Palestina Dilanda Badai Salju Besar, Israel Justru Persulit Penanganan
Palestina hadapi badai salju terburuk dalam tujuh tahun terakhir
REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH— Pihak berwenang di wilayah Palestina menutup kantor pemerintah, sekolah, universitas, dan bank karena badai salju yang terjadi di seluruh negeri pada Kamis, (27/1).
Badai ini menjadi yang terbesar dalam tujuh tahun terakhir dan polisi Palestina meminta warga untuk tetap di rumah selama mungkin.
Dilansir dari The New Arab, Palestina juga menutup beberapa jalan dan menyuruh orang-orang untuk menghindari penggunaan kendaraan. Layanan transportasi umum juga sementara ini dibatasi.
Di Kota Hebron, di mana salju setebal 20 sentimeter terjadi, pihak berwenang setempat, Nadia Habash mengaku mengambil tindakan pencegahan karena kurangnya kesiapan infrastruktur.
Pencegahan dilakukan di berbagai tempat sesuai Perjanjian Oslo pada 1993 yang membagi Tepi Barat yang diduduki menjadi tiga bagian, Area A, Area B dan Area C.
Area A berada di bawah kendali administratif dan keamanan Otoritas Palestina (PA) sementara Area B dikelola PA dengan Israel mengendalikan keamanan. Sementara area C berada di bawah kendali penuh administrasi dan keamanan Israel.
"Infrastruktur Palestina di Area B dan C, yang mencakup sebagian besar Tepi Barat, "sangat buruk", kata Habash.
Menurutnya, persiapan untuk badai dibuat lebih sulit oleh otoritas Israel. “Pada Rabu malam, kami menemani kru darurat ke sebuah desa di luar Ramallah, untuk bersiap menghadapi badai yang akan datang,” kata Habash.
Namun menurut Habash, pasukan Israel tidak mengizinkan buldoser lewat. "Kurangnya kedaulatan merupakan hambatan utama bagi kami untuk memiliki layanan darurat dan infrastruktur yang tepat di mana kami membutuhkannya. Ini memaksa kami untuk menangguhkan kehidupan untuk gelombang salju terakhir," tambah insinyur itu.
Khaled Ghazal, anggota tim darurat di kota Ramallah, mengatakan kepada The New Arab bahwa saat di dalam kota, nereka memiliki salah satu infrastruktur paling canggih di Tepi Barat. Tapi masih menghadapi banyak tantangan untuk menggunakannya.
“Kami tidak memiliki cukup saluran untuk air hujan, dan jaringan kami telah dibangun melalui akumulasi upaya selama bertahun-tahun,” kata Ghazal.
Sementara pemukim Israel yang tinggal di dekatnya mendapat manfaat dari infrastruktur yang tangguh, penduduk mengandalkan kekuatan rakyat, kata Ghazal.
“Kami menutupi kekurangan kapasitas dengan sejumlah besar sukarelawan dan pekerja,” katanya.
“Kami mencoba yang terbaik untuk menjembatani kesenjangan kapasitas antara kami dan permukiman Israel yang hanya berjarak setengah jam,"tambahnya.