Harga Baru Minyak tak Berguna Bila Barangnya tak Ada
Ikappi menemukan kenaikan permintaan minyak goreng jelang Ramadhan.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dedy Darmawan Nasution, Muhammad Nursyamsi, Antara
Kelangkaan minyak goreng masih terus terjadi. Terbaru, pemerintah memutuskan hanya mengatur harga minyak goreng curah sebesar Rp 14 ribu per liter dengan bantuan subsidi usai diumumkan pada Selasa (15/3) kemarin. Sementara, harga minyak goreng kemasan sederhana dan premium dilepas sesuai harga pasar yang sedang tinggi.
Apa pun keputusan terkait minyak goreng, Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) mendesak agar pasokan kembali tersedia secara cukup di pasar. Pasalnya, tren permintaan mulai mengalami kenaikan dua pekan sebelum masuknya bulan Ramadhan.
Ketua Umum Ikappi, Abdullah Mansuri, pun berharap dengan dilepasnya harga minyak goreng kemasan sederhana dan premium sesuai harga keekonomian, pasokan bisa sesegera mungkin tersebar luas dan tidak sulit didapatkan. Begitupun, dengan minyak goreng curah yang patokan harganya telah dinaikkan menjadi Rp 14 ribu per liter.
"Yang penting ada dulu barangnya walau harga agak tinggi, tapi tetap diminati. Kita harapkan sesegera mungkin pasokan tersedia (merata) sehingga tidak ada panic buying," kata Mansuri, Rabu (16/3).
Mansuri mengatakan, sangat mustahil untuk saat ini jika tidak sesegera mungkin melakukan pengendalian produksi. Dikhawatirkan kembali terjadi panic buying kedua di tengah masyarakat yang bisa menganggu keseimbangan pasar minyak goreng.
Saat ini, kata Mansuri, permintaan minyak goreng juga sudah mengalami kenaikan namun masih di bawah lima persen. Ia belum dapat memastikan penyebab kenaikan permintaan, namun bisa jadi akibat adanya isu beberapa komoditas pangan lain yang juga mengalami kenaikan harga. "Jadi, kami mendorong agar pasokan minyak goreng segera disebarkan dan didistribusikan ke pasar-pasar tradisional secepat mungkin," katanya.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Guntur Saragih, mengatakan, kebijakan penetapan harga oleh pemerintah dalam melindungi kelompok masyarakat tertentu merupakan hal wajar. "Pertimbangannya adalah kelompok masyarakat yang paling terdampak, apakah konsumen kemasan sederhana dan premium dianggap bukan kelompok masyarakat yang disasar? Itu pertimbangannya," kata Guntur.
Kendati demikian, Guntur menjelaskan, berbagai kebijakan intervensi harga oleh pemerintah harus mempertimbangkan segala risiko. Termasuk potensi penyimpangan-penyimpangan yang bisa terjadi di pasar bebas.
Kebijakan harga minyak goreng di hilir berkaitan erat dengan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) minyak sawit (CPO) di level hulu. Sebab, harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng yang sebelumnya diterapkan untuk konsumen bisa berjalan karena adanya DMO dan DPO meski pasokan belum merata.
Guntur pun menilai, efektivitas DMO dan DPO tersebut dapat dilihat dari ketersediaan minyak goreng dan harga saat ini. "Karena angka DMO 20 persen, seharusnya ketersediaan minyak goreng dengan harga yang ditentukan DPO seharusnya sudah mencukupi di pasar," ujarnya.
Sekretaris Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyatno, mengatakan, kebijakan itu menjadi "pil pahit" bagi konsumen karena pemerintah gagal dalam melaksanakan kebijakan minyak goreng yang terjangkau dari segi pasokan maupun harga. Meski begitu, diharapkan kebijakan tersebut menjadi jalan tengah atas kelangkaan minyak goreng yang masih dirasakan masyarakat sekaligus para pedagang.
YLKI meminta meskipun harga minyak goreng kemasan tak lagi diatur dengan harga eceran tertinggi (HET), harga jual harus adil dan tetap terjangkau. "Dengan harga yang dilepas ke pasar, kita harap dengan harga yang adil, bukan harga gilaan. Harga keekenomian yang adil bagi konsumen dan pelaku usaha, termasuk pedagang pasar tradisional," kata Agus.
HET minyak goreng kemasan sederhana sebelumnya diatur sebesar Rp 13.500 per liter sedangkan kemasan premium Rp 14 ribu per liter. Adapun minyak goreng curah sebelumnya hanya Rp 11.500 per liter.
Sebelum ditetapkan HET, harga minyak goreng kemasan tembus hingga lebih dari Rp 20 ribu per liter, sementara minyak goreng curah di kisaran Rp 17 ribu per liter.
Agus mengatakan, situasi yang terjadi saat ini, harga minyak goreng memang sudah menyesuaikan dengan HET namun sulit diperoleh. Situasi itu tak berbeda seperti sebelumnya di mana pasokan banyak namun harga sangat tinggi.
"Jadi untuk di tataran konsumen, ada tiga hal yang saling terkait, akses, harga, dan kualitas," katanya.
Lebih lanjut, YLKI juga menekankan perlunya pengawasan lebih ketat dalam perdagangan minyak goreng ke depan. Pasalnya, ada potensi disparitas harga minyak goreng yang jauh antara kemasan dan curah.
YLKI memahami, pemerintah hanya mematok HET minyak goreng curah untuk melindungi masyarakat kecil dan usaha mikro yang membutuhkan. Namun, tidak menutup kemungkinan konsumen minyak goreng kemasan yang notabene masyarakat menengah juga akan menggunakan minyak curah.
"Ini perlu diawasi lebih kuat dan betul, dibutuhkan kesadaran konsumen apakah dia termasuk yang membutuhkan minyak goreng curah atau bukan," kata dia.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan keputusan pemerintah dalam memberikan subsidi untuk minyak goreng curah dan melepas harga minyak goreng kemasan sesuai harga keekonomian merupakan langkah tepat dalam mengatasi permasalahan minyak goreng. "Kalau kemarin ada selisih harga dari pasar modern, di pasar tradisional tidak bisa dikontrol. (Selisih) angka itu yang menyebabkan stok di pasar modern selalu di-rush (panic buying). Ada beberapa oknum yang beli (di pasar modern), lalu masuk ke pasar tradisional," ujar Arief saat distribusi minyak goreng di Pasar Kramat Jati, hari ini.
Menurut Arief, dengan kebijakan terbaru pemerintah akan dapat menyeimbangkan stok minyak goreng yang ada di pasar modern dan tradisional. Arief menyebut pelepasan minyak goreng kemasan mengikuti harga pasar merupakan upaya pemerintah dalam menjaga kebutuhan minyak goreng curah.
"Selisih harganya cukup besar maka diputuskan kemasan dilepas ikut harga pasar. Pertimbangannya yang perlu dijaga itu yang masyarakat bawah yang perlu minyak goreng curah. Kalau minyak premium nanti biarkan mekanisme pasar," ucap Arief.
Arief juga membandingkan harga minyak goreng kemasan Indonesia yang sebelumnya sebesar Rp 14 ribu dengan harga minyak di Malaysia yang sudah mencapai Rp 22 ribu. Arief menilai minyak goreng kemasan mengikuti harga pasar nantinya dapat menjadi pilihan bagi masyarakat. Pemerintah, ungkap Arief, memprioritaskan kebutuhan minyak goreng curah yang tersedia dan terjangkau bagi masyarakat bawah.
"Yang harus diperhatikan itu masyarakat yang di bawah dalam membuat harga eceran tertinggi, bukan yang premium, tidak perlu, biarkan nanti masyarakat memilih minyak yang sesuai kebutuhan," kata Arief menambahkan.
Ia mengegaskan, hal yang paling penting adalah bekerjasama dengan para pedagang pasar, sehingga rantai pasok minyak goreng ini benar. Pedagang juga masih bisa berjualan serta mendapatkan keuntungan. Kebijakan ini dinilainya lebih baik dibandingkan tidak melibatkan mereka dan langsung menjual kepada masyarakat.