Minta Kejati Diganti, Dedi Mulyadi: Rapat Berbahasa Sunda, Apa Salahnya?

Penggunaan bahasa daerah dalam kegiatan rapat adalah sesuatu yang wajar. 

Antara/M Risyal Hidayat
Anggota MPR Fraksi Dedi Mulyadi kerap menggunakan bahasa Sunda sebagai media dialog bersama masyarakat dan rapat pejabat.
Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pernyataan Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan, yang meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin mengganti seorang Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) yang rapat menggunakan bahasa Sunda, menuai kontroversi. Anggota DPR RI Dedi Mulyadi, yang juga tokoh Sunda, turut berkomentar mengenai hal tersebut. 


Menurutnya, penggunaan bahasa daerah dalam kegiatan rapat adalah sesuatu yang wajar. "Wajar saja dilakukan selama yang diajak rapat, yang diajak diskusi, mengerti bahasa daerah yang digunakan sebagai media dialog pada waktu itu," ujar Dedi Mulyadi.

Dedi pun saat menjadi Bupati Purwakarta kerap menggunakan bahasa Sunda sebagai media dialog bersama masyarakat dan rapat pejabat. Bahkan, dalam satu hari ada pengkhususan di mana seluruh warga hingga pejabat harus menggunakan bahasa, pakaian, hingga menyediakan makanan khas Sunda.

"Saya lihat di Jawa Tengah juga bupati, wali kota, gubernur sering juga menggunakan bahasa Jawa dalam kegiatan kesehariannya. Ini adalah bagian dari kita menjaga dialektika bahasa sebagai keragaman Indonesia," ucapnya.

Bahkan, kata Dedi, saat ia memimpin rapat sebagai wakil ketua Komisi IV DPR RI, kerap menyisipkan bahasa Sunda di dalamnya. "Justru itu malah membuat suasana rapat rileks, tidak tegang. Sehingga apa yang ada di pikiran kita, gagasan kita, bisa tercurahkan. Dan lama-lama anggota yang rapat sedikit banyak mendapat kosakata baru bahasa Sunda yang dimengerti," katanya.

"Jadi, bagi saya, tidak ada problem apa pun orang mau menggunakan bahasa daerah manapun di Nusantara ini, selama itu bisa dipahami oleh peserta rapat atau acara yang kita pimpin," lanjut Kang Dedi Mulyadi.

Dedi juga mempertanyakan orang-orang yang kerap menggunakan bahasa asing saat rapat atau keseharian. "Kita tidak pernah berpikir apakah istilah asing itu dimengerti atau tidak oleh peserta rapat atau diskusi itu," ucapnya.

Dia pun mengajak agar bersama-sama menjaga keberagaman dan kebinekaan untuk persatuan juga kesatuan bangsa Indonesia. Bagi Dedi, berbahasa daerah bukan berarti tidak nasionalis. Sebab nasionalisme dibangun dari kekuatan daerah-daerah.

"Jadi, kalau Kejati terima suap, saya setuju untuk diganti. Tapi, kalau pimpin rapat pakai bahasa Sunda, apa salahnya?," tandas Kang Dedi Mulyadi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
 
Berita Terpopuler