Larangan Hijab Picu Gesekan Antaragama di India

Sekolah di Udupi melarang siswi yang berhijab masuk kelas.

AP Photo
Serombongan siswa perempuan India berjalan menuju sekolah mereka di Udupi, India, Senin (7/2/2022). Pelajar India yang menggunakan jilbab dilarang memasuki ruang kelas mereka.
Rep: Lintar Satria Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Para siswi yang dilarang masuk kelas karena memakai hijab menggelar tenda di depan sekolah. Kisah mereka segera menyebar di internet dan mendorong media mengerubungi sekolah negeri di distrik Udupi, selatan Negara Bagian Karnataka, India.

Baca Juga


Perdebatan pun pecah. Para siswa mulai berunjuk rasa di gerbang sekolah dan berkumpul berkelompok sambil belajar. Staf sekolah yang menegaskan para siswi melanggar peraturan seragam tidak bergeming.

Satu bulan kemudian semakin banyak sekolah menerapkan larang serupa pada hijab. Memaksa pengadilan tinggi negara bagian untuk terlibat. Pengadilan akan mendengar petisi yang diajukan para siswi yang berunjuk rasa dan akan memutuskan apakah mencabut larangan tersebut atau tidak.

Namun ketegangan yang tidak nyaman telah menimbulkan ketakutan pada para siswi di negara bagian Muslim. Mereka merasa kebebasan beragama mereka ditekan.

Pada Senin (7/2/2022) kemarin ratusan siswa-siswi termasuk orang tua mereka turun ke jalan, mengabaikan peraturan Covid-19. Murid dan wali mereka menuntut agar siswi yang mengenakan hijab diizinkan belajar di kelas.

"Apa yang kami saksikan merupakan bentuk apartheid agama, dekrit ini diskriminasi dan berlaku dengan tidak adil pada muslimah," kata seorang siswi berusia 18 tahun yang ikut berunjuk rasa, AH Almas, Selasa (8/2/2022).  

Sejumlah pertemuan antara staf sekolah, perwakilan pemerintah dan murid gagal menyelesaikan masalah ini. Menteri pendidikan negara bagian BC Nagesh juga menolak mencabut larangan itu.

"Mereka yang menolak mengikuti peraturan seragam dapat mengeksplorasi pilihan lain," katanya pada wartawan Ahad (6/2/2022) lalu.

Bagi banyak perempuan Muslim, hijab merupakan bagian dari keimanan mereka. Hijab sudah menjadi masalah selama berpuluh-puluh tahun di Barat terutama di Prancis yang pada tahun 2004 lalu melarang hijab di sekolah negeri.

Namun di India yang 14 persen dari 1,4 miliar populasinya Muslim, tidak pernah melarang atau membatasi pemakaian hijab di ruang publik. Banyak perempuan Muslim di India yang memakai hijab di jalan.

 

Karena perdebatan ini melibatkan bias pada kain yang digunakan menutup rambut dan menjaga kesopanan, sejumlah aktivis hak sipil khawatir dekrit anti-hijab menambah Islamophobia.

Kekerasan dan kebencian terhadap Muslim di India meningkat pesat selama pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi dari partai nasionalis Hindu berkuasa. Partai itu juga berkuasa di Negara Bagian Karnataka.

"Memilih hijab untuk dikritik itu tidak adil dan diskriminatif, mereka yang menentangnya memiliki catatan mencela sekularisme dan dengan terbuka mendukung mayoritarianisme,” kata pendiri kelompok wanita Muslim, Bharatiya Muslim Mahila Andolan, Zakia Soman.

Pihak lain menekankan Modi dan partai nasionalis Hindu-nya perlahan-lahan akan semakin mengisolasi dan memarjinalisasi muslim. Kegelisahan yang sudah lama dirasakan komunitas Muslim India, negara multikultural yang menjamin kebebasan beragama di konstitusinya.

"Apa yang kami lihat adalah upaya menutup keberadaan perempuan Muslim dan mendorong mereka dari ruang publik," kata aktivis di New Delhi, Afreen Fatima.

Ia mengatakan larangan ini merupakan puncak dari iklim kebencian terhadap Muslim. "Yang kini termanifestasikan dalam bentuk fisik," katanya.

Kebijakan anti-hijab memicu kecaman dari masyarakat di daring. Tagar #HijabIsOurRight menyebar di media sosial tapi juga dapat perlawanan balik.

Pekan lalu sejumlah murid Hindu di Karnataka memakai selendang berwarna kunyit, simbol kelompok nasionalis Hindu. Mereka juga mengucapkan puja-puji pada dewa dengan keras. Sambil memprotes pilihan siswi muslim untuk memakai hijab.

Hal ini menunjukkan keretakan antara agama di India semakin besar. Ketegangan antara mayoritas Hindu dengan minoritas Muslim.

 

Peristiwa tersebut mendorong pemerintah negara bagian untuk melarang pakaian yang dianggap "mengganggu kesetaraan, integritas dan ketertiban umum". Sejumlah sekolah menengah mengumumkan hari libur untuk menghindari bentrokan massa.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler