Pakar: Mutasi Omicron tidak Timbulkan Gejala Klinis Berat

Pakar sebut tidak semua mutasi menguntungkan virus, salah satunya Omicron.

www.wikimedia.org
Pakar sebut tidak semua mutasi menguntungkan virus, salah satunya Omicron.
Rep: Dian Fath Risalah Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Mikrobiologi Universitas Indonesia Prof dr Amin Soebandrio, PhD, mengatakan varian Omicron yang mulai tersebar pada November 2021 tidak memiliki relasi dengan varian Delta yang muncul pada gelombang kedua. Namun, varian tersebut memiliki jumlah mutasi yang lebih banyak dibandingkan dengan virus-virus sebelumnya sehingga Omicron dapat beradaptasi dengan lingkungan yang menyebabkan penularan terjadi lebih cepat.

Baca Juga


Kendati demikian, tidak seluruh mutasi dapat menguntungkan virus. Pada kasus Omicron, justru dengan adanya mutasi tersebut, varian ini tidak menimbulkan morbiditas atau gejala klinis yang berat.

“Pada dasarnya, risiko infeksi memiliki rumus, yaitu keganasan virus dikalikan dengan dosis virus, kemudian dibagi dengan kekebalan. Kekebalan tersebut terbentuk dari vaksinasi maupun infeksi alami ketika seseorang terpapar virus," kata Prof Amin di Jakarta, Kamis (24/2/2022).

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh FKM UI, Kementerian Kesehatan, dan LBM Eijkman, lebih dari 70 persen populasi masyarakat Indonesia telah memiliki antibodi, walaupun belum pernah dinyatakan positif Covid-19 maupun tervaksinasi. Kemudian, 90 persen dari populasi yang telah terkena Covid-19 dan tervaksinasi telah memiliki antibodi tersebut.

"Maka, hal ini menunjukkan bahwa kekebalan terhadap virus telah terbentuk dalam masyarakat Indonesia,” tambah Prof Amin Soebandrio, PhD.

Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara dan Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan, virus Covid-19 akan selalu ada dengan kemungkinan akan bermutasi ke varian-varian lain di masa yang akan datang. Oleh karena itu, perlu untuk tetap kita waspadai.

Walaupun jumlah kematian akibat Omicron lebih rendah dari varian Delta dan gejala yang ditimbulkan tidak separah gelombang-gelombang sebelumnya, namun korban jiwa tetap ada. Mengingat setiap nyawa masyarakat Indonesia berharga, maka diperlukan upaya maksimal dari pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang adaptif terhadap keadaan dengan mempertimbangkan saran-saran para ahli sehingga dapat mengatur laju penularan.

Lebih lanjut Prof dr Amin Soebandrio, Ph.D memaparkan dengan berkaca dari negara-negara lain, prediksi puncak kasus Covid-19, khususnya varian Omicron, muncul dalam dua sampai tiga bulan sejak kasus pertama terdeteksi. Sehingga, diharapkan pola yang sama juga terjadi di Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintah perlu memantau pergerakan masyarakat, terutama menjelang bulan Ramadhan dan lebaran untuk mengurangi kerumunan. Apabila hal tersebut berhasil dijalankan bersama upaya-upaya lainnya, maka diperkirakan bahwa Indonesia akan mencapai puncak kasus Covid-19 pada Maret 2022.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler