AS Sahkan RUU untuk Sanksi ICC yang Ingin Tangkap Netanyahu

Sanksi tersebut mencakup pembekuan aset properti serta penolakan visa.

hrw.org
International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional)
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Pemungutan suara yang berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat (AS) pada Kamis (9/1/2025), memutuskan untuk memberikan sanksi kepada Pengadilan Pidana Internasional (ICC) sebagai protes atas penerbitan surat perintah penangkapan bagi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanannya Yoav Gallant atas operasi zionis di Gaza.

Baca Juga


Hasil voting adalah 243 berbanding 140 yang mendukung "Undang-Undang Penanggulangan Pengadilan yang tidak Sah." Beleid ini akan memberikan sanksi kepada setiap orang asing yang menyelidiki, menangkap, menahan, atau mengadili warga negara AS atau warga negara sekutu, termasuk AS dan Israel, yang tidak mengakui Statuta Roma yang menjadi dasar pembentukan ICC.

Sebanyak 45 politisi Partai Demokrat bergabung dengan 198 suara dari Partai Republik dalam mendukung RUU tersebut. Tidak ada anggota Partai Republik yang memberikan suara menentang.

"Amerika mengesahkan undang-undang ini karena pengadilan yang tidak sah berusaha untuk menangkap perdana menteri sekutu besar kita, Israel," kata Perwakilan Brian Mast, ketua Republik Komite Urusan Luar Negeri DPR, dalam pidato DPR sebelum pemungutan suara, lapor Reuters.

Pemungutan suara DPR, salah satu yang pertama sejak Kongres baru dilantik pekan lalu, menggarisbawahi dukungan kuat di antara rekan-rekan Republik Presiden terpilih Donald Trump untuk Pemerintahan Israel. Terlebih, Republik mengendalikan kedua kamar di Kongres.

Trump akan dilantik pada 20 Januari untuk masa jabatan kedua sebagai presiden. Pemimpin mayoritas Republik yang baru diangkat di Senat, John Thune, telah menjanjikan pembahasan  cepat atas undang-undang tersebut di kamarnya sehingga Trump dapat menandatanganinya menjadi undang-undang segera setelah menjabat.

Dua aktivis menggelar teatrikal penangkapan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu saat aksi bela Palestina di Kota Tangerang, Banten, Jumat (6/12/2024). - (ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin)

ICC adalah pengadilan permanen yang dapat mengadili individu atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan agresi di negara-negara anggota atau oleh warga negara mereka.

Pengadilan telah mengeluarkan keputusannya untuk mengajukan surat perintah terhadap pejabat Israel sejalan dengan pendekatannya dalam semua kasus. Putusan tersebut berdasarkan penilaian oleh jaksa penuntut bahwa ada cukup bukti untuk melanjutkan, dan pandangan bahwa mengajukan surat perintah penangkapan segera dapat mencegah kejahatan yang sedang berlangsung.

 

 

 

Sanksi tersebut akan mencakup pembekuan aset properti, serta penolakan visa bagi setiap orang asing yang secara material atau finansial berkontribusi terhadap upaya ICC.

Pembantaian di jalur Gaza telah menewaskan lebih dari 46.000 warga Palestina sejak dimulai pada Oktober 2023. Banyak di antaranya adalah wanita dan anak-anak. Para pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengecam aksi Israel di Gaza sebagai aksi dengan karakteristik genosida.

Era Netanyahu bunuh warga Palestina - (Republika)

Hal itu mendorong jaksa ICC pada Mei lalu untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant. Sebagai tanggapan, legislator AS mengancam akan melakukan pembalasan terhadap ICC.

Dalam sebuah surat yang dikirim kepada Presiden AS Joe Biden yang akan lengser pada Mei, puluhan kelompok hak asasi manusia mendesaknya untuk menolak rancangan undang-undang yang akan menghukum ICC tersebut.

 

"Menindaklanjuti seruan ini akan sangat merugikan kepentingan semua korban di seluruh dunia dan kemampuan pemerintah AS untuk memperjuangkan hak asasi manusia dan keadilan," tulis kelompok tersebut seperti dilaporkan Aljazeera.

Pada pekan ini, sekelompok organisasi hak asasi manusia lainnya mengeluarkan surat lain menjelang pemungutan suara pada Kamis. Mereka mengecam RUU DPR sebagai serangan terhadap "lembaga peradilan yang independen".

Memberikan sanksi kepada pengadilan, tulis mereka, akan membahayakan kemampuan korban yang putus asa terhadap seluruh proses penyelidikan pengadilan untuk mengakses keadilan. AS juga akan melemahkan kredibilitas ICC  dan menempatkan Amerika Serikat dalam posisi yang berselisih dengan sekutu terdekatnya.

Surat tersebut memperingatkan bahwa memberlakukan “pembekuan aset dan pembatasan masuk” kepada sekutu ICC akan membawa AS “stigma memihak pada impunitas daripada keadilan”.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler