Penelitian Coba Temukan Cara Ukur Karakteristik Biologis Anak dengan Autisme
Penelitian mencoba mengukur karakteristik biologis anak autis secara objektif.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satu dari 44 anak yang tinggal di Amerika Serikat didiagnosis dengan gangguan spektrum autistik (ASD). Ini adalah suatu kondisi yang dapat menimbulkan berbagai tantangan, terutama yang berkaitan dengan komunikasi sosial.
Sementara ASD dipelajari dengan baik, pengetahuan para ilmuwan tentang biologi di balik gangguan ini masih terbatas. Untuk meningkatkan dasar ilmiah dalam memahami ASD, James McPartland, PhD, profesor di Child Study Center dan direktur Yale Developmental Disabilities Clinic, sedang mempelajari biomarker yang terkait dengan kondisi tersebut. Dia memeriksa karakteristik biologis yang dapat diukur secara objektif.
McPartland berbicara tentang kemajuan yang telah dibuat labnya selama presentasi yang bertajuk 'Progress in Biomarker Development in Autism Spectrum Disorder' pada 9 November. “Saat ini, setiap keputusan yang kami buat tentang bagaimana membantu individu autis didasarkan pada pemikiran klinis subjektif kami,” katanya,” seperti dilansir dari laman Yale School of Medicine, Ahad (6/3/2022).
Dia mencoba membuat alat berbasis biologis yang dapat membantu penelitian serta praktik klinis dalam autisme. Orang autis sering mengalami kesulitan berinteraksi secara sosial dengan orang lain, dan mungkin menunjukkan minat yang terbatas, perilaku berulang, atau respons tidak biasa terhadap informasi sensorik.
“Saya terpesona oleh apa yang dimaksud dengan otak bahwa seorang anak bisa sangat terampil di beberapa bidang, tetapi tidak nyaman dengan apa yang kebanyakan dilakukan tanpa berpikir, seperti melakukan kontak mata atau melakukan percakapan,” katanya.
Penelitian McPartland berfokus pada inovasi biomarker baru, mengembangkan cara baru untuk mengukur biologi yang terkait dengan ASD. Dari awal karir penelitiannya, dia telah melihat bagaimana otak ASD merespons wajah.
Penelitian tentang biomarker autisme menimbulkan tantangan bagi para ilmuwan. Sementara para ahli telah mengidentifikasi banyak biomarker yang menjanjikan, studi tentang kandidat potensial memiliki reproduktifitas yang terbatas. Temuan McPartland tentang latensi N170 pada individu autis adalah salah satu temuan ilmu saraf yang paling banyak direplikasi pada autisme, tetapi belum terdeteksi di semua sampel.
Tantangan-tantangan ini menyoroti perlunya penelitian biomarker yang lebih ketat. Akibatnya, McPartland memimpin Konsorsium Biomarker Autisme untuk Uji Klinis (ABC-CT), sebuah studi multisenter yang berbasis di Yale. Fase pertama mendaftarkan 280 anak autis dan 119 anak neurotipikal dan melihat empat biomarker EEG dan lima biomarker berbasis pelacakan mata.
Studi ini menggunakan ketelitian metodologis yang belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan memastikan pencahayaan dan suhu sama persis di setiap lokasi untuk menghilangkan kebisingan sebanyak mungkin.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) baru-baru ini memperkenalkan program kualifikasi biomarker untuk mengukur dan memvalidasi biomarker yang didukung oleh bukti ilmiah yang kuat. Biomarker ini diharapkan jadi alat diagnostik dan digunakan dalam mendefinisikan subkelompok autisme.
Tim McPartland meluncurkan fase dua ABC-CT pada bulan Mei untuk memperluas temuan mereka dari studi pertama. Fase kedua akan membawa kembali anak-anak dari kohort asli untuk mengamati bagaimana biomarker dapat berubah seiring waktu, dan juga membawa sampel independen 400 anak untuk mencoba dan mereplikasi temuan studi awal.
Melalui pembuatan alat ini, McPartland berharap dapat mendorong kelompok yang lebih luas seperti produsen perangkat atau perusahaan farmasi untuk lebih terlibat dalam perawatan autisme. Banyak orang autis juga berjuang dengan kondisi yang ada seperti depresi atau kecemasan. Oleh karena itu, kata McPartland, individu yang merasa nyaman dengan autisme mereka dan dapat mengambil manfaat dari pekerjaannya.
“Penting bagi saya bagi orang untuk memahami bahwa pengetahuan yang lebih besar tentang biomarker pada autisme sepenuhnya sesuai dengan gerakan neurodiversity,” tambah dia.