Indonesia Harus Penuhi Ini Dulu Agar Bisa Bertransisi ke Endemi

Lima indikator transisi endemi harus terjadi konsisten setidaknya dalam enam bulan.

ANTARA/Rivan Awal Lingga
Warga berolahraga di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Ahad(13/3/2022). Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Reisa Broto Asmoro mengungkapkan peralihan pandemi menuju endemi tidak bisa lepas dari dua hal, yaitu jumlah kasus harian dan angka kematian yang rendah, serta tingkat keterisian rumah sakit.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Antara

Hari ini, kasus aktif Covid-19 kembali tercatat turun dari 299.443 pada Selasa (15/3/2022) menjadi 279.969 atau turun sebanyak 19.474. Tak hanya kasus aktif, kasus konfirmasi harian pun mengalami penurunan dari menjadi 13.018 setelah sebelumnya sempat kembali naik di angka 14.408 pada Selasa.

Perbaikan lainnya dari penanganan Covid-19 adalah penurunan jumlah kematian harian menjadi 230. Sehari sebelumnya, tercatat ada 308 kematian karena Covid-19.

“Meskipun indikator penanganan Covid-19 saat ini menunjukkan perbaikan, namun kita tetap harus terus waspada,” ujar Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, Rabu (16/3/2022). Indonesia belum dapat mengumumkan status endemi karena sejumlah indikator yang belum terpenuhi.

Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan ada lima indikator syarat agar pandemi virus corona (Covid-19) mampu bertransmisi menjadi endemi di Indonesia. Lima kondisi yang disyaratkan itu juga harus terjadi secara konsisten setidaknya dalam enam bulan.

Karena itu Nadia menegaskan saat ini pemerintah tidak buru-buru mengejar status endemi lantaran lebih memilih fokus mengendalikan pandemi melalui berbagai upaya seperti surveilans, pembatasan kegiatan masyarakat dan program vaksinasi Covid-19. "Untuk menghilangkan sebuah penyakit itu membutuhkan waktu yang lebih panjang, tentunya kita harus bersiap untuk terus berdampingan dengan Covid-19," kata Nadia.

Saat ini, Indonesia masih dalam kondisi pandemi Covid-19, dengan banyaknya tren indikator pengendalian pandemi yang terus menunjukkan ke hal yang positif, Indonesia sudah mulai bersiap-siap membuat langkah menuju ke arah endemi. Transisi endemi marupakan suatu proses di mana periode dari pandemi menuju ke arah endemi dengan sejumlah indikator, antara lain laju penularan harus kurang dari 1, angka positivity rate harus kurang dari 5 persen, kemudian tingkat perawatan rumah sakit harus kurang dari 5 persen, angka fatality rate harus kurang dari 3 persen, dan  level PPKM berada pada transmisi lokal level tingkat 1. Kondisi–kondisi ini harus terjadi dalam rentang waktu tertentu misalnya 6 bulan.

Nadia mengungkapkan, hingga kini indikator maupun waktunya masih terus dibahas oleh pemerintah bersama dengan para ahli untuk menentukan indikator yang terbaik untuk kita betul-betul mencapai ke arah kondisi endemi. Nadia menerangkan, yang terpenting  saat endemi adalah walaupun kasusnya ada, namun tidak akan mengganggu aktivitas, kehidupan sosial, kehidupan beragama, pariwisata masyarakat.

Indonesia, lanjut Nadia, sudah dalam proses transisi perubahan pandemi menjadi endemi. Proses transisi itu sejalan dengan kebijakan pelonggaran-pelonggaran yang diputuskan pemerintah.

Pelonggaran tersebut dilakukan dengan menurunkan level PPKM menjadi level 2, menghapuskan antigen dan PCR sebagai syarat melakukan perjalanan domestik menggunakan transportasi laut, darat maupun udara bagi masyarakat yang sudah vaksin hingga dosis ke-2. Pemerintah juga menurunkan jangka waktu karantina bagi masyarakat yang melakukan perjalanan luar negeri, dari yang sebelumnya karantina 14 hari menjadi 7 hari, kemudian 3 hari, hingga saat ini menjadi 1 hari

Terkait dengan informasi adanya sub varian Omicron BA.2. yang sudah masuk ke Indonesia, serta varian Deltacron yang sudah ada di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Belanda, Perancis, dan Denmark, Nadia menegaskan bahwa apapun jenis virusnya, protokol kesehatan dan vaksinasi tetap menjadi perlindungan yang ampuh. Hingga saat ini, pemerintah belum mendeteksi kasus varian Deltacron di Indonesia.

"Dan kami terus akan memantau. Vaksin Covid-19 jenis apapun yang saat ini kita gunakan masih efektif untuk mempertahankan diri dari virus Covid-19, termasuk sub varian Omicron BA.1 maupun BA.2. Kuncinya kita harus lengkapi vaksinasi dua dosis, serta perlu menambah dosis ke 3 atau booster untuk menambah pertahanan kita dari sub varian Omicron ini. Tidak lupa, tetap menjalankan protokol kesehatan dengan ketat,” tegas Nadia.












Baca Juga


Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI dan Guru Besar FKUI, Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan, dalam transisi menuju endemi, indikator surveilans harus terus dilakukan. Surveilans adalah pengamatan terus menerus, disertai respons segera.

"Dari sisi lain maka dapat juga diartikan bahwa surveilan merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya intelejensi kesehatan masyarakat, agar dapat dimonitor situasi penyakit yang ada serta dilakukan deteksi dini kalau ada awal peningkatan kasus, dan dilakukan respons segera agar situasi kesehatan segera terkendali dan tidak berkepanjangan," kata Tjandra dalam keterangan, Rabu (16/3/2022).

Pada dasarnya, lanjut Tjandra, ada lima bentuk yang dapat menjadi dasar kegiatan surveilans kesehatan masyarakat. Pertama, jelas perlu dilakukan surveilan pada besarnya masalah penyakit yang ada, baik jumlah kasus yang ada beserta tren kecenderungannya, maupun surveilans jumlah kematian dalam bentuk angka fatalitas  serta angka mortalitas. "Data yang ada tentu perlu ada pembandingnya, pertama situasi kini dengan waktu yang lalu, katakanlah jumlah kasus kini dibandingkan tahun yang lalu, kedua perbandingan kecenderungan kenaikan/penurunan kasus dalam bentuk trend epidemiologi, serta ketiga perbandingan dengan daerah atau negara lain," terang Tjandra.

Bentuk surveilans kedua adalah berdasar metodologi diagnosis, yaitu pertama berdasar pemeriksaan standar PCR, kultur, atau bentuk lain sesuai penyakitnya, kedua berdasar hal yang pasti dengan surveilan genomik yang kini merupakan acuan ilmiah utama di dunia, dan ke tiga surveilan bebasis gejal, misalnya dalam bentuk “National Syndromic Surveillance Program”.

Bentuk ketiga adalah surveilans yang mengikuti konsep “One Health” yang menyebutkan bahwa status kesehatan masyarakat tergantung dari kesehatan manusia, hewan dan keadaan lingkungan. Karena itu, agar bisa mendapatkan gambaran menyeluruh maka perlu surveilans tidak hanya perlu dilakukan pada manusia, tetapi juga pada hewan serta surveilan pada lingkungan, sesuai konsep “human-animal health-environment interface”.

Bentuk keempat adalah surveilans keadaan yang berhubungan dengan terjadinya penyakit, yang akan meliputi aspek yang oleh WHO disebut sebagai “social determinant of health”, seperti kemiskinan, kekurangan pangan, ketimpangan sosial dan diskriminasi, kondisi masa kanak-kanak yang tidak sehat, serta rendahnya status pekerjaan dll. Namun, apapun cara surveilansnya, hal terpenting adalah harus menganalisa hasilnya untuk dapat menjadi informasi dalam pengambilan keputusan.
 
"Pada dasarnya ada lima kegiatan, 1) memprediksi, 2) mencegah, 3)mendeteksi, 4) melakukan persiapan dan 5) melakukan respons, yang dapat dikatakan sebagai salah satu dasar penting intelejensi kesehatan, bagian amat vital dalam pengendalian penyakit, di negara kita dan juga di dunia," ujar Tjandra.

Akademisi asal Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Reviono mengatakan laju kasus Covid-19 mempengaruhi perubahan status dari pandemi menjadi endemi. "Faktor yang dapat mempengaruhi perubahan status pandemi jadi endemi yakni kasus stabil atau setidaknya dapat diprediksi," kata Dekan Fakultas Kedokteran UNS sekaligus Dokter Spesialis Paru dan Konsultan tersebut di Solo, Rabu.

Ia mengatakan suatu penyakit dikatakan endemi jika angka reproduksi rata-rata stabil pada angka 1, artinya satu orang yang terinfeksi rata-rata menginfeksi 1 orang lainnya. "Kemudian angka kematian yang rendah dan dapat diterima masyarakat serta cakupan vaksinasi yang luas. Para ahli pun mengatakan, peningkatan kekebalan tubuh baik dengan vaksinasi atau infeksi alami dapat membantu mendorong kita ke endemi dengan Covid-19," katanya.

Selain itu, yang tidak kalah penting adalah munculnya imunitas kelompok di mana sudah terbentuk sistem kekebalan dalam masyarakat sehingga tidak akan terkena virus. Hingga saat ini, menurut dia harapan agar pandemi berubah menjadi endemi tengah diupayakan oleh pemerintah, salah satunya memastikan setiap orang mendapatkan perlindungan kekebalan dengan vaksinasi.

"Dengan demikian, penularan akan Covid-19 berkurang dan hanya sedikit yang harus rawat inap juga rendahnya angka kematian meski virus terus beredar," katanya.

Jika melihat sejarah pandemi flu 1918, setelah beberapa tahun fatal virus yang menyebabkan pandemi 1918 akhirnya mereda. "Ketika kekebalan populasi dari infeksi meningkat, kematian infeksi meningkat, kematian menurun, dan virus menjadi influenza musiman yang kurang mematikan meskipun keturunannya masih beredar sampai sekarang," katanya.

Meski sudah tidak lagi menjadi pandemi, dikatakannya, virus dari flu 1918 tidak hilang sepenuhnya. Diharapkan kondisi tersebut juga terjadi pada Covid-19, di mana terjadi perubahan status dari pandemi ke endemi. "Saat ini yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menuju situasi di mana kita memiliki begitu banyak kekebalan dalam populasi, sehingga kita tidak akan lagi melihat epidemi yang sangat mematikan," katanya.


Tiga Skenario Pandemi Menuju Endemi - (infografis republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler