Dosen Filsafat UGM Respons Kasus Penendang Sesajen Semeru

Bila itu tradisi mungkin orang yang melakukan sesaji menganggap Semeru sebagai mahluk

ANTARA/Novrian Arbi
Seorang budayawan memegang dupa saat aksi Save Sesajen Damai untuk Tradisi Nusantara di depan Monumen Perjuangan Rakyat, Bandung, Jawa Barat, Ahad (16/1/2022). Aksi tersebut dilakukan sebagai respon damai terhadap peristiwa perusakan sesajen di Gunung Semeru yang dianggap menciderai salah satu simbol kebhinekaan dan tradisi rasa syukur masyarakat adat nusantara yang sudah ada sejak dulu.
Rep: Wahyu Suryana Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Sebuah video seorang pria menendang sesajen di Gunung Semeru belakangan menuai kontroversi. Sambil membuang sesajen, penendang menyampaikan pandangan kalau sesajen itu menimbulkan murka Tuhan yang menyebabkan bencana erupsi.


Dosen Filsafat UGM, Sartini mengatakan, di masyarakat Indonesia tradisi sesajen sering diartikan sebagai bentuk persembahan. Baik kepada dewa, roh leluhur atau nenek moyang dan mahluk-mahluk yang tidak terlihat lain.

Ia menilai, tradisi ini sudah ada sejak sebelum Islam masuk, bahkan sebelum Hindu dan Budha. Sesajen biasanya dikaitkan ritual yang diadakan untuk tujuan tertentu, sehingga benda-benda yang disiapkan untuk tiap sesajen dapat berbeda.

Kemudian, masing-masing unsur dalam sesajen memiliki filosofi sendiri. Di Jawa, kata Sartini, sesajen sering disebut uborampe atau kelengkapan. Di Lumajang, bila itu tradisi mungkin orang yang melakukan sesajenmenganggap Semeru sebagai mahluk.

"Memiliki kekuatan dan berharap Semeru tidak murka lagi. Dalam konteks sekarang, tentu di sana termuat permohonan kepada Tuhan agar mereka diberi keselamatan. Perlu penelitian khusus untuk mengkaji fenomena ini," kata Sartini, Sabtu (15/1).

Sartini memahami, di Tanah Air kepercayaan animisme dan dinamisme merupakan paham yang meyakini adanya roh yang hidup bersama manusia di alam semesta ini. Roh itu berupa roh orang yang sudah meninggal dunia, nenek moyang atau leluhur.

Bagian-bagian dari alam, benda, tumbuhan atau hewan juga sering dianggap memiliki roh dan mempunyai kekuatan besar, maka gunung atau laut dianggap harus dihormati keberadaannya. Sebagian kepercayaan ini mungkin masih ada di bumi Nusantara.

Kepercayaan ini mungkin sulit dibedakan dengan pemahaman jika ada mahluk tidak terlihat yang hidup bersama manusia, bisa di mana saja, gunung, laut dan lain-lain. Mahluk ini dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan atas tempat tertentu.

Sehingga, lanjut Sartini, juga harus diberikan penghargaan atas keberadaannya. Tradisi membuat sesajen dapat menjadi bagian bentuk masih ada kepercayaan itu. Manusia merasa harus berdamai, hidup bersama mahluk yang tidak terlihat itu.

"Melakukan sesaji adalah salah satu caranya," ujar Sartini.

Tapi, kata Sartini, di lingkungan Islam fenomena sesaji munculkan banyak tafsir. Pandangan intinya, sesajen dipersembahkan memohon sesuatu kepada selain Allah hukumnya haram atau dilarang. Meski begitu, masih ada pandangan yang memberi peluang.

Orang yang membolehkan mungkin berpandangan kalau melakukannya sebagai sekadar tradisi dan niat permohonan tetap kepada Allah, sehingga tidak menjadi masalah. Alasannya, karena niat permohonannya tetap ditujukan kepada Allah.

"Masalahnya, tidak bisa orang memahami niat orang lain dengan hanya melihat apa yang dilakukan. Inilah yang sering menimbulkan banyak persoalan sosial," kata Sartini.

Ia menilai, keyakinan dan pemahaman sebagian masyarakat soal sesaji akumulasi pengalaman sepanjang hidup. Dalam kelompok yang mungkin mengakomodasi agama dan tradisi, hibridisasi mungkin dapat dilakukan dengan sosialisasi makna simbol.

Sehingga, orang tidak memahami sebagai mitos dan kepercayaan semata yang bila tidak dilakukan, maka menyebabkan hal-hal tertentu. Rasionalisasi simbol-simbol ritual diperlukan hadapi masyarakat yang semakin modern, rasional dan materialistik.

Selain itu, ia berpendapat, kelompok beragama perlu sering berdialog dan sering bertemu, sehingga satu dengan yang lain lebih merasa sebagai teman. Menurut Sartini, sering berkumpul dan berkunjung akan dapat menimbulkan empati.

"Karena ikut merasakan kehidupannya, sehingga tidak akan mudah memaksa-maksa orang lain untuk sama dengan dirinya," ujar Sartini. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler