Mampukah AS Tekan China di Konflik Rusia-Ukraina?

Tekanan terhadap perdagangan China dapat berdampak buruk pada perekonomian AS

AP/Alexei Druzhinin/Pool Sputnik Government
Presiden China Xi Jinping, kanan, dan Presiden Rusia Vladimir Putin. AS terus menekan China untuk tidak membantu Rusia
Rep: Lintar Satria Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON  — Penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan berencana bertemu dengan diplomat dan anggota Politbiro Partai Komunis China, Yang Jiechi di Roma, Italia, Senin (14/3/2022). Mereka akan membahas sanksi yang diterima Beijing bila membantu Rusia dalam perang melawan Ukraina.

Salah satu pejabat pemerintah AS mengatakan Sullivan akan memperingatkan China akan terisolasi dari masyarakat internasional bila terus membantu Rusia. Sumber tersebut tidak menjelaskan detailnya lebih lanjut.

Beberapa pekan terakhir pemerintah AS dan negara-negara lain menegaskan perdagangan dan pengembangan teknologi baru China akan menerima konsekuensi bila Beijing berpihak pada Rusia. Kemungkinan China juga dapat menerima sanksi kedua.

Pekan lalu Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo mengatakan perusahaan-perusahaan China yang mengabaikan pembatasan ekspor AS pada Rusia akan dipotong aksesnya pada perangkat lunak dan keras AS yang diperlukan untuk memproduksi barang-barang mereka.

Pertemuan di Roma akan menjadi perjumpaan pertama antara Sullivan dengan Yang sejak pertemuan tertutup di Zurich pada bulan Oktober lalu. Ketika dua perekonomian terbesar di dunia hendak meredakan ketegangan usai aksi saling serang di Alaska satu tahun sebelumnya.

China merupakan eksportir terbesar dunia, mitra dagang terbesar Uni Eropa dan pemasokan barang-barang terbanyak AS. Tekanan terhadap perdagangan China dapat berdampak buruk pada perekonomian AS dan sekutu-sekutunya.

Pada Ahad (13/3/2022) kemarin pejabat pemerintah AS mengatakan setelah menggelar invasi Rusia meminta China peralatan militer. Pemerintah Presiden Joe Biden khawatir Beijing merusak upaya Barat untuk membantu Ukraina dengan memperkuat militer Moskow.

Di stasiun televisi CNN, Sullivan mengatakan Washington mengawasi dengan ketat sejauh mana Beijing memberikan bantuan materi dan ekonomi pada Rusia.

"Kami berkomunikasi langsung, privat dengan Beijing bahwa jelas akan ada konsekuensi upaya menghindari sanksi skala besar atau membantu Rusia dengan mengisi ulang kekuatan mereka," kata Sullivan.

"Kami tidak akan membiarkan hal itu terus terjadi dan membiarkan adanya jalur bagi Rusia menghindari sanksi-sanksi ekonomi melalui negara mana pun, di mana pun di dunia," tambahnya.

Hubungan AS dengan China sudah berada di titik terendahnya dalam beberapa tahun terakhir. Semakin buruk setelah Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan strategi kemitraan "tanpa batas" bulan lalu, sebelum Moskow menginvasi Ukraina.

Baca Juga


Baca juga : Jokowi Temukan Fakta Minyak Goreng Kosong di Minimarket Yogyakarta

Beijing merupakan mitra perdagangan penting Rusia, mereka menolak serangan Moskow ke Ukraina sebagai invasi. Walaupun pekan lalu Xi mendesak "pengendalian maksimal." Beijing khawatir sanksi-sanksi Barat pada Rusia berdampak pada perekonomian global setelah sanksi-sanksi itu mulai membatasi kemampuan China membeli minyak Rusia.

Washington dan sekutu-sekutunya memberlakukan sanksi-sanksi berat dan melarang impor energi Rusia. Sementara terus menyalurkan miliaran dolar dalam bentuk bantuan militer dan kemanusiaan ke Ukraina.

Kedutaan Besar China di AS mengatakan terkejut mengenai laporan the Financial Times tentang Rusia meminta bantuan militer. Seorang pakar menilai China dapat bertindak sebagai penengah dalam krisis Ukraina.

Juru bicara kedutaan Liu Pengyu mengatakan situasi di Ukraina saat ini "mengkhawatirkan".

"Kami mendukung dan mendorong semua upaya penyelesaian krisis dengan damai secara kondusif," katanya.

Baca juga : Anwar Abbas Tegaskan Fatwa Halal Produk Masih Tanggung Jawab MUI

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler