Kemenag: Dai Harus Kenali Karakteristik Umat dan Kuasai Peta Dakwah
Hal ini agar tidak ada lagi penceramah yang menyampaikan dakwah provokatif.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) M. Fuad Nasar mengatakan setiap dai harus mengenali karakteristik umat dan menguasai peta jalan dakwah. Hal ini agar tidak ada lagi penceramah yang menyampaikan dakwah secara provokatif dan agitatif.
“Seorang dai dalam berdakwah harus mampu terlebih dahulu mengenali karakteristik umat yang akan menerima materi dakwahnya, karena setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dan terpenting menguasai peta jalan dakwah,” ujar Fuad dalam keterangannya, Rabu (5/1).
Fuad mengatakan, selain harus menguasai ilmu agama yang dalam, seorang dai juga harus memiliki ilmu komunikasi yang baik, dan memahami pengetahuan kemasyarakatan yang memadai. Menurut dia, apa yang disampaikan dai hendaknya disesuaikan dengan tingkat kemajuan berpikir dan nalar masyarakat.
“Dalam menyampaikan konten dakwah, pendakwah harus menguasai ilmu komunikasi yang baik agar materi yang disampaikan tepat sasaran dan meminimalisasi terjadinya bias dalam komunikasi dakwah,” ucap Fuad.
Selain itu, Fuad juga mengingatkan juru dakwah selalu mengajak dan menyerukan kebaikan, serta senantiasa tetap mendekatkan jiwanya kepada Allah SWT yang merupakan sumber ajaran kebaikan itu sendiri. “Penceramah agama diharapkan selalu menjaga ‘satu kata dengan perbuatan’. Sebelum sukses membina umat hendaklah sukses membina diri sendiri terlebih dahulu,” kata Fuad.
Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Ahmad Kusyairi Suhail mengatakan, setiap juru dakwah, guru atau ustadz, merupakan Du’at (juru dakwah) bukan Qudhat (hakim). Dia juga mengingatkan bahwa pada hakikatnya berdakwah ajakan berbuat kebaikan bukan justru mengejek, menyudutkan atau menghina suatu kelompok atau golongan tertentu.
“Penting difahami oleh setiap ustadz dan juru dakwah/dai, bahwa kita adalah Du'at, juru dakwah, bukan Qudhat, hakim. Berdakwah itu mengajak bukan mengejek, membina bukan menghina, merangkul bukan memukul. Sebagaimana firman Allah,
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة
Ajaklah ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasehat yang baik (QS An Nahl: 125),” jelasnya kepada Republika.co.id, Selasa (4/1).
Menurutnya, setiap pendakwah harus mempertimbangkan dan memperhatikan adab, adat, kultur masyarakat dan metode berdakwah yang tepat untuk meminimalisir terjadinya kesalahpahaman atau perpecahan. Jika pembahasan yang diangkat berkaitan dengan persoalan perbedaan pendapat, pandangan dan sikap (khilafiyah), maka setiap penda’i sepatutnya tidak memaksakan pendapat.
“Jika ada hal yang masih termasuk dalam koridor masalah khilafiyah furu'iyyah (perbedaan masalah cabang, bukan asas), seseorang tidak bisa memaksakan pendapatnya, dan perlu ditempatkan secara benar, bahwa kemungkaran itu benar-benar kemungkaran berdasarkan ijma' (kesepakatan) ulama yang mumpuni,” ujarnya.
Ketua Dewan Syuro Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Prof Ahmad Satori Ismail mengatakan, ceramah yang mencakup masalah perbedaan pendapat, pandangan, dan sikap (khilafiyah) seharusnya disampaikan dengan bahasa yang halus agar terhindar dari kesalahpahaman dan perpecahan. Perpecahan, kata dia, disebabkan adanya perbedaaan latar belakang dan keyakinan dari masing-masing masyarakat.
Dia menyarankan para penceramah menghindari pembahasan yang berpotensi menyinggung atau menyudutkan salah satu pihak. "Pendai lebih baik menghindari ceramah yang menyinggung masalah khilafiyah, SARA atau yang berkaitan dengan politik praktis,” katanya kepada Republika.co.id, Selasa (4/1/2022).
Jika ingin membahas lebih lanjut mengenai khilafiyah, radikalisme dan sejumlah isu sensitif lainnya, Guru Besar UIN Jakarta itu menyarankan untuk menggelar diskusi tertutup dengan tujuan mencari solusi bersama. Menurutnya, jika topik sensitif ini disampaikan dalam forum terbuka seperti ceramah atau khutbah maka hanya akan menimbulkan polemik baru dan perpecahan.
“Kalau para ustaz atau dai ini memang ingin membahas lebih lanjut tentang khilafiyah, praktik politik praktis, radikalisme, itu boleh saja, tapi dilakukan dalam forum diskusi yang sifatnya tertutup. tujuannya untuk mencari solusi dan pencerahan, karena kalau disampaikan dalam ceramah yang sifatnya satu arah, ini bisa menimbulkan polemik baru bahkan perpecahan,” ujarnya.