Rusia: Peluru dari Wilayah Ukraina Hancurkan Pos Perbatasan

Baku tembak antara pasukan Ukraina dan separatis pro Rusia semakin intensif.

AP/Vadim Ghirda
Badan keamanan Rusia, FSB melaporkan peluru dari wilayah Ukraina menghancurkan pos penjaga perbatasan di wilayah Rostov, Rusia.
Rep: Lintar Satria Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Badan keamanan Rusia, FSB melaporkan peluru dari wilayah Ukraina menghancurkan pos penjaga perbatasan di wilayah Rostov, Rusia. Pada Senin (21/2/2022) kantor berita Interfax melaporkan tidak ada korban jiwa dalam insiden ini.

Baca Juga


Interfax mengutip FSB yang mengatakan peristiwa ini terjadi sekitar 150 meter dari perbatasan Rusia dan Ukraina. Sejak Kamis (16/2/2022) lalu baku tembak antara pasukan Ukraina dengan separatis pro Rusia di timur negara itu semakin intensif.

Suara pertempuran kembali terdengar pada Senin ini, termasuk ledakan di Kota Donetsk yang dikuasai separatis. Penyebab ledakan itu belum diketahui.

Sementara kantor berita Rusia, RIA melaporkan pemberontak mengatakan dua warga sipil tewas tertembak pasukan Rusia. Media Rusia melaporkan sekitar 61 ribu warga dievakuasi dari timur Ukraina yang berseberangan dengan Rusia.

Kiev menuduh pasukan separatis pro-Rusia menembaki sendiri wilayahnya. Agar mereka dapat menyalahkan pasukan pemerintah Ukraina.

Negara-negara Barat mengatakan sudah menyiapkan sanksi pada perusahaan-perusahaan dan individu Rusia bila Moskow memutuskan menggelar invasi. Seorang sumber mengatakan salah satu sanksinya melarang institusi finansial AS memproses transaksi bank-bank besar Rusia.

Pada BBC, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan langkah yang dapat diambil antaranya menutup akses perusahaan Rusia pada dolar AS dan poundsterling.

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan Rusia akan terputus dari pasar keuangan internasional dan ekspor-ekspor besar Eropa. Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba mengatakan sudah waktu bagi Barat memberlakukan sebagian sanksi yang sudah disiapkan.

Namun pemerintah Presiden Amerika Serikat Joe Biden enggan melakukannya. Washington mengatakan dampak pencegahan akan hilang bila sanksi diberlakukan terlalu cepat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler