Kota Tua Jakarta Dahulu, Kini, dan (Mungkin) Nanti
BATAVIA bukanlah representasi tunggal dari identitas Kota Tua Jakarta.
Resensi Buku Identitas Kota Tua Jakarta Konstruksi Sosial Masyarakat Lokal
BATAVIA bukanlah representasi tunggal dari identitas Kota Tua Jakarta. Kawasan yang menjadi cikal bakal ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia ini memiliki sejarah yang panjang, mulai dari Kerajaan Tarumanagara, Sunda, Jayakarta, Batavia, hingga masa menjadi Jakarta.
Jakarta yang saat ini (masih) menjadi ibu kota negara semestinya dapat ditonjolkan sebagai wilayah yang memiliki karakter identitas yang kaya dan kuat sebagai kota sejarah sekaligus destinasi wisata. Namun amat sangat disayangkan bila pembentukannya hanya dilihat dari satu sisi, yakni era penguasan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau persekutuan dagang asal Belanda maupun masa kolonialisasi Kerajaan Belanda.
Berdasarkan hasil penelitian Firman Haris yang dituangkan dalam buku berjudul 'Identitas Kota Tua Jakarta', kita dapat menemukan lika-liku perjalanan sejarah Jakarta selama ribuan tahun. Dalam tulisannya ini, dia coba menggali pengetahuan terkait Kota Tua Jakarta dari sisi masyarakat dan komunitas lokal, serta menganalisa pembentukan identitasnya.
Menariknya, dalam catatannya Firman menemukan fenomena interaksi komunitas keluarga keturunan Pangeran Jayakarta dengan masyarakat dan komunitas lokal di Kota Tua Jakarta. "Ini fenomena baru yang positif, karena memperluas jejaring dan pengetahuan bagi masyarakat dan komunitas lokal, khususnya tentang sejarah dan nilai-nilai Kepangeranan Jayakarta," ujar dia.
Ia mengakui, selama perjalanan risetnya cukup kesulitan dalam mendapatkan referensi yang komplit tentang Jakarta di era 1527 hingga 1619. Yakni, sejak periode penamaan Jayakarta oleh Fatahillah sampai masa pendudukan tentara VOC yang kemudian mengganti nama kota menjadi Batavia.
Beruntung dirinya mendapatkan literasi yang 'berbeda' dan sangat lokal. Berdasarkan suatu babad bernama Kitab Al Fatawi, catatan sejarah dari Keturunan Pangeran Jayakarta, Firman dapat menceritakan perkembangan pembangunan atawa konstruksi Kota Tua semasa kepemimpinan empat orang pangeran sebelum dikuasai VOC pada tahun 1619. Dimulai Maulana Hasanuddin sebagai Pangeran Jayakarta I, Wijaya Kusuma Bin Fatahillah sebagai Pangeran Jayakarta II, serta Ahmad Bin Raden Sungareksa Jayawikarta dan Kawisa Adimerta Bin Ki Mas Wisesa sebagai Pangeran Jayakarta III dan IV.
Selanjutnya, terdapat empat orang pangeran lain yang dipilih pada periode selanjutnya untuk memimpin Jayakarta sebagai simbol perjuangan melawan kolonial VOC hingga tahun 1840. Keempatnya ialah, Kertadria Bin Wiranegara, Sosrodiningrat Bin Raden Mas Said Sambernyawa, Ainal Alyasa Bin Sapujagad, serta Ahmad Muhammad Bin Ainal Alyasa.
Kawasan Kota Tua sempat memiliki tiga buah keraton, yakni pertama di Marunda yang kemudian berpindah lokasi ke Jayapati, pesisir Cilincing. Bangunan yang kini telah luluh lantah itu dibangun oleh Pangeran Arya Jipang atau disebut Arya Pinangsraye, cucu Sultan Demak Raden Fattah, pada tahun 1548. Kemudian, akhirnya keraton pindah di wilayah Pulorogo Senajayaan atau di Palmerah sekarang.
Selain kaya akan warisan wisata sejarah, buku ini juga menampilkan pola interaksi sosial yang terjadi di dalam kawasan Kota Tua dan sekitarnya. Misalnya, keragaman suku dan budaya (pluraisme) yang terjadi di dalam Tembok Kota Tua atau zona inti, dan terbentuknya pusat-pusat kreatifitas bagi kalangan komunitas.
Meskipun terkadang muncul kata-kata atau istilah ilmiah yang terdengar asing, mengingat buku ini merupakan ditulis dari hasil tesis pascasarjana, tulisan Firman ini tetap menarik untuk dibaca. Buku ini cukup layak untuk ditelusuri dapat menambah literasi tentang perjalanan Kota Jakarta sejak dahulu, kini, dan (mungkin) nanti.