Para Ahli Yakin tidak Ada Lagi Gelombang Baru Covid-19
Berdasarkan studi, para ahli meyakini tidak ada gelombang baru Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Temuan studi terkini membuat para ahli di Denmark meyakini tak akan ada gelombang baru pandemi Covid-19. Menurut data di Denmark, angka infeksi ulang dari subvarian omicron, BA.2, masih terdeteksi tetapi dalam kasus yang sangat jarang.
Penelitian awal tersebut diterbitkan secara daring pada Selasa (22/2/2022) dan belum ditinjau oleh rekan sejawat. Riset melibatkan analisis infeksi SARS-CoV-2 terkini oleh tim dari Statens Serum Institut (SSI), sebuah lembaga kesehatan masyarakat terkemuka di Denmark.
Berdasarkan hasil studi, diketahui bahwa subvarian BA.2 sangat menular dan dominan di Denmatk. Penyebarannya menggantikan subvarian Omicron lain yang menampilkan mutasi berbeda, termasuk strain asli, serta BA.1, BA .1.1, dan BA.3.
Dari hampir dua juta infeksi yang tercatat di Denmark antara pertengahan November 2021 hingga pertengahan Februari 2022, para peneliti memusatkan perhatian pada kasus infeksi di mana individu dites positif dua kali antara 20 dan 60 hari. Sekaligus, mereka yang infeksinya telah melalui pengawasan genomik sebelumnya dan diberi label sebagai subvarian spesifik.
Kurang dari 1.800 orang memenuhi kriteria tersebut, dan sebagian dari hampir 1.000 sampel dipilih secara acak untuk diurutkan. Tim akhirnya menemukan 187 kasus infeksi ulang, termasuk 47 kasus di mana reinfeksi BA.2 terjadi tak lama setelah infeksi BA.1
"Kebanyakan terjadi pada individu muda yang tidak divaksinasi dengan penyakit ringan yang tidak mengakibatkan rawat inap atau kematian," tulis tim peneliti pada laporan studinya, dikutip dari laman CBC, Sabtu (26/2/2022).
Ketua Komite Penilaian Varian SARS-CoV-2 Denmark, Troels Lillebk, turut terlibat dalam studi. Dia mengatakan risetnya menawarkan bukti pertama adanya fenomena infeksi ulang di antara anggota keluarga omicron, tetapi kasus yang terdeteksi cukup langka.
Sementara kapasitasnya untuk menularkan dan menginfeksi ulang menjadi lebih jelas, masih ada pertanyaan tentang tingkat keparahan penyakit yang dapat disebabkan oleh BA.2. Data klinis dari Afrika Selatan, Inggris, dan Denmark, di mana kekebalan dari vaksinasi atau infeksi secara alami tinggi, tidak menunjukkan perbedaan antara BA.2 dan BA.1.
Hasil tes laboratorium awal dari tim di Jepang yang menggunakan model hamster menunjukkan bahwa subvarian BA.2 dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah daripada BA.1. Utamanya, pada satwa yang tidak mendapat vaksinasi atau belum pernah terinfeksi virus.
Temuan yang baru-baru ini diterbitkan secara daring sebagai pracetak tersebut menunjukkan subvarian yang menyebar cepat mungkin lebih dekat dengan varian sebelumnya dalam hal tingkat keparahan penyakit. Namun, ahli yang tak terlibat studi menekankan bahwa penelitian pada hewan tidak memberikan gambaran lengkap tentang bagaimana patogen seperti SARS-CoV-2 akan berdampak pada manusia.
Oleh karena itu, para ilmuwan terus mempelajari BA.2. Pakar berpendapat semua pihak perlu lebih berfokus pada pemerataan vaksinasi dan pemberian suntikan booster untuk memberi setiap orang kesempatan terbaik menangkis infeksi potensial. Baik itu infeksi ulang omicron, ataupun paparan varian yang mungkin saja terus berkembang.
"Kita harus mulai memikirkan varian berikutnya yang akan datang daripada terlalu mengkhawatirkan BA.2," ujar ahli virus dari Organisasi Vaksin dan Penyakit Menular Universitas Saskatchewan, Angela Rasmussen.