Kontroversi Jilbab, Muslim India Khawatir Semakin Terpinggirkan

Muslimah India bertekad terus perjuangkan pemakaian jilbab di kampus.

EPA-EFE/JAGADEESH NV
Wanita Muslim mengenakan Niqab (cadar yang menutupi wajah kecuali area mata) berjalan di jalan di Bangalore, India, 16 Februari 2022. Pengadilan Tinggi Karnataka mendengar pada 16 Februari petisi yang menentang larangan jilbab di lembaga pendidikan karena perguruan tinggi pra-universitas dilarang. dibuka setelah ditutup selama seminggu, karena deretan hijab. India telah mengalami peningkatan jumlah kejahatan kebencian dan serangan terhadap Muslim, Kristen, dan Minoritas dalam beberapa bulan terakhir. Kontroversi Jilbab, Muslim India Khawatir Semakin Terpinggirkan
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Selama lebih dari dua bulan, ketegangan telah mencengkeram negara bagian Karnataka di India selatan, setelah sekolah dan perguruan tinggi di sana melarang siswi Muslim mengenakan jilbab di dalam kelas. Langkah tersebut kemudian menciptakan riak di seluruh negeri.

Baca Juga


Kegaduhan terkait hijab ini juga datang di saat pemilihan kepala daerah tengah berlangsung di lima negara bagian di India. "Larangan jilbab tidak dapat diterima. Jilbab adalah bagian dari identitas kami. Itu ada dalam keimanan dan perasaan kami," kata A. H. Almaas, seorang mahasiswi di Government Pre University College For Girls di Udupi, Karnataka, dilansir di Nikkei Asia, Senin (7/3/2022).

Almaas termasuk di antara gadis-gadis yang dilarang mengikuti ujiannya pada Senin karena dia ditolak masuk ke kampus. Namun, ia mengatakan kepada Nikkei Asia tentang tekadnya untuk mengubah aturan tersebut.

"Perjuangan kami benar dan konstitusional. Kami tidak bisa berkompromi. Kami akan berjuang sampai akhir, dan pada akhirnya kami akan menang," katanya.

Larangan hijab tersebut telah menuai kemarahan dari komunitas Muslim. Mereka menilai larangan hijab adalah serangan langsung atas hak-hak inti agama mereka.

 

Kegaduhan terkait hijab ini juga telah memicu kekhawatiran akan adanya marginalisasi (peminggiran) lebih lanjut terhadap Muslim di bawah pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi dan partai nasionalis Hindunya Bharatiya Janata Party (BJP).

Kontroversi hijab dimulai pada akhir Desember tahun lalu di sebuah perguruan tinggi di Udupi, sebuah distrik di pesisir Karnataka, ketika sekelompok enam gadis Muslim diusir dari kelas karena mereka mengenakan jilbab. Pejabat di perguruan tinggi tersebut mengatakan gadis-gadis itu melanggar aturan berpakaian sekolah.

Namun, kelompok gadis Muslim itu menanggapi dengan protes dan menantang aturan tersebut. Mereka berdiam di luar kelas dan melewatkan pelajaran penting.

Para gadis dan pendukung mereka mengatakan melarang siswa dari kelas untuk mengenakan jilbab adalah pelanggaran hak mereka untuk menjalankan agama mereka dan hak mereka atas pendidikan.

Seorang aktivis yang mengepalai Organisasi Pelajar Islam India, Mohammad Salman, mengatakan kepada Nikkei bahwa larangan jilbab bertujuan memaksakan homogenitas budaya dengan umat Hindu. Selain itu, menciptakan hambatan bagi perempuan Muslim yang berjuang masuk ke lembaga pendidikan dan pekerjaan.

 

Kontroversi semakin membesar karena semakin banyak perguruan tinggi yang melarang jilbab di kampus setelah mahasiswa Hindu, yang didukung oleh kelompok-kelompok ekstremis, mulai mengenakan syal dan selendang berwarna jingga, simbol yang diasosiasikan dengan nasionalisme Hindu. Mereka juga melakukan aksi protes dengan kekerasan menentang hijab.

Seorang aktivis di New Delhi, Nabiya Khan, mengatakan kontroversi seputar jilbab mencerminkan tumbuhnya Islamofobia di India. "Mereka mengejar simbol kemusliman kita satu per satu. Hari ini mereka keberatan dengan hijab, besok mereka akan menolak keyakinan kami tanpa dalih apa pun," katanya.

Anggota kelompok yang memimpin perlawanan terhadap larangan tersebut, Hajra Shifa (18 tahun), juga menegaskan agar otoritas di India memberikan hak mereka. Menurutnya, hal itu bukan hanya tentang mereka, tetapi perjuangan untuk setiap gadis Muslim di India.

"Konstitusi India memberi kita semua hak, hak atas kebebasan, hak atas kesetaraan, hak atas pendidikan dan hak beragama. Saya tidak tahu mengapa perguruan tinggi menghentikan kami dari menjalankan hak kami," ujar Shifa.

Dia adalah salah satu pemohon yang telah mengajukan kasus jilbab ini ke pengadilan tinggi negara bagian, dengan alasan para siswa harus diizinkan untuk mengenakan jilbab. Sebuah panel yang terdiri dari tiga hakim yang mendengarkan kasus tersebut mengeluarkan putusan sementara pada pertengahan Februari 2022 lalu yang melarang pakaian keagamaan di sekolah-sekolah sampai pengadilan memutuskan apakah mengenakan jilbab adalah hak agama yang mendasar di bawah konstitusi India.

 

Putusan itu telah meningkatkan ketegangan lebih lanjut, karena sekolah dan perguruan tinggi di seluruh negara bagian telah melarang jilbab, termasuk untuk guru. Pemaksaan gadis-gadis Muslim dan perempuan untuk membuka diri di depan umum, di depan media, telah memicu rasa penghinaan di kalangan umat Islam. Shifa mengatakan pengadilan harus mencapai keputusan sesegera mungkin.

"Sampai keputusan dibuat, kami tidak akan masuk ke ruang kelas. Bulan ini saya ada ujian praktek laboratorium. Jika saya tidak hadir, saya bisa kehilangan satu tahun," kata Shifa, yang merupakan seorang mahasiswa IPA dan bermimpi menjadi teknisi kardiovaskuler.

Namun, kegaduhan akan hijab telah mengganggu fokus Shifa meraih pendidikan demi mewujudkan mimpinya itu. Perselisihan tentang jilbab telah mendominasi berita utama nasional selama berminggu-minggu. Pengamat mengatakan BJP dapat menggunakan masalah ini untuk mengalihkan perhatian dari isu lain termasuk pengangguran, krisis pertanian dan pembangunan ekonomi yang lesu.

Yogi Adityanath, seorang biksu Hindu sayap kanan dan politikus BJP yang tengah berjuang untuk masa jabatan kedua sebagai menteri utama di negara bagian utara Uttar Pradesh, mengatakan dalam wawancara TV ia menentang mengizinkan jilbab di sekolah dan perguruan tinggi. Uttar Pradesh sendiri adalah wilayah yang paling padat penduduknya di India.

Pada Februari lalu, para pendukungnya, yang mengenakan selendang safron, pergi ke sebuah perguruan tinggi di kota Aligarh dan menuntut agar mereka melarang masuknya siswa yang mengenakan jilbab. Dua hari kemudian, kampus memberlakukan larangan tersebut sesuai tuntutan.

"Ini adalah cara partai menunjukkan kepada pemilih intinya bagaimana menempatkan Muslim 'di tempat mereka'. Tetapi perolehan pemilu hanyalah satu bagian dari cerita. Mempermalukan umat Islam pada tingkat sehari-hari juga merupakan tujuan nasionalisme Hindu itu sendiri," kata editor politik di The Quint, sebuah situs berita lokal, Aditya Menon. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler