3 Sikap Muslim Terhadap Penjajahan Barat Usai Peradaban Islam Melemah

Peradaban Islam memang mengalami jatuh bangun sepanjang sejarah

pxhere
Peradaban Islam memang mengalami jatuh bangun sepanjang sejarah. Ilustrasi sejarah peradaban Islam
Rep: Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Peradaban Islam berada di puncak kejayaannya selama berabad-abad lamanya. Peradaban ini banyak mempersembahkan capaian untuk dunia. 

Baca Juga


Kendati demikian, tanda-tanda kekuatan tandingan mulai muncul setidaknya sejak abad ke-16. Portugal dan Spanyol mulai menguasai sejumlah wilayah strategis umat Islam di Afrika Utara dan pesisir Samudra Hindia. Saat itu, kekuatan Muslimin yang paling head to head terhadap Eropa ialah Kesultanan Utsmaniyyah atau Ottoman. 

Bangsa Eropa yang semula berlomba-lomba memperebutkan resources komoditas di dunia Timur, kini mulai bersikap menjajah. Kolonialisme merupakan pengalaman pahit bagi umumnya kaum Muslimin global.

Menurut Iik Arifin Mansurnoor dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, sejak abad ke-19, ekspansi Barat kian kuat. Namun, saat itu, dunia Islam yang meliputi wilayah-wilayah di Afrika Utara, Asia Barat, Asia Tengah, Anak Benua India, hingga Nusantara sudah menjadi fragmen-fragmen tersendiri. 

Sebagai contoh, saat Portugal melancarkan serangan ke daerah pantai Samudra Hindia, Kesultanan Ottoman berupaya melindungi kepentingannya di sana. Oleh karena sejak awal pertumbuhannya kerajaan ini berorientasi ke Eropa, pemerintah Istanbul semata-mata mencoba membantu penguasa Muslim lokal untuk menghadapi bangsa Eropa non-Muslim itu. 

Sepanjang abad ke-16, misalnya, Kesultanan Aceh termasuk yang menikmati berbagai bantuan dari saudara seimannya di Turki. Arifin lantas memetakan pola respons dunia Islam terhadap ekspansi bangsa Eropa. Ditinjau dari segi stabilitas kedaulatan Muslim, ada sejumlah corak yang menonjol. 

Pertama, rezim yang stabil. Ini dicontohkan oleh Kesultanan Utsmaniyyah Ottoman. Saat Eropa berekspansi, Istanbul lebih siap menghadapinya karena sudah terlebih dahulu terbuka terhadap dinamika modern yang muncul di Benua Biru, terutama sejak awal abad ke-18.

Bahwa, pada akhirnya kesultanan ini melemah dan luruh pascagerakan prosekulerisme yang diinisiasi Kemal Ataturk, itu soal lain. 

Kedua, rezim yang agak stabil. Arifin mencontohkan, Dinasti Qajar di Iran. Penguasa Qajar sejak abad ke- 19 mulai bersikap permisif terhadap pengaruh asing. 

Alhasil, respons mengemuka. Kaum ulama setempat menentang penetrasi Barat sebagai campur tangan terhadap Iran. Kelompok lokal yang berpendidikan Eropa mengecam bobroknya rezim Qajar. Adapun kelompok pedagang melihat sistem ekonomi kini cenderung merugikan mereka. 

Ketiga, entitas politik yang terbelah- belah. Ini ditunjukkan kerajaan- kerajaan di Asia Tenggara saat kedatangan ekspansi bangsa Eropa. Maka dari itu, kekuatan militer dan taktis dari Barat dapat secara relatif lebih mulus mencengkeramkan kekuasaanya. 

Mereka mencaplok satu per satu wilayah di Nusantara. Memasuki abad ke-20, muncul corak pemerintahan baru. Bukan lagi konsep teritorial-religius, melainkan republik (sekuler). Paham yang terutama mendorongnya ialah nasionalisme, sebagaimana mengemuka di Barat pasca-Revolusi Prancis akhir abad ke-18. 

Dunia Islam juga terpengaruh hal itu, terutama sejak Ataturk menggulingkan kekuasaan sultan Ottoman pada 1924. Persebaran kaum terdidik Barat di berbagai masyarakat Muslim, termasuk Indonesia, juga ikut menguatkan diseminasi nasionalisme. 

Saat menempuh pendidikan, mereka mendalami sistem sekuler yang memisahkan antara urusan agama dan negara. Usai Perang Dunia II, pergerakan kemerdekaan bermunculan di Asia dan Afrika. Akhirnya, kini umat Islam mondial memiliki rumah masing-masing yang ber nama negara (nation-state).   

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler