Tolak Zona Larangan Terbang di Ukraina, NATO tak Mau Perang dengan Rusia

Presiden Volodymyr Zelenskyy mengkritik NATO yang bersikap lemah.

AP/Vadim Ghirda
Prajurit Ukraina membawa kereta bayi setelah menyeberangi sungai Irpin di jalur improvisasi di bawah jembatan yang dihancurkan oleh serangan udara Rusia, sambil membantu orang-orang yang melarikan diri dari kota Irpin, Ukraina, Sabtu, 5 Maret 2022.
Rep: Ali Yusuf Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA -- Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menolak permintaan pemerintahan Kyiv untuk pemberlakukan zona larangan terbang di Ukraina. Keeenggan itu memicu kritik tajam dari Presiden Volodymyr Zelenskyy yang mengatakan pengeboman Rusia di negaranya akan terus berlanjut.

Seperti dikutip, Aljazirah, Sabtu (5/3/2022), Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengumumkan keputusan  penolakan ini setelah rapat penting antara 30 anggota aliansi di Brussels. Dia mengatakan membantu Ukraina melindungi langit dari rudal Rusia dan pesawat tempur akan membuat pasukan NATO  menembak jatuh pesawat Rusia. Langkah ini dapat mengakibatkan perang penuh di Eropa yang melibatkan lebih banyak negara.

Baca Juga



"Kami bukan bagian dari konflik ini," katanya.

"Kami memiliki tanggung jawab sebagai sekutu NATO untuk mencegah perang ini terjadi di luar Ukraina karena itu akan menjadi lebih berbahaya, lebih menghancurkan dan akan menyebabkan penderitaan yang lebih manusiawi," ujarnya.

Presiden Ukraina mengkritik keputusan itu dengan kata-kata yang menyakitkan dan emosional.  "Hari ini ada konferensi tingkat tinggi NATO, puncak yang lemah, puncak yang membingungkan, puncak yang di mana sudah jelas bahwa tidak semua orang menganggap pertempuran untuk kebebasan Eropa menjadi tujuan nomor satu," demikian kata Zelenskyy dalam pidatonya yang disiarkan Jumat malam.

Kini, kata dia, pemimpin aliansi itu memberikan lampu hijau untuk mengebom lebih jauh kota-kota dan desa-desa di Ukraina, karena menolak untuk membuat zona larangan terbang.

Rusia menyerbu ukraina melalui darat, laut dan udara pada 24 Februari. Presiden Vladimir Putin menyebutnya sebagai "operasi militer khusus" yang bertujuan menggantikan "neo-nazi" memerintah negeri itu. Penyerangan sembilan hari telah membunuh dan melukai ribuan orang dan mengirim lebih dari satu juta orang untuk berlindung melewati perbatasannya.

Zelenskyy berkata NATO juga, sekarang bertanggung jawab atas kematian di Ukraina. "Semua orang yang mati sejak hari ini dan seterusnya juga akan mati karena kamu, karena kelemahanmu, karena kamu tidak bersatu," katanya

Di tangan Putin

Negara-negara barat telah mengutuk invasi Rusia, mengirimkan persediaan senjata ke Ukraina dan menerapkan sanksi ekonomi internasional terberat terhadap Moskow sampai saat ini, termasuk pada lingkaran dalam presiden rusia Vladimir Putin.

Tapi hlal itu gagal menghentikan serangan Rusia. Pada hari Jumat, Barat dan sekutu-sekutunya kembali menjanjikan kepada Ukraina dukungan militer yang lebih besar serta bantuan kemanusiaan dan perbekalan yang lebih dibutuhkan.

Menlu AS Antony Blinken, berbicara kepada para reporter setelah pertemuan NATO, mengatakan bahwa aliansi berkomitmen untuk melakukan segala sesuatu  guna membantu penduduk Ukraina mempertahankan diri mereka dari rusia".

"Tapi kami juga memiliki tanggung jawab, seperti yang dikatakan sekretaris jenderal, untuk memastikan agar perang tidak tumpah bahkan di luar Ukraina," katanya.

NATO akan terus menjatuhkan sanksi ke Putin. Kecuali Kremlin berubah haluan. Sementara itu, negara-negara G7 mengatakan mereka akan meminta pertanggungjawaban atas kejahatan perang ini. Mereka juga menolak mengakui setiap keuntungan teritorial rusia.

Namun, masih belum jelas kapan dan sanksi apa lagi yang bisa disepakati Uni Eropa.  "Ini adalah perang Putin, dan hanya Putin yang dapat mengakhirinya," kata puncak diplomat uni eropa, Josep Borrell.

"Jika seseorang mengharapkan bahwa sanksi dapat menghentikan perang besok, mereka tidak tahu apa yang mereka bicarakan."

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler