Sentimen Anti-Muslim di Asia, Abdul Mu'ti: Ada Islamofobia di Indonesia

Tidak bisa dipungkiri adanya sekelompok masyarakat yang tidak suka terhadap Islam dan

Republika/Prayogi
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti. Sentimen Anti-Muslim di Asia, Abdul Muti: Ada Islamofobia di Indonesia
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menanggapi soal sentimen anti-Muslim yang menyebar di Asia, khususnya di India dan Indonesia.

Baca Juga


Adapun di Indonesia, Mu'ti menilai tidak menutup kemungkinan ada Islamofobia di Indonesia, tetapi bukan oleh pemerintah. Menurutnya, jika ada individu tertentu yang ditindak oleh aparatur keamanan, itu lebih karena faktor pelanggaran hukum.

 

Meski demikian, tidak bisa dipungkiri adanya sekelompok masyarakat yang tidak suka terhadap Islam dan Muslim. Menurutnya, penyebabnya banyak faktor, sebagian karena sentimen keagamaan.

Ia menyebut hal ini biasanya dilakukan oleh kelompok ekstrem dalam agama tertentu atau aliran ideologi tertentu. Sebagian juga karena kepentingan politik untuk meraih kekuasaan.

Faktor lain adalah adanya kekhawatiran umat Islam akan mendirikan negara Islam. Di samping, mungkin juga karena ada sebagian umat Islam yang ekstrem dan berlebih-lebihan dalam beragama sehingga menimbulkan rasa tidak suka atau bahkan ketakutan bagi kelompok lain.

 

 

 

 

 

Dalam menghadapi fenomena anti-Islam ini, Mu'ti mengimbau umat Islam tidak melakukan kekerasan atas tindakan yang dilakukan terhadap Muslim, termasuk oleh pemerintah India. Akan tetapi, umat Islam tidak boleh tinggal diam.

India saat ini menjadi sorotan terutama setelah siswi Muslim di negara bagian Karnataka dilarang mengenakan jilbab di dalam kelas. Mu'ti mengatakan, kecenderungan meningkatnya sentimen anti-Islam di India lebih karena faktor politik. India sekarang ini dikuasai oleh partai Bharatiya Janata Party (BJP), partai Hindu Fundamentalis yang di antara cita-citanya menjadikan India sebagai negara Hindu.

Selain itu, menurut Mu'ti, faktor lain adalah demografi. India adalah negara yang diproyeksi oleh Pew Research Center sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia pada 2050. Bagi kelompok lain, ini bisa menjadi alasan untuk menekan Muslim.

Selanjutnya, kata dia, faktor sejarah-politik terkait masalah Kashmir-Punjab. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah India menyatakan tindakan represif mereka adalah untuk melawan kelompok separatis.

 

"Saya kira alasan itu hanya dalih untuk membenarkan tindakan kekerasan," kata Mu'ti melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Kamis (24/2/2022).

 

 

 

 

Pasalnya, sebelum BJP berkuasa, hubungan pemerintah India dengan Muslim terbangun dengan baik. Bahkan, dalam sejarah, jabatan presiden di India pernah diduduki seorang Muslim.

Mu'ti mengatakan, selama beberapa tahun hal itu seakan menjadi konvensi untuk membangun kerukunan di India. Karena itulah, Mu'ti menyerukan agar pemerintah India menghentikan semua bentuk kekerasan terhadap masyarakat Muslim.

 

"Tindakan kekerasan bisa mengarah kepada pelanggaran HAM serta mempengaruhi hubungan politik India dengan negara-negara Muslim," ujarnya.

Untuk kasus di India, ia berpendapat pemerintah Indonesia bisa memanggil duta besar India untuk menjelaskan tindakan mereka terhadap Muslim dan mendesak dihentikannya semua bentuk kekerasan yang bertentangan dengan HAM. "Di tengah fenomena anti-Islam, umat Islam Indonesia hendaknya tidak merespons secara emosional. Sebaiknya umat Islam bersikap dewasa dan berusaha memperbaiki diri dalam bersikap dan mengekspresikan Islam sesuai dengan ajaran rahmatan lil alamin," kata Mu'ti.

Ia juga menyarankan agar pemerintah Indonesia sebaiknya lebih sensitif terhadap suasana psikologis umat Islam dan lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan. Ia menekankan aparatur keamanan dan penegak hukum sudah seharusnya bersikap lebih tegas dan adil kepada siapapun yang melanggar hukum.

 

 

"Ada kesan aparatur keamanan terlalu reaktif jika ada masalah yang terkait dengan Muslim dari kalangan tertentu. Kesan tersebut harus diakhiri dengan kerja yang lebih profesional, objektif, dan adil," tambahnya.

Sentimen anti-Islam dikatakan menyebar cepat di Asia. Para pakar dalam konferensi tentang pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim di Istanbul, Turki pekan lalu menyebut sentimen anti-Muslim itu diperburuk oleh pidato-pidato para pemimpin politik yang menghasut untuk keuntungan pemilu. Fenomena anti-Islam yang saat ini mencolok seperti terlihat di India, Myanmar, Sri Lanka. India dan Myanmar menjadi dua contoh yang mencolok dari kekerasan terhadap Muslim yang telah dinormalisasi. 

Kepala Departemen Muslim dan Minoritas di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Hassan Abdein mengatakan Asia adalah rumah baru kapitalisme dan meskipun jauh lebih beragam daripada di tempat lain, menampung ratusan orang etnis, Asia menderita populisme elektoral yang gelap, yang disebutnya salah satu efek eksploitatif globalisasi. Di bawah kedok keamanan nasional, kata dia, Muslim menjadi sasaran dan dikriminalisasi di seluruh benua ini.

"Baik di Myanmar maupun Sri Lanka, kami melihat satu kelompok tertentu memobilisasi ujaran kebencian," kata Abdein, merujuk pada biksu Buddha yang secara terbuka menyerukan genosida terhadap Muslim, dilansir di TRT World, Sabtu (19/2/2022).

Mantan wakil tetap Republik Islam Pakistan untuk PBB Duta Besar Zamir Akram mengatakan meskipun lebih dari 200 juta Muslim tinggal di India, sebuah versi fasisme sedang berlangsung di tangan Hindutva. Jutaan Muslim menderita diskriminasi agama dan ras, pembersihan etnis, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan bahkan genosida. Para panel ahli, diplomat, tokoh masyarakat, dan aktivis pada seminar dua hari tentang pelanggaran hak asasi manusia yang dihadapi umat Islam itu membahas tentang "Situasi Muslim di Asia".

 

Zamir mengatakan pemerintahan Narendra Modi telah merayu India atas dasar kebencian dan kecemburuan ketika itu menyangkut Muslim. Menurutnya, Muslim menghadapi berbagai masalah dengan dalih penyembelihan sapi dan memakan daging sapi, serta menikahi orang Hindu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler