Serangan Siber Rusia Dimulai

Tak ada pembahasan apa yang perlu dilakukan pada peristiwa serangan siber Rusia

www.freepik.com.
Serangan siber (ilustrasi).
Rep: Lintar Satria / Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada akhir Januari lalu, Inggris memperingatkan perusahaan besar untuk meningkatkan pertahanan terhadap kemungkinan serangan siber Rusia akibat ketegangan dengan Ukraina. Pusat Keamanan Siber Nasional Inggris (NCSC) memperingatkan sejumlah organisasi besar untuk meningkatkan ketahanan keamanan siber.

Direktur Operasi NCSC, Paul Chichester, mengatakan, NCSC telah mengamati pola kejahatan Rusia di dunia maya. "Selama beberapa tahun, kami telah mengamati pola perilaku jahat Rusia di dunia maya," ujar Chichester.

Pada awal 2022, beberapa situs web Ukraina terkena serangan siber yang meninggalkan peringatan untuk "takut dan bersiap untuk hal terburuk" karena Rusia telah mengumpulkan pasukan di dekat perbatasan. Ukraina mengatakan, Moskow berada di balik serangan siber itu.

"Insiden di Ukraina memiliki ciri khas aktivitas Rusia serupa yang telah kami amati sebelumnya," kata Chichester.

Ahli mata-mata Inggris mengatakan, Rusia menjadi ancaman langsung terbesar bagi Barat. Namun, dominasi teknologi jangka panjang yang dipegang oleh China menimbulkan masalah yang jauh lebih besar.

"Organisasi Inggris sedang didesak untuk meningkatkan ketahanan keamanan siber mereka dalam menanggapi insiden siber berbahaya di sekitar Ukraina," kata Pusat Keamanan Siber Nasional Inggris.

Menurut Belfer Center di Harvard's Kennedy School, peringkat kekuatan ofensif dunia maya teratas dunia adalah Amerika Serikat, Inggris, Rusia, dan China. Peringkat ini disusun pada 2020.

Tak lama berselang, Bank Sentral Eropa (ECB) mempersiapkan bank-bank untuk menghadapi kemungkinan serangan siber yang disponsori Rusia ketika ketegangan dengan Ukraina meningkat, kata dua orang sumber yang mengetahui masalah tersebut. Persiapan itu dilakukan regulator keuangan Eropa ketika kawasan itu bersiap menghadapi dampak finansial dari setiap konflik.

"ECB telah menanyai bank-bank tentang pertahanan siber mereka. Bank-bank di Eropa sedang memainkan simulasi perang siber untuk menguji kemampuan mereka menangkis serangan siber," kata sumber itu.

ECB, yang memilih untuk mengatasi kerentanan keamanan siber sebagai salah satu prioritasnya, telah menolak berkomentar. Namun, kekhawatiran ECB tentang serangan dunia maya itu terlihat di seluruh dunia.

Departemen Layanan Keuangan New York pada akhir Januari 2022 mengeluarkan peringatan kepada lembaga-lembaga keuangan tentang serangan siber pembalasan jika Rusia menyerang Ukraina dan memicu sanksi AS, menurut Intelijen Regulasi Thomson Reuters.

Kini, serangan siber itu semakin terlihat. Jaringan daring Kementerian Pertahanan dan dua bank Ukraina kewalahan menerima data masuk. Pusat keamanan informasi Ukraina menuding Rusia sebagai dalang serangan ini.

"Tidak menutup kemungkinan agresor menggunakan taktik trik kecil kotor karena rencana agresifnya tidak berhasil dalam skala besar," kata Pusat Keamanan Informasi dan Strategi Komunikasi Ukraina yang bagian dari Kementerian Budaya dalam pernyataannya, Rabu (16/2/2022).

Disrupsi yang dikenal distributed denial-of-service atau DDoS ini pertama kali dilaporkan pihak berwenang Ukraina pada Selasa (15/2) kemarin. Tapi, skalanya belum dapat dipastikan. Serangan yang mengirimkan banyak data ke trafik internet dari berbagai sumber pada satu server ke server lainnya merupakan serangan siber yang umum dilakukan. Ukraina dan sekitarnya kerap mengalami jenis serangan siber ini.

Di situs pertahanan Kementerian Pertahanan Ukraina muncul pesan situs itu sedang diperbaiki. Dalam cicitannya di Twitter, kementerian mengatakan situs mereka tampaknya sedang diserang dan mereka sedang berusaha mengaksesnya kembali.  

Salah satu bank Ukraina, Oshadbank, mengonfirmasi serangan siber memperlambat sistem mereka. Pusat strategi komunikasi mengatakan pengguna Privatbank juga mengalami masalah pembayaran dan aplikasi perbankan. Privatbank belum menanggapi permintaan komentar.



Penyedia layanan perlindungan denial-of-service asal San Francisco, Amerika Serikat (AS), Cloudflare mengatakan tidak melihat data "aktivitas DDoS besar" di Ukraina terhadap pusat data atau konsumen mereka di sana.

"Dari perspektif kami hari ini kami tidak terlihat serangan trafik pada kami atau konsumen kami di Ukraina," kata perusahaan itu.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Eropa mengatakan siap merespons serangan siber Rusia yang digelar di tengah ketegangan dengan Ukraina. Cakupan pembalasan atau sanksi tergantung tingkat kerusakan peretasan.

Presiden AS Joe Biden mengatakan, Washington telah berkoordinasi dengan sekutu-sekutu Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan mitra lainnya untuk memperluas pertahanan terhadap ancaman pada ruang siber. Hal ini disampaikan beberapa jam seusai Kementerian Pertahanan dan dua bank Ukraina melaporkan serangan siber ke jaringan daring mereka.

Pejabat AS dan Eropa yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan serangan siber yang diduga dilakukan Rusia itu tidak terduga. Sementara Badan Keamanan Federal Rusia belum menanggapi permintaan komentar.

"Presiden telah mengatakan kami akan merespons tindakan Rusia selain invasi militer," kata seorang sumber dari pemerintah AS, Rabu (16/2/2022).

"Namun, keputusannya bergantung pada besaran serangan sibernya, terlalu banyak rentangnya, sulit untuk menspesifikannya," ujar sumber tersebut.

Seorang diplomat Eropa mengatakan, Rusia sudah lama menggunakan strategi serangan siber. Ia mengatakan Moskow juga pernah melakukannya saat konfrontasi militer dengan Ukraina dan Georgia.

"Ini bagian dari pedoman mereka," kata pejabat yang menekankan Barat akan menggunakan aksi bersama dalam meminta pertanggungjawaban Moskow atas serangan siber dan "perilaku buruk" lainnya.

Sumber mengatakan hingga saat ini belum ada rencana detail bagaimana merespons serangan siber. Sebagian besar mungkin karena butuh waktu untuk mengetahui pihak yang bertanggung jawab atas serangan siber, terutama dalam serangan DDoS.

Seorang pakar siber yang mengetahui rencana Barat mengatakan respons serangan siber dapat melibatkan serangan balasan dibanding menerapkan sanksi. Termasuk serangan fisik atau siber.

Seorang pejabat Eropa mengatakan, negosiasi Pemerintah AS dan Eropa beberapa pekan terakhir lebih fokus menyesuaikan sanksi yang diterapkan bila terjadi invasi fisik dan dampaknya pada Rusia dan negara-negara yang menerapkannya. Tapi, tidak membahas mengenai serangan siber.

"Tidak ada peta jalan terperinci apa yang perlu dilakukan pada peristiwa serangan siber, akan bergantung pada spesifikasi kasusnya," kata seorang diplomat Eropa.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler