Belajar Berdebat dari Kiai Bisri dan Kiai Wahab
Banyak perbedaan pendapat di kalangan kiai-kiai NU. Tetapi mereka tetap mereka tetap menjalin hubungan baik.
NYANTRI--Ada cerita menarik tentang ulama NU pada zaman dahulu. Meski mereka berada dalam kondisi tidak sependapat, baik dalam hukum syari’at atau pun perpolitikan mereka tetap terus menjalin hubungan yang baik. Misalnya cerita Kiai Bisri dan dan Kiai Wahab yang kerap sekali berseberangan dalam berpendapat.
Pada saat itu, Kiai Bisri Syansuri menggebrak meja. Tentu saja jamaah terkejut. Belum reda keterkejutan jamaah, kiai Wahab Chasbullah membalas menggebrak meja. Hanya caranya sedikit berbeda, lebih ekstream. Ia menggebrak meja memakai kakinya.
Kiai Bisri adalah pengasuh dan Pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, sementara Kiai Wahab adalah pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang. Mereka tak sedang adu jotos, melainkan berdebat bagaimana hukum islam memandang drumben. Kiai Bisri merupakan ahli fikih dengan beberapa pandangan yang cendrung konvensional, sedangkan Kiai Wahab adalah ahli Ushul Fiqh atau ilmu tentang sumber-sumber fiqih, dengan pendekatan yang acap kali lebih moderat.
Uniknya, begitu perdebatan selesai, kedua kiai karismatik itu malah berebut untuk melayani satu sama lain dalam jamuan makan.
“Kalau debat masalah hukum agama, muka mereka sampai merah. Gebrak-gebrak meja, lagi. Tapi kalau sudah mendengar adzan, mereka akan berhenti dan menuju masjid bersama-sama. Sudah tidak ada masalah. ” Ujar Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, sebagaimana dikutip oelh Hamid Basyaib dan Fajar W. Hermawan dalam Gitu Aja Kok Repot! Ger-geran Gaya Gus Dur.
Kisah antara Kiai Bisri dengan Kiai Wahab itu menunjukkan bahwa dalam berpendapat kita boleh berbeda akan tetapi tetap bersikap baik ketika di luar forum. Sebab, perbedaan adalah fitrah manusia. Pada saat ini, oknum NU sering mengikuti ego sehingga mereka yang berbeda pendapat tidak menyeimbangi dengan keharmonisan yang ditunjukkan kepada masyarakat awam sehingga Nampak ambigu.
Dalam kisah lain, Kiai Wahab pernah membujuk Kiai Bisri agar NU terlibat dalam Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) semasa pemerintahan Presiden Sukarno.
Dalam pandangan Kiai Bisri, keberadaan DPRGR dengan membubarkan Konstituante ialah ghasab, perampasan hak rakyat. Sedangkan menurut Kiai Wahab, untuk tahu apakah DPRGR bermasalah atau tidak, NU harus terlibat lebih dahulu.
Ketika dialog telah benar-benar buntu, sebagaimana dikisahkan ulang oleh Akhmad Fikri AF dalam Tawashow di Pesantren, Kiai Wahab mengajak Kiai Bisri, yang merupakan saudara iparnya itu, untuk makan gulai kambing ke kediamannya.
“Gulainya memang enak. Sayang enggak menyangka kalau masakan sampean bisa melebihi masakan penjual professional,” kata Kiai Bisri memuji Kiai Wahab. Namun, sebelum Kiai Wahab menanggapi, Kiai Bisri bicara lagi, “Tapi kalau masalah DPRGR itu saya masih belum bisa menerimanya.”
Kiai , dalam dunia pesantren NU, berkedudukan sebagai junjungan. Dawuh kiai adalah segalanya. Itulah yang membedakan organisasi Islam terbesar di Indonesia ini dengan organisasi keagamaannya lainnya.
Keadaan itu menjadikan satu individu nahdliyin bias mengikuti Kiai A dan Kiai B sekaligus, sekalipun keduanya punya sikap yang berseberangan. Maka tidak ada ceritanya santri-santri salah satu dari mereka saling berselisih. Karena mereka sama-sama menjunjung Kiai Wahab dan Kiai Bisri sebagai guru yang ‘alim dan sosok yang berjuang untuk umat.
Sumber: Diambil dari buku Ahmad Khadafi dengan judul Dari Bilik Pesantren
Penulis: Ahmad Fatoni