Mengenal Blue Blob, Penahan Pencairan Gletser di Kutub
Sayangnya, Blue Blob tidak bertahan lama.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebidang air di Kutub Utara bernama Blue Blob telah mengurangi separuh laju pencairan gletser Islandia. Namun, studi baru mengungkapkan efek perubahan iklim akan mencapai bongkahan es besar jika suhu tidak berubah.
Blue Blob adalah area tak terdefinisi di Samudra Atlantik Utara yang terletak di selatan Islandia dan Greenland. Pada puncak dinginnya tahun 2015, Blue Blob mencapai 1,4 derajat celsius, lebih dingin daripada perairan di sekitarnya.
Menurut pernyataan dari Serikat Geofisika Amerika, sebelum munculnya Blue Blob, gletser Islandia kehilangan 11 gigaton es setiap tahun karena mencair. Tetapi sejak Blue Blob muncul pada tahun 2011, tingkat itu telah berkurang lebih dari setengahnya menjadi 5 gigaton per tahun.
Dalam studi baru yang diterbitkan daring pada 24 Januari di jurnal Geophysical Research Letters, para peneliti menggunakan model iklim untuk memprediksi berapa lama Blue Blob dapat terus memperlambat pencairan gletser. Mereka menemukan kenaikan suhu akan mengatasi efek pendinginan dan menyamai laju pencairan cepat yang terlihat di sekitar Greenland dan kepulauan Norwegia Svalbard pada pertengahan 2050-an.
Temuan tersebut penting karena akan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang apa yang terjadi di seluruh Arktik. Ilmuwan Iklim Utrecht University dan Penulis Utama Brice Noël mengatakan sangat penting untuk memiliki gagasan tentang kemungkinan umpan balik di Kutub Utara. Sebab, wilayah itu berubah sangat cepat.
“Penting untuk mengetahui apa yang bisa kita harapkan dalam iklim yang lebih hangat di masa depan,” kata Noël.
Islandia saat ini menampung empat lapisan es utama yang masing-masing lebih besar dari 500 kilometer persegi, tujuh massa es yang lebih kecil masing-masing lebih besar dari 10 kilometer persegi, dan sekitar 250 gletser lain yang lebih kecil dari 4 mil persegi.
“Secara total, volume es di negara kepulauan itu diperkirakan sekitar 3.400 kilometer kubik yang akan cukup untuk menaikkan permukaan laut global sebesar 0,35 inci atau 9 milimeter jika benar-benar mencair,” tulis para peneliti.
Menurut Smithsonian Institute angka tersebut setara dengan sekitar tiga kali kenaikan air laut global saat ini yang dialami setiap tahun.
Hampir semua gletser Islandia berakhir di darat yang berarti tidak bersentuhan dengan laut. Oleh karena itu, laju pencairannya bergantung pada keseimbangan massa permukaannya. Namun, Blue Blob sangat dingin sehingga menurunkan suhu udara yang mengalir di atasnya. Kemudian ini akan mendinginkan atmosfer di sekitar Islandia dan pada gilirannya mengurangi keseimbangan massa permukaan esnya yang berarti lebih sedikit es yang hilang.
Dengan menggunakan model prediksi iklim terbaru dan pembacaan suhu atmosfer lokal sejak tahun 1990-an, tim menunjukkan kapan kenaikan suhu yang disebabkan oleh perubahan iklim akan lebih besar daripada pengaruh Blue Blob pada keseimbangan massa permukaan Islandia. Mereka memperkirakan pada tahun 2100, sepertiga dari gletser Islandia mungkin hilang dan pada tahun 2300 kemungkinan tidak akan ada gletser yang tersisa di negara itu.
Dikutip Live Science, Jumat (18/2), para ilmuwan masih tidak yakin mengapa Blue Blob jauh lebih dingin daripada perairan di sekitarnya. Beberapa peneliti berpikir itu adalah bagian dari variabilitas alami dalam suhu permukaan laut di Kutub Utara yang telah meningkatkan jumlah upwelling air dingin dari laut dalam. Sementara yang lain berpikir perubahan iklim telah mengganggu arus permukaan yang mendorong air yang lebih hangat ke Kutub Utara dari daerah tropis di Atlantik.
Terlepas dari bagaimana Blue Blob terbentuk, efek pendinginannya di Islandia tidak akan bertahan selamanya. Jika ini terus dibiarkan, perubahan iklim akan menyebabkan hilangnya total gletser Islandia dalam waktu yang tidak terlalu lama.
“Pada akhirnya, pesannya masih jelas. Arktik memanas dengan cepat. Jika kita ingin melihat gletser di Islandia, maka kita harus mengekang pemanasan,” tambah Noël.