Presiden Mesir Mengkritik Eropa Atasi Krisis Imigran
Presiden Mesir kritik sikap Eropa yang membangun penghalang agar imigran tak masuk
REPUBLIKA.CO.ID, SHARM EL-SHEIKH -- Pemimpin Mesir mengkritik penanggulangan krisis imigrasi Eropa dan penolakan benua itu untuk menerima pengungsi baru. Presiden Abdel Fattah el-Sissi mengatakan Mesir sudah menerima jutaan orang yang meninggalkan negaranya.
El-Sissi menyebut Mesir menampung sekitar enam juta orang yang melarikan diri dari perang dan kemiskinan di negara asalnya.Menurutnya tidak seperti negara lain, pemerintah Mesir tidak menahan pengungsi di kamp-kamp tapi membiarkan mereka hidup bebas di tengah masyarakat.
Selama puluhan tahun orang-orang yang meninggalkan negaranya karena perang dan kemiskinan di Timur Tengah melakukan perjalanan berbahaya menyeberangi Laut Tengah dan Aegea. Mereka berjuang demi hidup yang lebih baik dan aman di Eropa Barat.
Akan tetapi sejak satu juta pengungsi tiba di Eropa pada 2015 lalu, negara-negara Uni Eropa mendirikan tembok dan pagar kawat. Mereka mengerahkan drone-drone pengawas dan memotong kesepakatan dengan Turki dan Libya untuk menjauhkan imigran.
"Saya berbicara mengenai jumlah besar, tidak sepuluh atau lima ribu, (yang) rekan-rekan Eropa kami tolak terima," ujar el-Sissi.
Ia mengatakan pemerintahnya menyediakan pendidikan, layanan kesehatan, dan lainnya untuk semua imigran dan pengungsi. Semua diberikan walaupun Mesir memiliki sumber daya terbatas dan kesulitan ekonomi. “Kami menyediakan apa yang kami miliki (untuk mereka) tanpa ribut-ribut,” katanya.
Selama puluhan tahun, Mesir telah menjadi tempat mengungsi para imigran dari sub-Sahara Afrika yang mencoba melarikan diri dari perang atau kemiskinan. Bagi beberapa orang, Mesir merupakan tempat persinggahan terakhir, negara terdekat dan termudah untuk dicapai dan masuk. Bagi yang lain, Mesir hanya tempat transit untuk melintasi Laut Tengah demi menuju Eropa.
Organisasi Internasional untuk Migrasi PBB (IOM) menyebut Mesir menampung enam juta lebih imigran. Lebih dari setengahnya berasal dari Sudan dan Sudan Selatan yang masih dilanda konflik hingga memaksa puluhan ribuan orang mengungsi setiap tahunnya.
Banyak para imigran yang mendirikan bisnis mereka sendiri di Mesir. Sebagian lainnya bekerja pada sektor ekonomi informal seperti penjaga toko atau pekerja membersihkan rumah.
El-Sissi mengatakan beberapa tahun terakhir pemerintahnya telah memperketat keamanan di perbatasan dan mencegah Mesir menjadi titik keberangkatan bagi imigran Afrika dan Timur Tengah yang melarikan diri dari perang dan kemiskinan. IOM mengatakan imigran yang berangkat dari Mesir ke Eropa turun drastis sejak 2016.
Jumlah warga Mesir yang menyeberang ke Eropa pada 2020 tujuh kali lebih rendah daripada 2016. Turun dari sebelumnya 4.873 menjadi 750.
"Kami tidak membiarkan orang-orang menggunakan Mesir sebagai titik penyeberangan di mana orang-orang menyeberang ke tempat tidak diketahui dan menghadapi nasib yang keras di Laut Tengah saat berimigrasi ke Eropa," terang el-Sissi.
Pernyataan el-Sissi ini disampaikan dalam konferensi pemuda internasional World Youth Forum, kegiatan yang diselenggarakan pemerintah Mesir di Kota Sharm el-Sheik. Dengan semakin diperketatnya keamanan di perbatasan Laut Tengah, jalur menuju Eropa melalui rawa-rawa dan hutan di Eropa Timur bermunculan.
Beberapa bulan terakhir orang-orang dari Irak, Suriah, dan negara lain melarikan diri ke ibukota Belarusia, Minsk, bergerak menuju perbatasan menggunakan mobil yang dibawa para penyeludup. Para imigran itu menggunakan visa turis.
Tiga negara tetangga Belarusia yakni Polandia, Lithuania, dan Latvia menuduh Presiden Belarusia Alexander Lukashenko hendak mengganggu stabilitas masyarakat mereka. Polandia melanggar konvensi hak asasi manusia internasional dengan melarang masuk ribuan imigran yang mengajukan suaka. Kelompok-kelompok hak asasi manusia di dalam dan luar negeri mengkritik langkah pemerintah Polandia.