Pengungsi Arab: Warga Ukraina Diterima di Eropa, Kami Masih di Tenda

Pengungsi Arab mempertanyakan standar ganda Eropa terhadap warga Ukraina.

AP/Ghaith Alsayed
Seorang wanita menggantung cucian di kamp pengungsi yang terendam banjir di provinsi Idlib, Suriah, Selasa, 21 Desember 2021.
Rep: Dwina Agustin Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, SIDON -- Pengungsi Suriah Ahmad al-Hariri melarikan diri dari perang di negaranya ke negara tetangga Lebanon 10 tahun lalu. Dia menghabiskan satu dekade terakhir dengan harapan sia-sia untuk melarikan diri ke kehidupan baru di Eropa.

Baca Juga


Menyaksikan negara-negara Eropa membuka tangan kepada ratusan ribu orang Ukraina dalam waktu kurang dari sepekan, ayah tiga anak ini mau tak mau membandingkan nasibnya. "Kami bertanya-tanya, mengapa orang Ukraina diterima di semua negara sementara kami, pengungsi Suriah, masih di tenda dan tetap di bawah salju, menghadapi kematian, dan tidak ada yang melihat kami?" katanya di sebuah pusat pengungsi dengan 25 keluarga berlindung di tepi Kota Mediterania Sidon.

Sebnayak 12 juta warga Suriah telah tercerabut oleh perang, kritikus mulai dari Hariri hingga aktivis dan kartunis membandingkan reaksi Barat terhadap krisis pengungsi yang dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina. Mereka menyoroti cara Eropa berusaha menahan pengungsi Suriah dan pengungsi lainnya pada 2015.

Beberapa mengingat peristiwa ketika pengungsi yang berjalan selama berhari-hari dalam cuaca buruk atau kehilangan nyawa di penyeberangan laut yang berbahaya ketika mencoba menembus perbatasan Eropa. Kondisi ini dibandingkan dengan pernyataan Uni Eropa (UE) yang melaporkan setidaknya 400 ribupengungsi telah memasuki blok dari Ukraina, yang memiliki perbatasan darat dengan empat negara UE, pada hari keempat invasi.

Pengungsi dari Ukraina menunggu di stasiun kereta api di Chelm, dari mana mereka akan naik kereta khusus ke Warsawa, Polandia, 2 Maret 2022. - (EPA-EFE/Pawel Supernak )

Jutaan lagi diharapkan akan pergi meninggalkan Ukraina dan UE sedang mempersiapkan langkah-langkah yang akan menawarkan izin tinggal sementara serta akses ke pekerjaan dan kesejahteraan sosial. Pembukaan cepat pintu UE bertentangan dengan tanggapannya terhadap perang di Suriah dan di tempat lain.

Pada awal 2021, 10 tahun setelah konflik Suriah meletus, negara-negara UE telah menerima satu juta pengungsi dan pencari suaka Suriah, lebih dari setengahnya diambil oleh Jerman. Sebagian besar dari mereka tiba sebelum kesepakatan 2016, UE membayar miliaran euro kepada Turki untuk terus menampung 3,7 juta warga Suriah.

Kali ini, sambutan UE secara langsung. "Kami tidak memiliki gelombang pengungsi di sini yang biasa kami alami dan kami tidak tahu harus berbuat apa orang-orang dengan masa lalu yang tidak jelas," kata Perdana Menteri Bulgaria Kiril Petkov, menggambarkan orang Ukraina sebagai orang yang cerdas, berpendidikan, dan berkualifikasi tinggi.

Bulgaria mengatakan, akan membantu semua orang yang datang dari Ukraina, ada sekitar 250 ribu etnis Bulgaria. "Ini adalah orang Eropa yang bandaranya baru saja dibom, yang mendapat kecaman," kata Petkov.

Tahun lalu, 3.800 warga Suriah mencari perlindungan di Bulgaria dan 1.850 diberikan status pengungsi atau kemanusiaan. Suriah mengatakan sebagian besar pengungsi hanya melewati Bulgaria ke negara-negara UE yang lebih kaya.

Pemerintah Polandia telah menyambut orang-orang yang melarikan diri dari perang Ukraina. Padahal negara ini mendapat kecaman internasional tahun lalu karena menolak gelombang imigran yang menyeberang dari Belarus, sebagian besar dari Timur Tengah dan Afrika,

Sedangkan Hongaria membangun penghalang di sepanjang perbatasan selatannya untuk mencegah terulangnya arus masuk orang dari Timur Tengah dan Asia pada 2015. Kali ini kedatangan pengungsi dari negara tetangga Ukraina telah memicu curahan dukungan dan tawaran transportasi, akomodasi jangka pendek, pakaian, dan makanan.

