Manfaatkan Teknologi, Pelaku Bisa Eksploitasi Anak Secara Seksual-Ekonomi, Ini Bentuknya
Eksploitasi anak bisa terjadi dengan memanfaatkan teknologi, kenali bentuk-bentuknya.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari memperingatkan potensi eksploitasi anak dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Pelaku bisa saja melakukan eksploitasi seksual atau ekonomi terhadap anak.
"Semakin ke sini, 10 tahun terakhir, kita semakin khawatir karena juga ada fenomena memanfaatkan informasi dan teknologi sebagai media untuk melakukan eksploitasi anak seksual," kata Lisda dalam diskusi virtual yang diikuti dari Jakarta, Sabtu (19/2/2022).
Eksploitasi seksual anak melibatkan anak-anak untuk mengomunikasikan, mempertunjukkan, mempertontonkan, bahkan mendistribusikan materi pornografi. Tidak hanya sebatas tindakan seksual yang melibatkan anak, tapi terdapat juga aktivitas sexting atau mengirimkan pesan bernada seksual kepada anak.
Ada juga praktik grooming atau tindakan yang dengan sengaja dilakukan dengan tujuan membangun hubungan emosional dengan anak dalam rangka menurunkan hambatan anak dalam persiapan untuk melakukan aktivitas seksual. Selain eksploitasi seksual, ada pula potensi eksploitasi secara ekonomi, yang menurut Lisda saat ini berada dalam daerah abu-abu atau belum memiliki batasan yang jelas.
Lisda mengatakan bahwa eksploitasi ekonomi tidak hanya dalam bentuk pekerja anak, yang melibatkan jalur produksi, distribusi, konsumsi barang dan jasa dengan pihak lain mengambil keuntungan. Terdapat juga potensi bagaimana pengembangan minat dan bakat anak menjadi eksploitasi.
"Bisa iya, bisa tidak. Tapi dalam berbagai diskusi berbagai literatur mengatakan punya potensi yang besar terjadinya eksploitasi," kata pendiri organisasi yang bertujuan memberikan perlindungan kepada anak-anak Indonesia itu.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak terdapat beberapa unsur yang harus diamati, yaitu tindakan yang dilakukan dengan atau tanpa persetujuan anak. Secara khusus, Lisda menyoroti bahwa adanya persetujuan anak tidak berarti bukan merupakan eksploitasi ekonomi, karena anak belum memiliki kemampuan mengantisipasi risiko yang besar.
Unsur kedua adalah tindakan yang melanggar hukum. Di samping itu, ada unsur memanfaatkan tenaga atau kemampuan anak untuk mendapatkan keuntungan.
"Ketiga prinsip ini sebenarnya sudah bisa menjadi semacam guideline bagi kita apakah in ini eksploitasi atau tidak," jelasnya.