Pindah Ibu Kota, Sebuah Pertaruhan Besar Jokowi

Pemerintah mesti punya skema jika biaya pemindahan ibu kota meningkat berlipat-lipat

Republika/Edwin Dwi Putranto
Presiden Joko Widodo mengumumkan pemindahan ibukota negara di Istana Merdeka, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Red: Joko Sadewo

Oleh : Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Beleid ibu kota baru telah resmi disahkan dalam rapat paripurna DPR RI. Undang-Undang ini akan menjadi landasan dalam pemindahan ibu kota baru dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Pemindahan dilakukan secara bertahap dan diharapkan sebelum 2024, tahap awal sudah bisa dilaksanakan. Target ini memang sangat ambisius, mengingat kini hanya tersisa waktu dua tahun.

Padahal, selama dua tahun itu, akan banyak sekali kesibukan, dari persiapan pilpres, hingga pemulihan ekonomi pasca-covid. Artinya, butuh komitmen dan usaha keras bila keinginan itu ingin tercapai. Pun halnya hingga target penyelesaian pembangunan pada 2045. 

Ada sejumlah tantangan utama yang akan dihadapi dalam pembangunan ibu kota baru ke depan. Pertama yakni masalah pembiayaan.  Uang yang dibutuhkan untuk pembangunan ibu kota baru diperkirakan mencapai Rp 501 triliun. Namun seperti halnya pengerjaan proyek lain, angka itu bisa jadi membengkak ke depan. Misal dari biaya material atau jika ada persoalan lain yang menuntut penambahan pembiayaan.

Sebut saja pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung dari sebelumnya diperkirakan Rp 86,5 triliun menjadi Rp 115,24 triliun.   Pertanyaannya ke depan, apakah pemerintah sudah siap jika nantinya biaya membengkak? Apakah pemerintah siap untuk menanggung pembengkakan biaya tersebut?  Lantas dananya dari mana?

Sampai dengan 2024, pembiayaan pembangunan ibu kota negara (IKN) yang bernama Nusantara akan ikut dibebankan dalam APBN. Porsinya masih belum dipastikan seberapa besar, meski sejumlah media melansir situs IKN menyebut penggunaan APBN mencapai 53,3 persen. Sisanya akan diambil dari Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) Swasta, dan BUMN sebesar 46,7 persen. Selanjutnya pada 2024 hingga seterusnya, pembiayaan ditingkatan melalui investasi KPBU dan swasta.

Kontribusi awal dari APBN, menunjukkan bagaimana pemerintah sudah sangat 'ngebet' untuk memindahkan ibu kota. Artinya, alokasi anggaran yang diperoleh dari pajak negara akan banyak mengalir ke pembangunan ibu kota. 

Namun tantangan terbesarnya justru bukan di sana. Tantangan itu justru adalah bagaimana kerja sama pemerintah dan badan usaha serta investasi swasta. Pihak swasta tentu akan melihat-lihat konsesi apa yang didapat jika menanamkan modalnya di ibu kota baru.

Apakah konsesi itu menguntungkan. Jika tidak, maka mereka akan berpikir dua kali untuk menyuntikkan modalnya. Apalagi di tengah kondisi ekonomi dunia yang baru dihantam pandemi Covid-19.

Uni Emirat Arab sebelumnya telah berkomitmen menyiapkan investasi 10 miliar dolar AS atau sekitar Rp 142,8 triliun untuk pembangunan ibu kota baru. Namun lagi-lagi, ini baru sekadar komitmen.  Ingat ketika Kerajaan Arab Saudi menebar janji manis untuk investasi ke RI. Kenyataannya tidak semanis yang disampaikan. 

Pertanyaannya adalah bagaimana jika komitmen investasi ini tidak tercapai karena dianggap kurang menguntungkan? Lantas kocek mana lagi yang akan dirogoh? Apakah dengan menambah utang atau ada jalan lain? Seperti kita ketahui komitmen awal pemerintah sejak awal adalah mendorong investor sebagai motor penggerak utama pembangunan, bukan dari APBN yang memberatkan keuangan negara.

Opsi-opsi gagal ini harus diperhitungkan matang-matang. Sehingga, jangan sampai sudah bangun, tapi di tengah jalan tak mampu melanjutkan dan akhirnya mangkrak.

Satu hal lagi yang juga patut diperhitungkan adalah kondisi ekonomi eksternal yang berada di luar jangkauan kita. Misal seperti pandemi Covid-19 yang membuat ekonomi dunia kelimpungan, atau kondisi-kondisi lain seperti gejolak ekonomi dunia yang kini semakin rentan.

Ingat, jumlah utang Indonesia kini mencapai Rp 6.700 triliun. Stabilitas rupiah akan sangat menentukan kemampuan kita dalam membayar utang. Tantangan kedua yang juga tak kalah penting adalah, memindahkan sumber daya manusia ke Kalimantan. Pemindahan SDM antarpulau ini bukanlah hal mudah. \

Untuk pegawai mereka yang belum berkeluarga dan belum punya rumah, mungkin tidak masalah. Lantas bagaimana dengan mereka yang berkeluarga?



Mereka yang berkeluarga dan punya anak tentu memikirkan banyak hal. Dari mulai tempat tinggal di ibu kota baru, pendidikan anak, infrastruktur kesehatan atau lingkungan penunjang. Apalagi jika pasangannya sudah punya pekerjaan di Jakarta. Apakah harus ditinggalkan? 

Jika tidak mau pindah semuanya, paling mungkin yakni pulang pergi Kalimantan-Jakarta dengan jarak 2.000 kilometer. 

Ini baru di tataran pegawai pemerintah. Lalu bagaimana dengan karyawan swasta? Tentunya, akan lebih sulit lagi. Karena, jika semua urusan birokrasi bisa dilakukan dari jarak jauh, pada akhirnya ya lebih baik tinggal di Jakarta.

Di sisi lain, mereka yang pindah pun harus menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan baru. Karena bagaimana juga kondisi kultural di Jawa tentulah berbeda dengan Kalimantan. Butuh waktu untuk beradaptasi.

Menurut keterangan pemerintah, ibu kota baru ini nantinya dirancang untuk 1,5 juta penduduk di luas lahan 256 ribu hektar. Artinya, kota ini akan jauh lebih sepi dibandingkan Jakarta yang mencapai 11 juta.

Isu lain yang juga tak kalah penting yakni masalah regulasi dan pengelola ibu kota. Berdasarkan beleid yang baru, pengelola ibu kota tak lagi dipilih seperti halnya daerah-daerah lain melalui pilkada. Karena sifatnya otorita, maka kepala pemerintahan akan diangkat langsung oleh pusat.

Di sinilah persoalannya, karena penunjukan kepala badan otorita dinilai sejumlah pakar tidak ada cantolannya di dalam UUD 1945. Artinya, bila digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) maka rawan kalah seperti halnya UU Omnibus Law yang bemasalah secara hukum. 

Jika tantangan-tantangan ini berhasil diselesaikan, maka pemindahan ibu kota diharapkan akan berjalan mulus dan menjadi peninggalan/legasi penting pemerintahan Jokowi. Presiden Jokowi  telah bergerak lebih maju dibandingkan Presiden Soekarno yang sebelumnya juga pernah ingin memindahkan ibu kota ke Palangkaraya pada era 1960-an.

Jokowi juga mengungguli Soeharto yang juga berkeinginan untuk memindahkan ibu kota ke Jonggol. Namun sebaliknya, jika pemindahan ibu kota gagal, maka ini akan menjadi preseden buruk buat pemeritahan Jokowi dan menjadi tanggungan berat bagi masyarakat. Bisa dibilang, pemindahan ibu kota ini adalah sebuah pertaruhan besar.  

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler