Meta Didenda Rp 1,2 Triliun Akibat Pelanggaran Privasi

Meta yang dulu dikenal sebagai Facebook harus membayar denda akibat melanggar privasi

AP Photo/Tony Avelar
Meta yang dulu dikenal sebagai Facebook harus membayar denda akibat melanggar privasi. Ilustrasi.
Rep: Antara Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Meta yang dahulu dikenal dengan nama Facebook harus membayar denda sebesar 90 juta dolar AS atau setara Rp 1,2 triliun akibat pelanggaran privasi yang terjadi karena fitur pelacakan penggunanya. Denda itu dijatuhkan oleh Pengadilan Distrik AS di San Jose, Kalifornia setelah Facebook digugat dengan pelacakan aktivitas internet pengguna layanannya meski sang konsumen telah keluar dari situs media sosial Facebook selama satu dekade.

Baca Juga


Dikutip dari Reuters pada Rabu (16/2/2022), keputusan pengadilan juga mengharuskan Facebook menghapus data-data yang telah dikumpulkan dari hasil pelanggaran privasi tersebut. Para pengguna menggugat anak usaha Meta itu berdasarkan undang-undang privasi terkait penyadapan federal dan negara bagian dengan menggunakan plug-in untuk menyimpan cookie yang dilacak ketika mereka mengunjungi situs web luar yang berisi tombol "like" dari layanan Facebook.

Lewat cara itu, Facebook kemudian diduga mengumpulkan riwayat penelusuran pengguna ke dalam profil yang dijualnya kepada pengiklan. Kasus tersebut sebenarnya sempat dihentikan pada Juni 2017. Akan tetapi kasus kembali dibawa ke persidangan pada April 2020 oleh pengadilan banding federal yang mengatakan pengguna dapat mencoba membuktikan bahwa perusahaan Meta mendapat untung secara tidak adil dan melanggar privasi para pengguna.

Upaya Facebook selanjutnya untuk mengajukan banding ke Mahkamah Agung AS tidak berhasil. Meta sebenarnya membantah Facebook melakukan kesalahan tetapi memilih untuk menghindari biaya dan risiko persidangan yang lebih besar sehingga akhirnya membayar denda. "Penyelesaian adalah demi kepentingan terbaik komunitas kami dan pemegang saham kami dan kami senang untuk mengatasi masalah ini," kata juru bicara Meta Drew Pusateri.

Penyelesaian ini mencakup pengguna Facebook di Amerika Serikat yang antara 22 April 2010 dan 26 September 2011 mengunjungi situs web non-Facebook yang menampilkan tombol "like" Facebook. Pengacara penggugat berencana untuk meminta biaya hukum hingga 26,1 juta dolar AS setara Rp 372 miliar atau 29 persen dari dana penyelesaian dari gugatan yang dimulai pada Februari 2012 itu.

Hingga saat ini Facebook masih menghadapi masalah hukum lainnya berkaitan dengan pelanggaran privasi. Pada Juli 2019, Facebook diminta untuk meningkatkan perlindungan privasi dalam penyelesaian dengan Komisi Perdagangan Federal AS yang juga mencakup denda 5 miliar dolar AS. Terbaru, pada Senin (14/2/2022) Facebook justru mendapatkan gugatan dari Kantor Kejaksaan di Texas karena telah menggunakan fitur "Facial Recognition" miliknya di luar ketentuan dan dinilai melanggar privasi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler