47 Hari Tax Amnesty Jilid II, Pemerintah Peroleh Rp 1,55 Triliun dari Wajib Pajak

13.830 wajib pajak mendaftar program tax amnesty jilid II.

Antara/Atika Fauziyyah
Petugas pajak melayani warga yang mengikuti program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Kantor Direktorat Jendral Pajak, Jakarta (ilusrasi). Pemerintah memperoleh pajak penghasilan (PPh) senilai Rp 1, 55 triliun per Rabu (15/2/2022) dari pelaksanaan program pengungkapan sukarela (PPS) atau tax amnesty jilid II.
Rep: Novita Intan Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memperoleh pajak penghasilan (PPh) senilai Rp 1, 55 triliun per Rabu (15/2/2022) dari pelaksanaan program pengungkapan sukarela (PPS) atau tax amnesty jilid II.

Baca Juga


Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan terdapat 13.830 wajib pajak yang mendaftar program PPS. Terdapat 15.337 surat keterangan dari seluruh peserta setelah PPS pertama berlaku pada 1 Januari 2022.

Total nilai harta bersih para peserta sebesar Rp 14,86 triliun. Jika dihitung, rata-rata harta yang dilaporkan setiap peserta itu berkisar Rp 1,06 miliar, tetapi nilai harta tersebut tentu akan berbeda-beda dari setiap wajib pajak.

"Jumlah PPh dari peserta PPS per 16 Februari 2022 sebesar Rp 1,55 triliun,” tulis dari situs resmi Ditjen Pajak, Rabu (16/2/2022).

Perolehan PPh itu mencapai 10,4 persen dari nilai harta seluruh peserta. Terdapat berbagai tarif PPh bagi peserta PPS bergantung kepada jenis program yang diikuti.

Aset para peserta PPS terdiri dari Rp 12,96 triliun deklarasi dalam negeri dan repatriasi, mencakup 87,2 persen dari total harta. Lalu, terdapat Rp 919,3 miliar deklarasi luar negeri atau 6,2 persen dari total aset. 

Adapun total dana yang diinvestasikan peserta PPS senilai Rp 975,6 miliar. Jumlah itu mencakup sekitar 6,5 persen dari total nilai harta bersih.

Kebijakan soal tax amnesty jilid II tertuang dalam Undang-Undang (UU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan PPS Wajib Pajak. Dalam aturan itu disebutkan bahwa setiap wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang direktur jenderal pajak belum menemukan data atau informasi mengenai harta yang dimaksud.

Harta bersih yang dimaksud tersebut adalah nilai harta dikurangi dengan nilai utang. Hal itu seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Harta yang dilaporkan merupakan aset yang diperoleh wajib pajak sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015. Nantinya, harta bersih itu akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenakan PPh final.

PPh final akan dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. Tarif itu terdiri dari enam persen atas harta bersih yang berada di dalam negeri dan diinvestasikan untuk kegiatan usaha sektor pengolahan SDA, EBT, dan SBN.

Lalu, delapan persen atas harta bersih yang berada di dalam negeri dan tidak diinvestasikan untuk sektor SDA, EBT, dan SBN. Selanjutnya, enam persen atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dengan ketentuan bahwa akan dialihkan ke dalam wilayah Indonesia serta diinvestasikan untuk sektor SDA, EBT, dan SBN.

Setiap wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih melalui surat pemberitahuan pengungkapan harga. Surat itu diberikan kepada direktur jenderal pajak pada 1 Januari 2022 sampai 30 Juni 2022.

Selain itu, wajib pajak juga harus melampirkan beberapa dokumen, seperti bukti pembayaran PPh final, daftar rincian harta beserta informasi kepemilikan harta yang dilaporkan, daftar utang, pernyataan mengalihkan harta bersih ke Indonesia, pernyataan menginvestasikan harta bersih ke sektor usaha SDA, EBT, dan SBN. Setelah itu, direktur jenderal pajak akan menerbitkan surat keterangan terhadap penyampaian surat pemberitahuan atas pengungkapan harta oleh wajib pajak. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler