Penolakan Rencana Pelabelan Risiko BPA Galon Isi Ulang Disayangkan

Sejumlah akademisi tolak rencana BPOM cantumkan label risiko BPA galon isi ulang

ANTARA/Wahyu Putro A
Ilustrasi galon isi ulang. Sejumlah akademisi tolak rencana BPOM cantumkan label risiko BPA galon isi ulang
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Penolakan sejumlah kalangan akademisi terhadap rencana strategis Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerapkan aturan pelabelan risiko Bisfenol A (BPA), bahan campuran kimia yang bisa menyebabkan kanker dan kemandulan, pada galon guna ulang berbahan plastik keras polikarbonat patut disayangkan.   

Baca Juga


Pemerhati ekonomi sirkular dari Nusantara Circular Economy & Sustainability Initiatives (NCESI), Yusra Abdi, mengingatkan akademisi tak terseret dalam pusaran penolakan itu.     

Yusra berpendapat, menyudutkan BPOM yang justru ingin melindungi kesehatan publik dengan mempersoalkan kemungkinan membengkaknya sampah plastik sekali pakai paska berlakunya kebijakan pelabelan BPA sama saja memberi angin pada lobi industri.

Pernyataan Yusra merespons guru besar Bidang Ilmu Manajemen Stratejik Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran, Martha Fani Cahyandito, dalam sebuah webinar bertajuk "Menuju Transformasi Ekonomi Hijau : Kendala dan Solusi" pada Rabu, 16 Maret lalu. 

Dalam webinar itu, Fani mempertanyakan efektivitas rencana pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang, kini dalam proses pengesahan di Sekretariat Kabinet. 

Menurut Fani, pelabelan BPA bisa memicu peningkatan sampah plastik, dimana publik akan tergerak beralih ke galon sekali pakai yang bebas BPA. 

Dia juga menggambarkan rencana pelabelan bakal memicu persaingan usaha serta kemungkinan dampaknya pada pengurangan  tenaga kerja di industri air minum dalam Kemasan. 

Namun Yusra bilang kritik semacam itu salah kaprah dan praktis hanya mendaur ulang penentangan dari pihak industri, utamanya Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin). "Lobi industri sejak awal menggrosir beragam dalih untuk mengerdilkan rencana BPOM," katanya. 

"Salah satunya adalah dengan menyebut aturan pelabelan risiko BPA bakal menambah jumlah sampah plastik karena publik bakal terdorong untuk meninggalkan galon guna ulang dan beralih ke galon sekali pakai yang bebas BPA."

Bila mau jujur, ujar Yusra, semua air mineral non-galon yang beredar di pasar, kecuali kemasan gelas yang berbahan plastik polypropylene, menggunakan kemasan plastik sekali pakai dari jenis Polyethylene Terephthalate (PET), plastik lunak yang bebas BPA.

"Penjualan terbesar produsen air kemasan terbesar di Indonesia, salah satunya bersumber dari penjualan kemasan single pack size yang semuanya berbahan PET alias sekali pakai," kata Yusra. 

"Bila masalahnya memang plastik sekali pakai, mengapa asosiasi industri tidak pernah mempersoalkan potensi sampah dari penjualan produk sekali pakai mereka yang masif itu?"

Yusra menyebut persoalan sampah plastik air kemasan yang tercecer di lingkungan dipicu beragam faktor. Salah satunya adalah tingginya produksi kemasan ukuran gelas yang lebih mudah tercecer dan mengotori lingkungan.

Faktor lain adalah rendahnya kesadaran masyarakat dalam memilah sampah plastik, sehingga plastik yang seharusnya didaurulang oleh industri justru tercecer di lingkungan terbuka.

Lebih jauh, menurut Yusra, BPOM tidak melarang penggunaan galon guna ulang dari plastik keras atau sebaliknya mendorong publik mengkonsumsi galon dari plastik lunak yang bebas BPA. 

BPOM, menurutnya, sebatas ingin memberlakukan kebijakan pencantuman label peringatan atas risiko BPA agar konsumen air galon mendapat informasi menyeluruh, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 

Akhir Desember lalu, Kepala BPOM, Penny K Lukito, mengimbau industri AMDK ikut memikirkan potensi bahaya BPA pada air minum galon berbahan plastik keras polikarbonat yang beredar luar di masyarakat.    

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler