Cara-Cara Orde Baru di Desa Wadas

Pola intimidatif kepolisian di Desa Wadas tidak bisa dibenarkan.

Wihdan Hidayat / Republika
Poster propaganda untuk menjual tanah tertempel di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). Diketahui, pada Selasa (8//2/2022) kemaren 63 orang khususnya 56 warga Wadas ditangkap kepolisian. Para warga yang ditangkap adalah mereka yang bersikeras menolak lahannya dibebaskan untuk penambangan batu adesit. Luas tanah yang akan dibebaskan mencapai 124 hektar.Batu andesit yang ditambang dari Desa Wadas ini sedianya akan digunakan sebagai material untuk pembangunan Waduk Bener yang lokasinya masih berada di Kabupaten Purworejo.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Haura Hafizhah, Febryan A, Wahyu Suryana

Penangkapan warga Desa Wadas bertolak belakang dengan komitmen Kapolri yang kerap mengutarakan pentingnya pendekatan humanis. Pengamat Kepolisian dari Institut for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto menilai langkah kepolisian di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, mengingatkan pada cara-cara orde baru.

"Pendekatan humanis tentunya harus lebih mengedepankan upaya-upaya persuasif dibanding upaya tindakan represif melalui cara-cara intimidatif maupun pemaksaan-pemaksaan. Ini mengingatkan pada cara-cara orde baru dalam melakukan pembangunan Waduk Kedung Ombo yang juga ada di Jawa Tengah 30 tahun silam," katanya saat dihubungi Republika, Rabu (9/2/2022).

Ia melanjutkan apapun alasannya pola-pola intimidatif, represif dan kekerasan tidak bisa dibenarkan. Ini hanya menunjukan arogansi-arogansi kekuasaan yang dilakukan aparat pemerintah maupun aparat penegak hukum.

Penangkapan itu tidak diperlukan bila aparat bisa melakukan upaya persuasif dengan baik dan benar. Bantuan pengamanan oleh aparat kepolisian tentunya dibenarkan oleh UU. Tetapi harus tetap pada koridor dan SOP yang ketat.

"Pertanyaannya, siapa dulu yang memprovokasi warga? apakah sudah ada upaya persuasif lebih dulu? Mengapa harus ada penangkapan-penangkapan warga? Ini yang harus dijelaskan oleh aparat dengan transparan," kata dia.

Menurutnya, Kapolri diperintahkan presiden untuk mengawal dan mengamankan investasi tentunya juga harus dilakukan dengan bijak dengan melihat kondisi sosial masyarakat. "Demikian juga dengan permintaan pengamanan oleh kepala daerah. Harus diingat sesuai UU 2 tahun 2002 kepolisian adalah aparatur negara, bukan sekedar alat pemerintah, dalam melaksanakan kamtibmas dan penegakan hukum. Sebagai aparat negara, tentunya kepolisian juga harus melindungi segenap warga negara, bukan hanya melindungi kepentingan pemerintah saja," kata dia.

Makanya upaya persuasif melalui komunikasi dan dialog yang baik harus lebih dikedepankan daripada penggunaan cara-cara lama melalui kekerasan yang merupakan bentuk fasisme. Dalam konteks kemarin, memang harus ada evaluasi secara menyeluruh untuk aparat-aparat yang melakukan kekerasan.

Pengerahan aparat bersenjata tentunya harus terukur. Seberapa potensi kericuhan, bahaya dan sebagainya ini yang dihadapi adalah rakyat sendiri, mereka bukan kelompok kriminal bersenjata, bukan kelompok teroris, bukan separatis, makanya harusnya tetap terukur.

"Bukan over sehingga malah memprovokasi masyarakat yg sebelumnya damai-damai saja. Sekali lagi, gaya-gaya militeristik yang terkesan fasis dalam upaya menjaga kamtibmas itu harus ditinggalkan. Harus diingat, polisi bukan militer. Yang dihadapi aparat kepolisian adalah warga negara yang mempunyai hak-hak untuk dilindungi. Rakyat adalah bagian negara, bukan musuh yang harus diperangi," kata dia.

LSM Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mengutuk keras aksi ribuan aparat kepolisian yang merangsek masuk ke Desa Wadas tanpa pemberitahuan. Ribuan personel Kepolisian tersebut bahkan datang dengan membawa peralatan lengkap seperti tameng, senjata, dan anjing polisi.

"Dalihnya, Kepolisian mengawal proses pengukuran lahan yang dilakukan oleh tim pengukuran dari Kantor Pertanahan Purworejo. Aksi Kepolisian di lokasi dibarengi dengan intimidasi dan pengepungan di beberapa titik lokasi rumah warga dan masjid yang sedang digunakan untuk mujahadah," kata Direktur Eksekutif WALHI Yogyakarta, Halik Sandera, dalam keterangan pers.

Halik mengamati ribuan personel Kepolisian memang sudah berkumpul dan melakukan apel di Polres Purworejo sejak Senin (7/2/2022). Lalu pada Senin sore, ribuan personel tersebut mendirikan beberapa tenda di Lapangan Kaliboto yang lokasinya tak jauh dari pintu masuk ke Desa Wadas. Pada Senin malam, hanya Desa Wadas yang mengalami mati lampu dan hilang sinyal.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengutuk tindakan represif aparat kepolisian dan pengukuran paksa tanah warga di Desa Wadas. KPA mendesak Kapolri mengusut insiden yang diwarnai aksi intimidasi, kekerasan, dan penangkapan puluhan warga itu. "KPA mendesak kepada Kapolri untuk segera mengusut tuntas berbagai tindakan pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian di Desa Wadas," kata Sekretaris Jendral KPA, Dewi Kartika, dalam keterangan tertulisnya.

KPA, lanjut Dewi, juga mendesak Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk segera mengevaluasi peran dan keterlibatan aparat kepolisian dalam penanganan konflik agraria. Dewi juga mendesak Kapolda Jawa Tengah untuk segera menginstruksikan seluruh jajarannya agar menghentikan tindakan intimidasi dan kekerasan di lapangan. Kapolda juga diminta segera menarik mundur seluruh aparat kepolisian dari Desa Wadas.

Ia juga mendesak polisi untuk segera membebaskan warga desa yang ditangkap. "KPA mendesak Kapolres Purworejo segera membebaskan seluruh warga dan pendamping yang ditangkap saat mempertahankan hak atas tanah," ujarnya.

Kemarin, aparat kepolisian bertindak represif dan "brutal" di Desa Wadas. Sejak pagi harinya, ribuan aparat kepolisian memasuki desa untuk mengawal proses pengukuran tanah yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Purworejo.

Aparat lantas mencopot berbagai poster yang berisikan penolakan terhadap rencana pertambangan. Mereka juga mengepung dan menangkap warga yang sedang melakukan mujahadah di Masjid yang berada di Dusun Krajan. Aparat lalu mendatangi Ibu-ibu di posko-posko jaga, merampas besek, pisau dan peralatan untuk membuat besek yang merupakan kegiatan wadon Wadas dalam menjaga kebudayaan lokal.

Aparat kepolisian juga merazia telepon genggam dan memasuki rumah-rumah warga tanpa seizin pemilik rumah, diiringi bentakan dan makian. Dalam insiden itu, total aparat menangkap 60 warga desa tanpa prosedur yang jelas.

Dewi menjelaskan, konflik agraria ini berawal dari rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN), yakni Bendungan Bener. Material batu andesit untuk pembangunan bendungan tersebut akan diambil dari bukit di Wadas, dengan area seluas 124 hektare.

Mayoritas warga Desa Wadas menolak rencana penambangan batu andesit itu. Mereka enggan melepaskan tanahnya untuk penambangan.

Baca Juga


Aparat Kepolisian berjaga di akses masuk menuju Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). Diketahui, pada Selasa (8//2/2022) kemaren 63 orang khususnya 56 warga Wadas ditangkap kepolisian. Para warga yang ditangkap adalah mereka yang bersikeras menolak lahannya dibebaskan untuk penambangan batu adesit. Luas tanah yang akan dibebaskan mencapai 124 hektar.Batu andesit yang ditambang dari Desa Wadas ini sedianya akan digunakan sebagai material untuk pembangunan Waduk Bener yang lokasinya masih berada di Kabupaten Purworejo. - (Wihdan Hidayat / Republika)









Saat Republika mencoba menuju Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, aksesnya sangat sulit. Bukan karena jalan turun naik perbukitan, tapi karena sudah banyaknya truk-truk kompi kepolisian yang diparkir di pinggir jalan-jalan desa.

Truk polisi sudah terlihat melintasi desa-desa di sekitar Desa Wadas, salah satunya Desa Pecakangan. Dari sana, mobil-mobil polisi kerap terlihat terparkir di pinggir jalan, persimpangan atau di rumah-rumah warga menuju Desa Wadas.

Saat melintasi penanda Desa Wadas, tampak pula mobil polisi yang membawa anjing pelacak atau K9 sedang beristirahat. Memasuki simpang tiga Masjid Al Hidayah, ribuan polisi tampak sudah bersiaga. Terlihat pula mobil-mobil TNI dan Satpol PP.

Sebagian besar petugas kepolisian berkumpul di pelataran Masjid Al Hidayah. Bahkan, sudah ada pula tiga toilet portable berdiri di satu jalan satu-satunya yang menuju Masjid Krajan, tempat puluhan warga Desa Wadas ditangkap pada Senin (7/2/2022).

Sayangnya, jalan tersebut tampak tidak bisa dilewati warga umum. Ketika mobil Republika akan masuk ke jalan itu, seorang polisi bernama Woro, tidak diketahui pangkat dan jabatan, meminta mobil berganti arah ke kanan atau arah luar Wadas. "Kamu ini mau ke mana, nanti papasan sama yang mau turun repot," kata Woro, Rabu pagi.

Setelah memarkir mobil tidak jauh dari Masjid Al Hidayah, beberapa warga mengaku kesulitan mengakses listrik maupun sinyal internet. Walau tampak satu unit mobil PLN yang melintas, sampai Selasa listrik maupun sinyal masih susah didapatkan.

