Komnas HAM akan Mintai Keterangan Bupati Langkat Pekan Depan

KPK menilai pemeriksaan Komnas HAM tidak akan mengganggu penyidikan.

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin memakai rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta.
Rep: Febryan. A Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengizinkan Komnas HAM memeriksa Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin (TRP), terkait keberadaan kerangkeng manusia di rumahnya. Pemeriksaan TRP, yang kini ditahan KPK terkait kasus suap, diagendakan pada pekan depan. 

Baca Juga


Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, pihaknya telah menerima permintaan dari Komnas HAM untuk memeriksa Terbit. KPK pun mempersilakan dan akan memfasilitasi prosesnya. 

"Permintaan keterangan oleh Komnas HAM terhadap TRP diagendakan pada minggu depan," kata Ali Fikri dalam keterangannya kepada Republika, Rabu (2/2/2022). 

Ali pun memastikan bahwa pemeriksaan oleh Komnas HAM ini tidak akan mengganggu proses penyidikan kasus suap yang menjerat Terbit. "Kami memastikan bahwa agenda ini tidak mengganggu proses penyidikan yang sedang berlangsung di KPK," ujarnya. 

Terpisah, Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam mengatakan, pihaknya kini sedang membahas detail teknis dan hari pemeriksaan Terbit dengan pihak KPK. Ia pun mengapresiasi sikap KPK yang menyambut positif rencana ini. 

"Secara prinsip, ada respons positif dan kerja sama. Kami ucapkan terima kasih atas respons dan kerja sama KPK," ujar Anam kepada Republika, Rabu. 

Anam menambahkan, pihaknya mengajukan permohonan pemeriksaan Terbit secara mandiri, bukan bersamaan dengan tim Polri. "Kami berkomunikasi dengan KPK sendiri," katanya. Karena itu, pemeriksaan Terbit nantinya hanya akan dilakukan oleh jajaran Komnas HAM.

Senin lalu, Anam mengatakan, bahwa pemeriksaan Terbit akan membuat kasus keberadaan kerangkeng dan dugaan perbudakan yang terjadi di sana, menjadi terang benderang. Sebab, Komnas HAM akan mendalami soal apa yang terjadi di sana, bagaimana peristiwa itu, dan kapan hal tersebut dimulai, serta lain sebagainya. 

"Penting proses ini agar terangnya peristiwa semakin lama semakin baik dan masyarakat mengetahui apa yang terjadi. Komnas HAM juga semakin lebih mudah ketika menarik kesimpulan dan melahirkan rekomendasi," ujarnya. 

Sebelumnya, tim KPK menemukan kerangkeng manusia ketika menggeledah rumah Terbit terkait kasus suap pada pertengahan Januari. Temuan kerangkeng itu lantas dilaporkan oleh lembaga swadaya pemerhati buruh migran, Migrant CARE, ke Komnas HAM, Senin (24/1/2022).  

Migrant CARE menduga, puluhan orang yang ditahan di sana adalah korban perbudakan dan penyiksaan. Mereka dikerangkeng dan diperkerjakan di kebun sawit milik Terbit setiap hari tanpa digaji.  

Polisi menyebut, ada 48 orang yang dipenjarakan di kerangkeng tersebut. Semuanya telah dipulangkan kepada keluarga masing-masing. 

 

 

 

 

Jauh sebelum kasus dugaan perbudakan ini menyeruak, Terbit sebenarnya sempat membeberkan bagaimana dirinya mengelola kerangkeng manusia yang dia sebut sebagai 'tempat pembinaan pencandu narkoba' itu. Hal ini disampaikan Terbit dalam sebuah video di akun YouTube istrinya, Tiorita Rencana, pada 27 Maret 2021. 

Terbit mengatakan, 'pembinaan' pecandu narkoba di sel tersebut sudah dilakukan selama 10 tahun terakhir. Dia bilang, sudah ada dua sampai tiga ribu orang yang pernah 'dibina' di sana.

Namun, temuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyimpulkan hal berbeda. setidaknya ada tiga dugaan tindak pidana terkait keberadaan kerangkeng manusia di rumah Terbit. Kesimpulan ini diambil usai tim LSPK mendatangi sel tersebut serta mewawancarai korban dan keluarganya. 

Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, dugaan tindak pidana pertama adalah penghilangan kemerdekaan orang atau beberapa orang oleh seseorang atau beberapa orang secara tidak sah. Penghilangan kemerdekaan orang lain ini dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kewenangan. 

"Hal ini bisa kita sebut adalah penyekapan," kata Hasto dalam konferensi pers di Kantor LPSK, Jakarta, Senin (31/1). 

Kedua, dugaan tindak pidana perdagangan orang. Sebab, puluhan orang yang dipenjarakan di sana diperkerjakan secara paksa di kebun sawit dan pabrik pengolahan sawit milik Terbit. 

Ketiga, dugaan tindak pidana membuat panti rehabilitasi ilegal. "Terkait hal ini, Badan Narkotika Nasional daerah sudah mengeluarkan pernyataan bahwa ini bukan panti rehabilitasi yang sah," ujar Hasto. 

Tim LSPK melakukan investigasi atas kasus ini dalam beberapa hari sejak Kamis (27/1). Tim mendapatkan 17 temuan. Beberapa di antaranya adalah kondisi kerangkeng sangat tidak layak ditempati, korban diperkerjakan tanpa upah, korban dibatasi untuk beribadah dan berkomunikasi, ada batasan waktu penahanan minimal 1,5 tahun, serta ada korban yang meninggal dunia akibat penyiksaan. 

Tim LPSK sudah menyerahkan 17 temuan itu kepada Kapolda Sumatera Utara. Hasto meminta polisi menyelidiki kasus ini hingga tuntas. Apabila polisi sudah menyatakan kasus ini sah tindak pidana, barulah LPSK bisa memberikan perlindungan kepada korban maupun saksi. 

"Kami mendorong aparat penegak hukum untuk segera melakukan tindakan yang diperlukan guna menetapkan apakah ini suatu tindak pidana atau bukan. Tetapi temuan tim kami menemukan indikasi kuat bahwa ada tindak pidana," ujarnya. 

 

 

Kerangkeng Manusia Bupati Langkat - (Republika)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler