pengadilan, terkait kasus unlawfull killing tersebut. Sedangkan satu saksi pelaku lainnya, yakni Ipda Elwira Priyadi tak dapat dimintakan keterangan untuk dijadikan sumber keterangan dalam bahan rekonstruksi dan reka adegan.

Ipda Elwira statusnya dinyatakan meninggal dunia akibat kecelakaan bermotor pada awal Januari 2021 lalu. Sementara rekonstruksi yang dilakukan oleh penyidik Bareskrim Polri, digelar pada medio Mei-Juni 2021.

Rekonstruksi yang dilakukan, setengah tahun setelah kejadian nahas di kilometer (Km) 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek (Japek), Karawang, Jabar, pada dini hari Senin (7/12) 2020 itu. Hal tersebut, terungkap dari penjelasan saksi Eko Wahyu Bintoro di persidangan.

Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU), menghadirkan Eko ke sidang, sebagai saksi ahli dari INAFIS Bareskrim Mabes Polri. Eko, bersama timnya yang melakukan rangkaian rekonstruksi dan reka adegan kejadian malam pembunuhan para anggota laskar FPI tersebut.

Eko membeberkan hasil rekonstruksinya kepada hakim dengan menampilkan sedikitnya 50-an gambar dan foto-foto dari rangkaian reka adegan. Saat menjelaskan reka adegan tersebut, JPU Paris Manalu sempat menyela kesaksian Eko, dengan menanyakan, dari keterangan siapa yang diterima oleh tim penyidikan dan INAFIS, untuk menggelar serangkaian reka adegan peristiwa Km 50 tersebut.

“Ahli, kami bertanya, ahli melakukan rekonstruksi itu berdasarkan dari keterangan siapa? Coba ahli jelaskan, karena itu rekonstruksi adegan yang menguraikan fakta yang sudah terjadi,” tanya jaksa saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa (4/1).

Menurut jaksa, sumber keterangan yang dijadikan dasar penyidik dalam melakukan rekonstruksi tersebut penting, agar terang akurasinya, pun dapat dinilai validitasnya, juga supaya menguji unsur biasnya. Eko menerangkan, rekonstruksi tersebut, berdasarkan keterangan Briptu Fikri dan Ipda Yusmin.

Dalam pembunuhan tersebut, keduanya sebagai saksi sekaligus pelaku. “Jadi terkait foto-foto rekonstruksi tersebut, kami lakukan bersama-sama, berikut dengan keterangan dari tersangka yang melakukan kegiatan (pembunuhan) tersebut,” ujar Eko kepada majelis hakim.

JPU kembali menegaskan pertanyaannya, apakah keterangan penyidik untuk melakukan reka adegan tersebut hanya bersumber dari pengakuan para terdakwa. “Ya, dua-duanya (Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin),” kata Eko.

Dari rekonstruksi, Eko menerangkan, yang terkait dengan unlawfull killing adalah peristiwa pembunuhan yang terjadi di dalam mobil Xenia B 1519 UTI. Mobil tersebut adalah kendaraan para terdakwa anggota kepolisian. Mobil silver tersebut yang mengangkut empat anggota Laskar FPI saat masih dalam kondisi hidup.

Kata Eko, keempat anggota laskar tersebut adalah Muhammad Lutfi, Ahmad Sofiyan, Suci Khadavi, dan M Reza. Di bagian belakang mobil sebelah kanan adalah Suci Khadavi. Di bagian tengah belakang Ahmad Sofiyan, sebelah kirinya M Reza. “Jadi di bagian belakang itu ada tiga, berikut dengan kondisi jok di belakang yang tidak diangkat, tetapi dalam kondsisi tidur. Dan kaki semua itu, berlipat seperti orang duduk,” kata Eko.

Sedangkan di barisan tengah mobil, duduk di sebelah kanan belakang supir Muhammad Luthfi. Sedangkan pengemudi adalah Ipda Yusmin dan di kursi penumpang depan Ipda Elwira dan di belakangnya Briptu Fikri.

“Jadi posisinya pada kendaraan tersebut, tiga petugas dan empat orang dari Laskar FPI yang diamankan tadi,” kata Eko.

Eko menjelaskan, reka adegan ke-41 yang menyebutkan saat kendaraan berjalan menuju ke arah Karawang Timur untuk membawa empat Laskar FPI ke Polda Metro Jaya. Pada bagian itu, saat kendaraan melaju pada kecepatan 60-80an Km/jam, persisnya di KM 50,2 terjadi keributan. Keributan tersebut, yang selama ini diduga sebagai aksi perebutan senjata api  di dalam mobil.

Dikatakan Eko, dari rekonstruksi, empat anggota laskar itu melakukan pengroyokan terhadap Briptu Fikri. M Reza dikatakan mencekik leher Britu Fikri dari belakang. Ahmad Sofiyan dari arah belakang tengah menarik rambut Briptu Fikri dan Suci Khadavi juga ikut menarik rambut Briptu Fikri. Kemudian Lutfi Hakim, kata Eko, dari reka adegan, mencoba merebut senjata api dari Briptu Fikri.

“Senjata itu ada di sebelah kanan Briptu Fikri, di tengah-tengah antara Fikri, dengan Lutfi Hakim. Senjata itu diperebutkan,” ujar Eko.

Saat adegan perebutan senjata itu, hasil rekonstruksi juga mendapatkan pengakuan tentang aksi teriakan Briptu Fikri yang dalam kondisi diserang oleh empat laskar. “Fikri mengatakan, ‘Bang, tolong Bang, senjata saya’,” kata Eko menjelaskan reka adegan.

Eko mengatakan, reka adegan ke-43 itu berlanjut dengan respons terdakwa Ipda Yusmin yang mengendalikan laju mobil dengan mengingatkan Ipda Elwira yang duduk di kursi penumpang depan. “Yusmin berkata, ‘Wir, Wir, awas Wir’,” kata Eko.

Eko melanjutkan, Ipda Elwira pun merespon peringatan itu dengan membalikkan badan ke arah belakang. Dalam reka adegan, kata Eko, Ipda Elwira yang melakukan penembakan pertama dan kedua. Dua kali penembakan itu yang menewaskan Lutfi Hakim dan Ahmad Sofiyan.

“Ipda Elwira melihat ke belakang, dan menembak ke arah Lutfi Hakim. Jadi yang di belakang sopir (Luthfi Hakim) sudah dilakukan pengamanan (ditembak) oleh Ipda Elwira,” kata Eko.

“Setelah penembakan dilakukan ke Lutfi Hakim, kemudian Ipda Elwira menembak pertama, Lutfi Hakim, kemudian, Ahmad Sofiyan yang ini duduk sebelah tengah kursi belakang,” sambung Eko.

Pada saat Ipda Elwira menembak Lutfi Hakim dan Ahmad Sofiyan, dari reka adegan dikatakan Eko, senjata yang semula diperebutkan Lutfi Hakim, beralih dengan perebutan yang dilakukan oleh Suci Khadavi. M Reza, yang berada di kursi belakang bagian kiri masih melakukan perlawanan terhadap Briptu Fikri.

Namun JPU sempat menanyakan dalam rangkaian reka adegan perebutan senjata tersebut. Sampai dengan aksi Ipda Elwira menembak Luthfi Hakim dan Ahmad Sofiyan, apakah senjata api Briptu Fikri yang diperebutkan tersebut sudah berpindah tangan.

Eko menerangkan, dari reka adegan, empat Laskar FPI itu tak berhasil menguasai senjata api yang dikuasai oleh Briptu Fikri. Meskipun, reka adegan menunjukkan perlawanan anggota laskar. “Dari rekonstruksi itu prosesnya (senjata api) masih dipegang Briptu Fikri,” terang Eko.

Eko melanjutkan, reka adegan ke-46, yang masih menampilkan perebutan kembali senjata api dari tangan Briptu Fikri oleh Suci Khadavi. Pada bagian tersebut, rekonstruksi menunjukkan adegan penembakan yang dilakukan oleh Briptu Fikri terhadap Suci Khadavi. “Kemudian senjata masih diperebutkan lagi oleh M Reza, yang duduk persis di belakang Fikri, kemudian di situ muncul lagi penembakan yang mengenai M reza,” kata Eko.

Selain menghadirkan Eko sebagai saksi ahli dari INAFIS Bareskrim Mabes Polri, JPU juga menghadirkan empat dokter bedah forensik, dan satu ahli DNA dari RS Polri. Para ahli dokter bedah forensik tersebut membeberkan hasil autopsi enam jenazah korban penembakan mati anggota Resmob Polda Metro Jaya itu.

Enam jenazah tersebut, empat yang tewas ditembak mati di dalam mobil dan dua jenazah Laskar FPI yang tewas ditembak mati saat aksi kebut-kebutan, sebelum kejadian di KM 50. Dua jenazah tersebut adalah Faiz Ahmad Syukur dan Andi Oktaviawan.

Sesuai dengan hasil autopsi yang sudah pernah dibeberkan dalam dakwaan JPU, tercatat ada sedikitnya 19 lubang peluru bekas luka tembak di para anggota Laksar FPI. Empat dokter bedah forensik itu memastikan hasil autopsi menyimpulkan seluruh korban penembakan tersebut tewas akibat tembakan peluru tajam.

“Kami tidak menemukan luka-luka selain luka tembak,” kata dr Farah P Kauraow kepada hakim. Pengakuan tersebut pun dikuatkan dengan kesimpulan serupa oleh dr Novia Theodor Sitorus, dr Arif Wahyono, dan dr Asri Pralebda yang juga turut menjadi memberikan keterangan di persidangan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
 
Berita Terpopuler