Hungaria dan Polandia sama-sama membela diri dengan mengatakan, para pengungsi dari Timur Tengah yang tiba di perbatasan telah melintasi negara-negara aman lainnya yang memiliki kewajiban untuk menyediakan tempat berteduh. Menteri Luar Negeri Hongaria Peter Szijjarto membela pendekatan yang berbeda.

"Saya harus menolak membuat perbandingan antara mereka yang melarikan diri dari perang dan mereka yang mencoba masuk ke negara itu secara ilegal," kata Szijjarto dalam pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa.

Pernyataan ini diperkuat dengan fakta bahwa Ukraina adalah rumah bagi komunitas etnis Hongaria yang besar. Ikatan seperti itu telah membuat beberapa pewarta Barat berpendapat bahwa bencana kemanusiaan di Ukraina berbeda dengan krisis di Suriah, Irak, atau Afghanistan. Mereka menilai orang Eropa dapat berhubungan lebih dekat dengan para korban di Ukraina.

Komentar mereka memicu gelombang kecaman di media sosial, menuduh Barat bias. Klip-klip laporan itu beredar luas dan dikritik habis-habisan di seluruh wilayah. Misalnya, seorang reporter televisi di jaringan AS CBS menggambarkan Kiev sebagai kota yang relatif beradab dan sama dengan Eropa, berbeda dengan zona perang lainnya. Yang lain mengatakan Ukraina berbeda karena mereka yang melarikan diri adalah kelas menengah atau menonton Netflix.

Reporter CBS Charlie D'Agata pun akhirnya meminta maaf. Dia mengatakan telah berusaha menyampaikan skala konflik.

Nadim Houry, direktur eksekutif Inisiatif Reformasi Arab, mengatakan bagian dari liputan media mengganggu. Tindakna itu justru mengungkapkan ketidaktahuan tentang pengungsi dari bagian lain dunia yang juga memiliki aspirasi yang sama dengan Ukraina.

Pemandangan kamp pengungsian banjir provinsi Idlib, Suriah, terlihat Selasa, 21 Desember 2021. - (AP/Ghaith Alsayed)

Houry dan kritikus lainnya juga mengatakan beberapa pemerintah menunjukkan standar ganda pada masalah relawan yang ingin berperang di Ukraina melawan pasukan Rusia. Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss pada akhir pekan mendukung seruan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy agar orang-orang bergabung dengan pasukan internasional untuk memerangi pasukan Rusia.

"Tentu saja. Jika orang ingin mendukung perjuangan itu, saya akan mendukung mereka melakukan itu," katanya kepada BBC.

Kondisi sebaliknya, polisi Inggris memperingatkan warga Inggris yang bepergian ke Suriah untuk membantu pemberontak yang memerangi Presiden Bashar al-Assad delapan tahun lalu. Mereka dapat ditangkap sekembalinya dari Suriah dengan mengatakan mereka dapat menimbulkan risiko keamanan bagi Inggris.

Menteri Pertahanan Inggris Ben Wallace mengatakan situasinya berbeda dengan para pejuang yang bergabung dengan kelompok-kelompok seperti ISIS di Suriah. Dia pun menyatakan pemerintah akan mencegah orang-orang pergi ke Ukraina.

Dengan tindakan diskriminasi negara-negara Eropa dalam menerima pengungsi, beberapa pengungsi di Suriah utara, Lebanon dan di Yordania mengatakan tanggung jawab atas penderitaan  terletak pada pihak berwenang yang lebih dekat ke rumah. Mereka menyatakan negara-negara Arab seharusnya berbuat lebih banyak untuk para pengungsi. 

Terlepas dari tetangga Suriah, Yordania dan Lebanon, negara-negara Arab hanya menerima sedikit dari orang-orang terlantar akibat perang. "Kami tidak menyalahkan negara-negara Eropa, kami menyalahkan negara-negara Arab," kata Ali Khlai, yang tinggal di sebuah tenda di dekat kota Azaz, Suriah barat laut.

"Negara-negara Eropa menyambut mereka dari rakyatnya. Kami menyalahkan saudara-saudara Arab kami, bukan yang lain," ujarnya.

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler