Ahli: Daripada Polisi Tewas, Lebih Bagus Penjahat yang Mati
Kejadian yang terjadi di KM 50 tol Japek adalah serangkaian proses hukum resmi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar kepolisian dari Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Warasman Marbun menyebut, aksi terdakwa Briptu Fikri Ramadhan, dan Ipda Yusmin Ohorella yang menembak mati anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) adalah sah, dan tak menyalahi aturan, maupun prosedur.
Kata mantan Kadiv Hukum Mabes Polri itu, situasi ekstrem dari rangkaian kejadian peristiwa di KM 50 Tol Japek itu mendesak para terdakwa anggota Resmob Polda Metro Jaya itu, melepaskan peluru tajam yang mematikan ke para pengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) tersebut.
Bahkan, dikatakan Warasman, doktrin kepolisian internasional mendukung terdakwa Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin yang ‘mencabut’ nyawa para anggota laskar dengan melepaskan tembakan langsung ke areal mematikan. Warasman menjelaskan, kejadian yang terjadi di KM 50, adalah serangkaian proses hukum resmi. Mulai dari penyelidikan, berupa pengintaian, dan pembuntutan yang sudah mendapatkan surat perintah. Sampai upaya penangkapan resmi yang dilakukan oleh kepolisian.
Akan tetapi, dalam serangkaian tersebut, dikatakan dia, terjadi perlawanan dari objek penyelidikan. Yaitu, berupa penghalang-halangan. Bahkan dikatakan dia, terjadi perlawanan terhadap petugas yang melakukan mandat resmi kepolisian.
Warasman menyebutkan, penghalangan sampai perlawanan dari anggota Laskar FPI itu diibaratkan pertentangan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan terhadap petugas resmi. Kata dia, sampai ada perlawanan fisik yang memaksa dilakukan tindakan penembakan mematikan.
Kata Warasman, doktrin kepolisian internasional membolehkan anggota kepolisian melepaskan tembakan mematikan untuk melindungi diri dari dampak kematian. “Saya sebutkan dalam doktrin internasional, daripada petugas (polisi) yang mati, lebih bagus penjahat yang mati,” kata Warasman, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa (18/1/2022).
Warasman, dihadirkan sebagai ahli yang diajukan tim pengacara terdakwa Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin ke persidangan. Warasman, di dalam sidang tersebut, sekaligus sebagai saksi dari kepolisian yang meringankan bagi dua terdakwa itu.
Warasman mengatakan, situasi yang terjadi saat peristiwa KM 50 tersebut, masuk kategori bahaya. Sebab, kata dia, adanya dua kali aksi perlawanan yang dilakukan enam anggota Laskar FPI. Perlawanan pertama yang menewaskan dua orang. Yakni Faiz Ahmad Syukur, dan Andi Oktaviawan di KM 50. Sedangkan perlawanan kedua, berawal dari upaya kepolisian menangkap hidup empat anggota Laskar FPI lainnya di KM 50+200. Empat tersebut, yakni Muhammad Lutfi, Ahmad Sofiyan, Suci Khadavi, dan M Reza.
Akan tetapi, dikatakan Warasman, keempat anggota laskar itu setelah ditangkap hidup, melakukan perlawanan di dalam mobil kepolisian, saat hendak dibawa ke Polda Metro Jaya. Dari rangkaian kejadian, kata Warasman, keempat anggota Laskar FPI tersebut, melawan, dan menyerang, dan berusaha merebut senjata api milik Briptu Fikri.
Aksi melawan, dan merebut senjata api tersebut, yang dikatakan Warasman, sebagai situasi yang berbahaya bagi anggota kepolisian. Sebab itu, dia menyatakan, membolehkan peristiwa penggunaan senjata api yang mematikan anggota FPI tersebut.
“Artinya, penggunaan senjata api itu, dalam hal menghadapi keadaan, dan situasi yang luar biasa. Kenapa disebut luar biasa, karena sudah membahayakan anggota kepolisian, skala merah. Kalau tidak bertindak (menembak mati), maka polisi yang mati (tertembak), atau temannya yang mati,” kata Warasman.
Dalam kasus ini, selain Briptu Fikri, yang melepaskan tembakan juga adalah Ipda Elwira Priyadi, dan Ipda Yusmin yang mengendalikan setir mobil dari Karawang-Bekasi, menuju ke Polda Metro Jaya.
Warasman mendalilkan pendapatnya dengan mengutip Peraturan Kapolri (Perkapolri) 8/2009 tentang Penggunaan Senjata Api. Dalam aturan tersebut dikatakan, petugas kepolisian dapat menggunakan senjata api, dalam situasi luar biasa.
“Luar biasa tersebut, adalah situasi yang tidak dapat dihindari. Maka itu, bisa dilakukan pelumpuhan. Dan dalam situasi ini, senjata api sudah direbut, nah itu tidak ada yang keliru,” ujar Warasman.
Akan tetapi, istilah senjata api yang direbut oleh anggota laskar tersebut, diperdebatkan oleh jaksa pada sidang sebelumnya. Pekan lalu, JPU Paris Manalu, sempat mempertanyakan rangkaian kronologis peritiwa penyerangan, dan perebutan senjata api yang diduga dilakukan oleh empat Laskar FPI di dalam mobil kepolisian itu. Jaksa Paris, menanyakan itu kepada ahli INAFIS Bareskrim Polri, Eko Wahyu Bintoro yang turut dihadirkan ke persidangan, Selasa (4/1).
Jaksa Paris menanyakan kepada Eko, tentang apakah rekonstruksi peristiwa KM 50 yang dilakukan kepolisian, adalah rangkaian kronologis peristiwa yang hanya bersumber dari keterangan para terdakwa yang turut dihadirkan ke persidangan. Yakni Britu Fikri, dan Ipda Yusmin.
Selanjutnya, Jaksa Paris juga menanyakan kepada Eko, apakah dalam rekonstruksi tersebut, peristiwa perebutan senjata api itu, sudah berujung pada penguasaan senjata api dari tangan petugas, ke anggota laskar yang menjadi korban.
Menjawab itu, Eko mengungkapkan, rekonstruksi peristiwa memang bersumber dari pengakuan terdakwa Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin. Sedangkan keterangan dari Ipda Elwira, tak dapat dilakukan karena sudah dinyatakan meninggal dunia, sebelum rekonstruksi dilakukan.
Sedangkan, terkait dengan perebutan senjata api tersebut sudah berpindah tangan, Eko, pun mengatakan, dari rangkaian rekonstruksi, upaya perebutan senjata api dari tangan Briptu Fikri itu, tak berujung pada penguasaan senjata api oleh empat anggota laskar FPI.
“Jadi terkait foto-foto rekonstruksi tersebut, kami lakukan bersama-sama, berikut dengan keterangan dari tersangka yang melakukan kegiatan (pembunuhan) tersebut,” ujar Eko kepada majelis hakim, Selasa (4/1).
“Dari rekonstruksi itu prosesnya (senjata api) masih dipegang Briptu Fikri,” terang Eko menambahkan.
Pembunuhan enam anggota Laskar FPI, terjadi pada 7 Desember 2020 lalu. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut peristiwa itu, sebagai pelanggaran HAM, berupa unlawfull killing. Dalam persidangan kasus tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjerat dua terdakwa, Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin dengan sangkaan Pasal 338 KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana, dan Pasal 351 ayat (3) KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana dengan ancaman penjara 7 sampai 15 tahun penjara.