Pertamax Naik, Pengamat: Subsidi Pertalite Bisa Jebol dan Kerek Inflasi

Pengamat menyebut shifting warga ke Pertalite bisa bebani APBN

Prayogi/Republika.
Seorang konsumen bersiap mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu (30/3/2022). Komisi VI DPR RI mendukung penyesuaian harga BBM non subsidi mengikuti harga keekonomian minyak dunia untuk menjamin kesehatan keuangan Pertamina dalam menjalani penugasan pemerintah.Prayogi/Republika.
Rep: Intan Pratiwi Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) akhirnya mengantongi restu dari beberapa menteri untuk menaikan harga jual BBM RON 92 atau Pertamax. Kenaikan harga jual ini menyusul kondisi harga minyak dunia yang terus melonjak naik akibat kondisi geopolitik dunia.

Baca Juga


Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahja Purnama juga menegaskan melalui restu pemerintah maka kenaikan harga Pertamax akan berkisar di angka Rp 12 ribu per liter.

"Dibawah Rp 12.900 lah, berkisar antara Rp 12.450 sampai Rp 12.600 per liter lah," ujar Basuki kepada Republika, Kamis (31/3).

Sementara itu, Direktur Utama Subholding Commercial and Trading Pertamina Alfian Nasution menjelaskan secara hitungan keekonomian saat ini Pertamax berada di angka Rp 14 ribu per liter. Sehingga Pertamax saat ini dijual di bawah keekonomian. 

Artinya, sebenarnya Pertamina masih harus merugi menjual Pertamax."Di bawah dari angka keekonomian. Sebab, kita masih melihat juga dampaknya ke konsumen," ujar Alfian.

Per Ferbuari 2022, konsumsi Pertamax mencapai 21 persen dari total konsumsi BBM nasional. Meski 21 persen, kata Alfian sebenarnya yang mengkonsumsi Pertamax adalah kalangan menengah keatas, yang secara kemampuan financial tidak bermasalah dibandingkan kelompok subsidi.

Sayangnya, disatu sisi saat Pertamina mendesak pemerintah untuk memberi restu menaikan harga Pertamax, Pemerintah juga memutuskan untuk menjadikan BBM RON 90 atau Pertalite sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) sejak 10 Maret melalui Kepmen ESDM No 37.K/HK.02/MEM.M/2022.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji menjelaskan nantinya pemerintah akan memberikan subsidi berupa kompensasi penjualan Pertalite kepada Pertamina. Uang yang dipakai untuk membayar kompensasi ini melalui APBN.

"Premium sudah tidak dijual lagi, saat ini yang menjadi JBKP adalah Pertalite," ujar Tutuka.

Tutuka juga menjelaskan dengan dijadikannya JBKP, maka harga jual Pertalite ke masyarakat juga ditahan. Perlakuan yang sama yang sempat dilakukan pemerintah kepada jenis BBM RON 88 atau Premium.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Muhammad Faisal menilai kondisi sengkarut BBM hari ini akan berimbas kepada masyarakat. Apalagi, dengan keputusan pemerintah memberikan restu kepada Pertamina untuk menaikan harga Pertamax maka gap harga antara Pertamax dan Pertalite menjadi sangat jauh.

Saat ini Pertalite dibanderol Rp 7.650 per liter. Pertamax rencananya akan dibanderol Rp 12.000 per liter. "Karena beda harga dengan pertalite hampir 5000, jadi shifting konsumsi sangat akan signifikan," ujar Faisal kepada Republika.

Kondisi ini juga akan mengerek inflasi, kata Faisal. Meski memang tidak akan berdampak langsung pada sektor pangan tetapi akan berdampak langsung pada sektor transportasi. "Walau tidak berdampak langsung terhadap kenaikan bahan pangan, tapi setidaknya di sektor transportasi," tambah Faisal.

Faisal menilai, saat ini pemerintah harus memitigasi kemungkinan shifting konsumsi ini. Tak hanya dari sisi ketersediaan stok, tetapi juga dari ketahanan anggaran. Dengan adanya potensi shifting maka beban APBN terhadap subsidi Pertalite akan melonjak.

"Ya sangat perlu, untuk melihat kebutuhan subsidi efek dari peningkatan penggunaan pertalite setelah harga pertamax naik," ujar Faisal.

Data dari PT Pertamina (Persero) menunjukan bahwa realisasi konsumsi Pertalite hingga Februari kemarin mencapai 78 persen dari total konsumsi BBM. Sedangkan Pertamax hanya 21 persen dari total konsumsi BBM.

Merujuk data ESDM, pemerintah membatasi penyaluran Pertalite pada 2022 ini sebesar 23,05 juta KL. Angka ini didapat dari rerata harian konsumsi Pertalite di 2021. Namun, kondisinya saat ini konsumsi Pertalite saja sudah melebihi kuota bulanan.

Realisasi serapan Pertalite dari Januari hingga Februari 2022 mencapai angka 4,2 juta KL atau lebih 18,5 persen dari kuota bulan Februari. ESDM memprediksi bahwa hingga akhir tahun nanti konsumsi Pertalite bisa mencapai 26,5 juta KL.

Data BPH Migas menunjukan per 27 Maret 2022 stok Pertalite berada di angka 1,15 juta KL. Merujuk stok ini, maka ketahanan energi khusus Pertalite mencapai 15,7 hari.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler