Dinilai Salah Prosedur, Edy Mulyadi Minta Polisi Menunda Pemeriksaan
Pemeriksaan seharusnya tiga hari setelah surat datang dari penyidik.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terlapor kasus ujaran kebencian, Edy Mulyadi (EM) meminta pemeriksaan terhadap dirinya ditunda. Pegiat politik di media sosial (medsos) itu semula akan dimintakan keterangan oleh tim penyidikan Direktorat Tindak Pidana (Dirtipid) Siber Bareskrim terkait kasus penghinaan terhadap Kalimantan, Jumat (28/1).
Namun tim pengacaranya memastikan pemeriksaan tersebut batal. Pengacara Herman Kadir mengatakan, Edy tak bisa hadir karena adanya alasan hukum. “Tidak bisa hadir hari ini. Karena ada halangan,” ujar Herman di Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (28/1).
Edy telah mengirimkan surat ke penyidik terkait penundaan dan penjadwalan ulang pemeriksaan tersebut. “Jadi, kami hari ini datang (ke Bareskrim), hanya untuk mengantarkan surat agar pemeriksaan dapat ditunda,” ujar Herman.
Herman menerangkan alasan hukum mengapa Edy memilih tak memenuhi panggilan pemeriksaan tersebut. Kata dia, pilihan tersebut karena terkait dengan prosedur hukum formal. Edy, kata Herman, keberatan dengan pemanggilan tersebut karena surat dari Bareskrim Polri baru sampai pada Kamis (27/1).
Menurut Herman, mekanisme pemanggilan untuk pemeriksaan semestinya tiga hari setelah surat datang dari penyidik. “Artinya ini (pemanggilan untuk diperiksa) sudah tidak sesuai dengan KUHP. Dan ini, yang kami sampaikan ke penyidik lewat pemberitahuan ini,” uajr Herman.
Meskipun begitu, kata Herman, kliennya bukan memilih mangkir dan melawan proses hukum. Melainkan agar proses hukum juga berjalan sesuai dengan aturan. “Nanti, dari sini (Bareskrim) dipanggil ulang. Dan kita akan sesuai prosedur,” ujar Herman.
Kasus yang menyeret Edy berawal dari komentar terbuka tentang penolakan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur (Kaltim). Edy, dalam video yang tersebar di medsos mengucapkan kalimat-kalimat penolakan yang dinilai menghina masyarakat di Kalimantan.
Edy menyebut wilayah ibu kota baru tersebut sebagai daerah yang tak layak dihuni oleh kalangan manusia, dengan menyebut daerah ibu kota baru, sebagai tempat ‘jin buang anak’. Edy juga menyebut wilayah ibu kota baru itu sebagai pasar yang dihuni makhluk-makhluk gaib. “Kalau pasarnya kuntilanak, genderuwo, ngapain ngebangun di sana (Kalimantan),” kata Edy.
Masyarakat adat di Kalimantan melayangkan protes dan ultimatum terbuka. Bahkan, melakukan pelaporan tindak pidana ke kepolisian di sejumlah daerah pun di Jakarta.
Karo Penmas Humas Mabes Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan pada Kamis (27/1) menyampaikan, pihaknya sudah memeriksa 38 saksi dan ahli di berbagai daerah. Pemeriksaan lanjutan akan dilakukan pada Jumat (28/1), termasuk memeriksa Edy sebagai saksi terlapor.