Perlu diketahui, Desa Wadas sendiri bukan desa terbelakang. Walau lokasi tengah bukit, sebagian besar masyarakatnya tampak berkecukupan. Biasanya, bapak-bapak bertani atau berkebun, sedangkan ibu-ibu mendapat tambahan dari membuat besek.

Besek sendiri dibeli pedagang-pedagang yang datang setiap hari Senin, sehingga mereka tidak perlu repot mencari pembeli karena sudah datang langsung ke sana. Bahkan, sudah sangat banyak rumah-rumah warga yang memiliki parabola sendiri.

Maka itu, akses sulit menuju Desa Wadas tidak cuma karena banyak truk-truk kompi polisi dan rombongan motor orang tidak dikenal yang kerap melintas. Tapi, akses listrik maupun akses sinyal internet kini sulit karena kerap hidup sebentar, lalu mati kembali.

Dengan kondisi itu, masyarakat tampak ragu-ragu untuk berinteraksi dengan orang yang datang dari luar Desa Wadas. Meski begitu, beberapa ibu rumah tangga tetap menjalankan keseharian memotong bambu apus sebagai bahan besek di depan rumah.

"Ya mau bagaimana lagi," sahut ibu-ibu di salah satu teras rumah.

Suasana Desa Wadas masih belum pulih. Banyak warga yang memilih tidak dulu ke sawah atau kebun, berdiam di rumah atau berkumpul bersama warga lainnya.

Sepanjang penelusuran Republika tidak sedikit warung-warung yang tampak menutup diri dan tidak melayani pembeli. Terutama, warung-warung masyarakat yang berlokasi dekat Masjid Krajan atau sekitar Masjid Al Hidayah.

Pasalnya, kedua tempat ibadah itu kini menjadi titik kumpul sebagian besar polisi yang ditugaskan ke sana. Ada pula warung-warung yang selian menutup tokonya, membawa masuk bangku-bangku panjang yang biasanya diduduki pembeli.

Padahal, warga sebagian besar lebih memilih tidak menjalani aktivitas harian seperti bertani atau berkebun. Artinya, selain yang berkumpul bersama warga lain, banyak warga yang memang berdiam diri di dalam rumah masing-masing.

Bahkan, tampak beberapa warung memilih tidak melayani pembeli yang datang dan sebagian besar Polisi atau TNI dan satpol PP yang ada di lokasi. Salah seorang petugas Satpol PP, Eko, tampak mendatangi sebuah warung dekat Masjid Al Hidayah.

"Ada es tidak bu," kata Eko menanyakan ke pemilik warung yang ada di dalam rumah dengan pintu terbuka. "Habis Pak," ujar salah seorang ibu dari dalam rumah.

Tampak kehausan, Eko menanyakan kembali ke pemilik warung yang warungnya ditutup tersebut apakah mereka menyediakan minuman lain seperti kopi atau teh. Sebab, jika es tidak ada, mereka akan membeli minuman hangat lain jika tersedia. "Tidak ada Pak," kata ibu tersebut.

Kondisi berbeda terlihat ketika ada warga sekitar seperti anak-anak muda yang datang membawa motor dan hendak membeli bensin. walau tidak terlihat tersedia, pemilik warung bergegas masuk untuk mengambil besin, memberikannya ke pembeli.

Sepanjang Desa Wadas, tidak sedikit pula poster-poster bertuliskan penolakan atas rencana penggusuran yang ditempel di tembok-tembok rumah atau tembok-tembok jembatan. Ada pula gambar-gambar yang terpampang di saung-saung milik warga.

"Kami berhak menentukan nasib sendiri dan hidup layak tanpa penggusuran," tulis salah satu gambar.

Uniknya, terdapat pula poster-poster pro penggusuran berwarna cerah yang seakan menjadi tandingan dari aspirasi-aspirasi warga. Poster bertuliskan ajakan untuk tidak takut menjual rumah atau tanah untuk pembangunan Bendungan Bener.

"Kenapa harus menolak kalau setuju itu enak? Yakinlah, pemerintah beritikad baik untuk rakyatnya," tulis poster tandingan tersebut.

Sampai Rabu siang, ratusan Polisi tampak masih berjaga di beberapa titik yang ada di Desa Wadas. Sebagian besar, menempati pelataran Masjid Al Hidayah, persimpangan jalan atau teras-teras rumah warga yang sedang berkumpul.

Poster ajakan menerima penjualan tanah terpasang di fasilitas umum Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). Diketahui, pada Selasa (8//2/2022) kemaren 63 orang khususnya 56 warga Wadas ditangkap kepolisian. Para warga yang ditangkap adalah mereka yang bersikeras menolak lahannya dibebaskan untuk penambangan batu adesit. Luas tanah yang akan dibebaskan mencapai 124 hektar.Batu andesit yang ditambang dari Desa Wadas ini sedianya akan digunakan sebagai material untuk pembangunan Waduk Bener yang lokasinya masih berada di Kabupaten Purworejo. - (Wihdan Hidayat / Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler