Kisah Dosen Karantina Covid-19 di Amerika (Bag 3), Mengurai Masalah di Bandara

Tim dari Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di New York datang memberi bantuan, akan karantina dimana kami ?

network /Kampus Republika
.
Rep: Kampus Republika Red: Partner
Penulis dan Ayahnya ketika mengunjungi RV Show di Tampa, Florida, Amerika Serikat. Foto : Dok. Maya

Sudah berjam-jam aku menunggu di Bandara JFK New York. Nasibku dan Ayah masih belum jelas, apakah akan kembali ke Fort Myers, Florida atau karantina di New York.


Tiba-tiba pesan WA masuk ke handphone ku. Ternyata dari suami. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 13.24 siang, berarti dini hari di Indonesia. Rupanya suami di Indonesia tidak bisa tidur. Dia terus mengontak kesana-sini. Menurutnya agak susah mengontak teman-teman di Jakarta karena sudah pada tidur. Sejumlah pihak di New York pun dihubunginya.

Baca kisah sebelumnya :

Kisah Dosen Indonesia Karantina Covid-19 di AS (Bag 1) Mau ke Jakarta Terdampar di New York

Kisah Dosen Indonesia Karantina Covid-19 di AS (Bag 2) Nasib tak Jelas di Bandara JFK

Kelima anakku tak kalah kalutnya di rumah. Tak ada yang bisa tidur. Mereka sibuk mencari alternatif agar aku bisa menitipkan tas di storage sewaan jika jadi kembali ke Florida. Ada yang mencari alternatif hotel di New York. Yang tidak sibuk, tak henti berdoa agar ibu dan kakeknya diberikan keselamatan.

Dalam pesannya, suami memberi beberapa nomor telepon staf Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di New York. Kebetulan sebelum pandemi suami sempat berkunjung ke New York dan bermalam di Wisma PTRI. Suami meminta aku telepon, paling tidak meminta masukan sebaiknya bagaimana. Aku jawab, aku tidak bisa menelepon selain melalui whatsapp karena tidak mengaktifkan nomor Amerika atau pun mengaktifkan fasilitas telepon dengan nomor Indonesiaku.

Namun akan kusampaikan ke kakak. Hanya saja sampai detik itu kakak belum membalas WA atau meneleponku. Mungkin dia sibuk. Belakangan aku tahu ternyata kakakku ditelepon pihak asuransi Emirates dari London dan mencoba mengurus ini itu.

Di tengah chat dengan suami, aku lihat Ayah berjalan menghampiriku. "Kenapa Pak? Disini ga ada tempat duduk. Enakan tunggu disana aja, " saranku pada Ayah.

Rupanya karena suhu yang sangat dingin membuat ayah ingin ke toilet. Meski baterai HP belum penuh, segera kucabut kabel charger dan beranjak dari meja untuk mengantar Ayah ke arah toilet.

Di sekitar meja charger tidak ada kursi. Untuk mengatasi agar tidak pegal, aku duduk di tas kabin yang kubawa. Lumayan juga tas ini bisa menahan tubuh dengan beban lebih dari 60 kg.

Area lantai 1 tersebut memang tidak menyediakan tempat duduk, karena ini jalur keluar penumpang. Tempat ini juga diperuntukkan bagi penumpang yang akan menggunakan taksi umum atau taksi Uber, maupun yang dijemput langsung oleh keluarga.

Arah toilet harus melewati klinik Xpress tempat pemreiksaan PCR tadi. Setelah kuantar Ayah, kami kembali ke klinik karena disini disediakan tempat duduk bagi penumpang yang menunggu hasil PCR. Tak lama kami duduk rupanya petugas klinik yang tadi masih mengenali kami, menghampiri serta menanyakan apakah jadi pulang ke Florida atau karantina di New York.

Aku mencoba bertanya bila karantina, berapa lama harus dijalani oleh Ayah. "Minimal lima hari itu yang wajib. Apalagi Ayah Anda tidak bergejala. Tapi bisa juga sampai sepuluh hari tergantung kondisinya. Bila nanti ada masalah dengan medis, biasanya akan diteruskan dibawa ke rumah jakit," jelasnya.

Lima hari? Berarti kami harus menunggu kepulangan sekitar lima hari lagi ? "Kalau harus karantina apa yang harus saya lakukan dan karantina dimana?" tanyaku.

Petugas tersebut kemudian menyarankan agar aku segera menuju ke pintu luar, karena disana ada informasi mengenai karantina. "CDC yang menangani karantina Covid, "tambahnya. "What’s CDC?" timpalku bingung. "CDC yang akan mengontrol dan menangani Covid, orang-orang yang dikarantina akan ditangani dengan baik. Nanti akan ada penerjemah bila orang tersebut tidak bisa berbahasa Inggris," jelasnya lagi.

Duh, mungkin CDC itu seperti satgasnya Covid di Indonesia pikirku. Padahal aku ingin tahu kepanjangannya. Ya sudah lah nanti aku cari aja. Sekarang aku harus mencari informasi tentang tempat karantina ke depan pintu keluar.

Aku pun mengucapkan terima kasih kembali padanya. Sekaligus mengatakan pada Ayah agar menunggu disitu saja biar bisa duduk. Meski terlihat raut wajah Ayah yang masih menyimpan kebingungan dan ketakutan, aku segera berbegas menuju ke pintu keluar.

Counter Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Bandara JFK New York. Foto : Dok Maya

Aku mencari CDC. Hampir mendekati pintu keluar, tapi aku belum menemui informasi mengenai tempat karantina termasuk CDC tersebut. Belakangan aku tahu CDC adalah Centers for Disease Control and Prevention yakni Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit. Lembaga ini adalah bagian dari US Department of Health and Human Services atau Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan yakni se-tingkat kementerian pada pemerintah federal. Misi dasar CDC adalah untuk mengendalikan dan mencegah penyakit menular dan kronis sekaligus menganjurkan terciptanya kesehatan yang baik.

Belum ketemu loket informasi atau counter CDC, telepon masuk datang dari kakak yang memberitahu bahwa tadi kembali telepon dengan pihak asuransi. Agak ribet katanya, karena kantor pusatnya di London. Tapi pihak asuransi menyarankan agar segera saja menjalankan karantina untuk Ayah. Bila ada biaya yang harus dikeluarkan nanti akan dibayarkan belakangan atau reimbust.

Kakakku pun menyampaikan mengenai jadwal kereta hanya ada malam dari New York. Itu pun akan menyulitkan kami bila harus ke stasiun dan sebagainya. Aku pun menyampaikan sepertinya memang akan repot bila harus kembali ke Fort Myers dengan kereta.

Tak lupa aku sampaikan mengenai karantina oleh CDC yang dijelaskan oleh petugas tadi. Aku pun meminta kakak untuk menelpon pihak CDC untuk prosedur dan sebagainya. Sebelumnya kusampaikan agar kakak telepon juga ke PTRI untuk meminta masukan dengan kasusku ini.

Karena sudah meminta kakak menghubungi pihak CDC aku pun kembali ke tempat Ayah. "Jadi udah ada kabar bapak kamana? Balik lagi ke Florida atau karantina disini. Bapak mah dimana aja deh. Kalau sampai bapak meninggal gara-gara Covid, kuburin dimana aja ga pa-pa. Sarua lah (Sama sajalah), mati mah dimana saja. Nu (yang) penting dikubur cara Islam."

Duh, aku kaget luar biasanya. Aku yakin Ayah pasti sudah lelah karena ketidakpastian ini. Sampai bicara soal kematian.

Padahal aku sangat tahu, kenapa Ayah tidak mau berlama-lama di Amerika ketika diminta kakak untuk memperpanjang tinggal disana, karena khawatir tidak ada umur. Sebab ia ingin bila meninggal dikubur di Tanah Air tercinta.

Ayah mestinya bisa lama di Amerika. Kami mendapat visa dari kedutaan Amerika di Indonesia untuk lima tahun. Bahkan ijin kami tinggal pun diberikan oleh pihak imigrasi JFK New York untuk enam bulan. Tapi tetap saja masuk minggu ketiga di Amerika, Ayah sudah minta pulang.

Aku mencoba menghibur. Kusampaikan bahwa Ayah akan baik-baik saja. Jangan khawatir dengan covid, apalagi Ayah tak ada gejala. Hanya karena peraturan kesehatan terkait covid yang mengharuskan Ayah wajib dikarantina.

"Tenang Pak, karantina sebentar ko. Bapak juga kan sehat ga batuk ga pilek, hanya dalam tubuh Bapak ada virus corona," jelasku menenangkan sambil membenarkan letak masker Ayah yang mulai miring.

Ayah hanya diam. Aku tidak tahu apa ayah mendengar atau tidak yang pasti raut wajahnya menunjukkan antara pasrah dan khawatir.

Jam sudah menunjukkan pukul 14.15, tapi nasib kami belum jelas. Ada panggilan masuk dari Kang Iman. Duh senangnya. Dari seberang terdengar bahwa kakak sudah berhasil mengontak pihak CDC terkait karantina Ayah.

"Masalahnya yang akan dikarantina hanya Bapak. Untuk yang positif aja. Jadi Bapak hanya sendiri. Ga bisa didampingi dengan keluarga yang negatif. Mereka bilang fasilitas lengkap termasuk nanti akan disiapkan penerjemah buat Bapak. Akang udah coba jelasin kondisi Bapak yang ga bisa dengar, tapi tetap aja harus karantina sendiri. Sarannya, Neng nanti tinggal di sekitar hotel dekat karantina, " papar kakak panjang lebar.

Kami pun berdiskusi bagaimana sebaiknya, karena sangat tidak mungkin bila Ayah harus karantina sendiri. Aku pun menyampaikan kondisi Ayah yang sudah mulai bete. Seperti orang menahan marah dan kesal, tapi tidak tahu harus ke siapa.

Akhirnya kakak mengusulkan untuk menginap di hotel yang dekat dulu agar kami bisa beristirahat. Mengenai karantina baru akan dibahas kemudian. Aku pun setuju. Percakapan kami tutup, karena kakak akan coba mencarikan hotel untuk menginap kami malam itu.

Setelah telepon sana sini akhirnya kakak, aku, dan suami memutuskan agar kami beristirahat dulu di hotel. Ketika mencari hotel, tidak sedikit yang menolak ketika diberitahu salah satu dari kami positif. Akhirnya ada juga hotel yang mau menerima, yakni Hotel Radisson JFK. Itu hotel yang terdekat dari airport dan kami bisa dijemput oleh shuttle bus.

Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore lebih di JFK Airport. Segera aku meminta Ayah menunggu karena aku harus ke counter Emirates untuk mengambil tas kami yang sudah masuk bagasi.

Kutemui petugas di ujung counter. Setelah mengurus ini itu aku diminta menunggu. Perempuan berwajah India tersebut mengatakan proses pengambilan tas akan memakan waktu yang lumayan lama. Aku pun mengiyakan karena sebelumnya sudah diberitahu kakak.

Sudah hampir jam 6 petang, namun belum juga tas tersebut diantarkan. Akhirnya aku turun dulu ke lantai 1 untuk menjemput Ayah yang menunggu di bawah. Begitu menemui Ayah, kulihat wajahnya masih memendam rasa kesal, marah atau apalah. Jarang aku melihat wajah Ayah seperti itu.

Aku termasuk anak yang tidak pernah dimarahi Ayah. Seingatku Ayah tidak pernah memarahiku apalagi membentakku. Pernah lah waktu jaman kuliah, itu pun karena kesalahanku saat membantu memperbaiki mobil aku malah main-main.

Kedua adikku bahkan bila ada masalah selalu memintaku untuk berbicara pada Ayah."Teteh aja ya yang bicara ke Bapak, ke Teteh mah ga berani marah," begitu ujar adik-adikku sambil tersenyum-senyum. Jadi melihat Ayah seperti ini aku aga was was juga. Dan benar saja, begitu mendekat nada bicara Ayah tajam.

"Kemana aja? Bapak kan belum shalat, dingin, lapar." Duh, selama ini Ayah itu tidak pernah bilang atau mengeluh kelaparan. Pasti ini karena rasa kecewa yang amat sangat. Aku pun menjawab bahwa proses keluarnya bagasi memang lama. Justru aku menemui Ayah untuk mencari makan dulu dan mengajak pindah ke lantai 4.

Namun karena hanya ada donut Ayahku tidak mau. Akhirnya kami ke lantai 4, kebetulan sekitar counter chek in Emirates sebelum masuk ke gate imigrasi ada beberapa tempat duduk yang diperuntukan untuk disabilitas dan lansia. Aku meminta Ayah menunggu disana.

Aku tempatkan Ayah agak jauh dari kerumunan orang, karena bagaimana pun kami harus menjaga keamanan bersama mengingat Ayah sudah dinyatakan positif. Jadi sambil menunggu tas aku tetap bisa mengawasi Ayah.

Aku pun meminta Ayah untuk shalat sambil duduk saja. (Kemudian hari kami baru menemukan mushala ternyata ada di lantai 4). Sebenarnya kakak ipar membekali kami satu tas snack, namun karena sebagian besar rasanya manis Ayah menolak memakannya. Untungnya ada beberapa apel rockit, jadi aku minta untuk memakan apel dulu saja.

Tepat pukul 18.47 ada pesan dari suami, isinya mengabari bahwa nanti ada dari staf PTRI yang akan menghubungiku. Rupanya suamiku yang tidak tidur terus mencari kontak pihak PTRI di New York yang bisa membantu.

Aku diminta standby dan HP jangan sampai kehabisan baterai. Kebetulan menurut suami ada sejumlah staf PTRI yang sedang ada di sekitar airport. Mereka sudah diminta atasannya untuk mengurus keperluanku dan Ayah.

Mudah-mudahan bantuan segera datang. Aku harap-harap cemas menunggu.

Benar saja sekitar jam 7 malam hampir bersamaan ada dua pesan masuk. Dua-duanya nomor dengan kode (+1). Ini mungkin dari pihak PTRI, pikirku. Segera kubuka pesan pertama yang masuk. "Selamat malam Mbak Maya, izin saya Randy dari PTRI NY. Kami saat ini stand by di JFK, Mbak Maya saat ini di Terminal berapa yaa agar tim PTRI dapat jemput ke sana." Begitu pesan yang kubaca.

Alhamdulillah. Rasa legaku tak terkira. Senang luar biasa, mendengar ada orang Indonesia yang akan segera menemui kami. Aku terdiam sesaat. Terasa mendapat tenaga baru. Padahal aku sudah lelah tak terkira. Kelaparan dan kedinginan. Sudah lebih dari 10 jam kami tertahan di Bandara JFK.

Akupun membalas pesan dari Mas Randy, dan mengabarkan bahwa kami ada di terminal 4 di counter Emirates

Aku juga mengabari kakak. Sama, kakak pun ikut merasa senang dan lega.

Mas Randy, tim dari Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di New York yang memberi bantuan di Bandara JFK. Foto : Dok Maya

Mata ku masih tertuju ke HP karena masih chat dengan Kakak namun tiba-tiba aku merasa ada yang datang ke arahku. Dan tampak seorang anak muda berpakaian rapi lengkap dengan jas dan dasi menghampiriku dan langsung menyapa. Ternyata itu Mas Randy, staf PTRI yang tadi mengirim pesan. Beliau tidak sendiri dari PTRI, tapi bertiga dengan Mas Budi dan Mas Donny.

Setelah aku ceritakan singkat kronologi masalah kami dari pagi tadi, pihak PTRI pun menyampaikan bahwa kami tidak perlu khawatir karena mereka akan segera mengurus keperluan kami. Kami akan dibawa ke Wisma PTRI. Duh, lega rasanya.

Salah satu dari mereka pun mendekati petugas Emirates dan kembali menanyakan mengenai proses tasku. Tak lupa aku pun menujukkan tempat Ayah menunggu. Mereka memintaku agar menemani Ayah yang duduk sendiri, dan tas akan mereka urus.

Sebelum menemui Ayah, aku berinisiatif untuk mengambil troli persiapan untuk tas kami dari bagasi. Segera aku menuju ke pintu luar yang merupakan pintu kedatangan tempat jejeran troli berada.

Begitu sampai luar, udara dingin menusuk ke tubuhku. Aku pun melihat beberapa orang berlari-lari untuk menghindari angin yang lumayan kencang. Sempat-sempatnya ku lirik HP untuk melihat berapa suhu disana. Ternyata, minus 8 derajat Celcisius. Wuiih pantas dingin sekali. Pertama kalinya aku berada di udara seperti ini. Aku pun segera memasukkan tangan ke dalam saku jaket.

Sampai di tempat troly setelah memasukkan uang sebanyak 6 dolar AS troly pun bisa aku ambil satu. Segera aku menuju kembali ke dalam dan menemui Ayah. Kususun tas kabin kami di troly tersebut. Sambil menyampaikan kepada Ayah bahwa dari pihak PTRI sudah datang menjemput dan akan membawa kami ke wisma. Wajah Ayah sedikit berubah.

Setelah selesai aku pun baru ingat belum membaca pesan yang tadi masuk. Ternyata dari Bu Yvonne salah satu diplomat di PTRI. Dia menanyakan apa aku sudah bertemu dengan Mas Randy. Segera aku jawab bahwa aku sudah bertemu dengan tim dari PTRI. Tidak lupa aku mengucapkan terima kasih.

Belakangan aku tahu dari suami, Bu Yvonne lah yang dikontak dari Jakarta. Saat ke New York sebelumnya suamiku sempat bertemu Bu Yvonne. Menurut cerita suami, Bu Yvonne kemudian melaporkan ke atasannya, dan pihak PTRI memutuskan untuk mengirim tim yang kebetulan sedang ada di Bandara JFK.

Panggilan masuk pun datang dari kakak, aku menyampaikan padanya agar membatalkan booking hotel, karena kami akan segera dibawa ke wisma. Kakak bertanya berapa lama tinggal di wisma, dan apakah boleh karantina disana. Berapa lamanya aku tidak tahu. Saking senangnya ada saudara sebangsa yang datang, aku sampai lupa menanyakannya.

Segera aku menemui Mas Randy dan menanyakan mengenai ini. Aku berikan handphone kepada Mas Randy agar kakak berbicara langsung. Perbincangan mereka cukup lama dan serius. Dan diputuskan bahwa Ayah akan dibawa ke tempat karantina yang disediakan oleh CDC. Aku pun melihat Mas Randy sibuk menelepon beberapa pihak terkait.

Sementara kami ditemani Mas Budi. Petugas Emirates pun menemui kami dan mengabari bahwa tas sudah bisa diambil lebih cepat, namun harus ke lantai 1. Mas Donny pun mengatakan bahwa aku cukup tunggu di lantai 4 saja. Biar mereka yang mengurus.

Segera aku berikan tanda bukti pengambilan bagasi. Tak lupa aku sampaikan bahwa tas kami banyak dan berat. Terbayang dong bagaimana nanti mereka akan direpotkan dengan tas-tas itu.

Kakak mengontakku kembali dan mengatakan bahwa Ayah akan dibawa ke LaGuardia Plaza Hotel tempat resmi karantina yang dikelola CDC. Kabar baiknya, aku boleh tinggal disana juga namun tidak boleh satu kamar. Jadi aku tidak perlu ke wisma. Kakak menyampaikan nanti akan ada yang menjemput yakni dengan Uber untuk membawa kami ke LaGuardia.

Mas Randy pun mengabariku bahwa dataku dan Ayah sudah masuk ke CDC jadi nanti kami akan diantarkan kesana. Pihak PTRI pun sudah melobby agar aku bisa tinggal di hotel yang sama. Namun tetap nanti aku akan terpisah.

Di satu sisi aku senang Ayah akan terpantau dengan baik karena ada tim medis lengkap disana, akupun bisa tetap dekat dengan Ayah. Namun bagaimana nanti Ayah berkomunikasi dengan tim medis atau petugas disana. Atau bila ada apa-apa apakah Ayah bisa mendengar? (Ini terbukti belakangan ketika kami menginap di tempat karantina, ada alarm kebakaran berbunyi Ayah tidak mendengar sama sekali.) . Ya sudahlah bagaimana nanti, aku akan minta kamar yang tersambung dengan Ayah, pikirku.

Tak sampai setengah jam Mas Donny dan Mas Budi sudah kembali dari lantai 1 dan meletakkan tas kami dekat pintu keluar. Mas Budi pun menghampiri kami. Mengatakan bahwa tas sudah siap. Pihak PTRI pun menghubungi CDC dan kakak untuk mengonfirmasi bahwa kami sudah siap dijemput.

Sekitar 15 menit kemudian Mas Randy menerima telepon yang ternyata mengabarkan jemputan kami sudah tiba. Tim PTRI pun segera keluar sambil membawa tas kami. Kami tetap diminta menunggu mengingat udara di luar yang sangat dingin.

Mas Randy menghampiriku dan menyampaikan karena aku negatif, maka kami akan dibawa ke tempat karantina terpisah dengan dua mobil. Jadi aku akan mulai dipisahkan dengan Ayah. Aku dan Ayah dengan di dampingi tim PTRI segera keluar dan menghampiri dua taksi Uber. Tak lupa Mas Budi menyampaikan ke sopir taksi bahwa pendengaran Ayah tidak baik. Ayah pun segera masuk ke dalam mobil pertama.

Tapi ada rasa was-was dalam hatiku. Karena setelah satu bulan lebih aku bersama Ayah di Amerika, kali ini dengan kondisi Ayah yang positif covid, harus terpisah mobil meski sementara.

Aku pun bergegas masuk ke mobil kedua. Tak lupa aku menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada tim PTRI sebelum berpisah. Sungguh bantuan mereka sangat berarti bagi kami. Aku merasa negara hadir buat kami di negeri orang dalam kondisi ketidakpastian, lapar, dan kedinginan.

Mobil pun melaju meninggalkan bandara JFK, menuju ke LaGuardia Plaza Hotel yang terletak di kawasan East Elmhurst, New York. Fiuuhhh drama di bandara selesai. Satu masalah terpecahkan. Tempat karantina sudah didapat.

Duh, mobil Ayah sudah sampai mana ya ? Semoga jarak kami tidak terlalu jauh.

.

Maya May Syarah

Dosen Komunikasi Universitas Bina Sarana Informatika (Universitas BSI) dan Universitas Ibn Khaldun (UIKA ) Bogor

Baca juga :

Ini Tips Menghindari Berita Hoax

Pandemi Covid-19 Belum Berakhir, Kunjungi Museum Virtual Seperti Nyata, Ini Linknya

Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id.Silakan sampaikan masukan, kritik, dan saran melalui e-mail : kampus.republika@gmail.com

sumber : https://kampus.republika.co.id/posts/80118/kisah-dosen-karantina-covid-19-di-amerika-bag-3-mengurai-masalah-di-bandara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler