Waka Baleg DPR: Tak Semua Hal Bisa Diakomodasi di RUU TPKS

wakil Ketua Baleg DPR mengatakan tidak semua hal bisa diakomodasi dalam RUU TPKS.

Republika/Nawir Arsyad Akbar
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan tidak semua hal bisa diakomodasi dalam RUU TPKS.
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan, pihaknya tak bisa menampung seluruh aspirasi terkait kekerasan seksual dalam rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Salah satunya adalah dicabutnya Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Baca Juga


"Gini, kalau permintaan semua teman-teman itu diakomodir, ya mabuk lah kita," ujar Willy di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (4/4/2022).

Kendati demikian, panitia kerja (Panja) RUU TPKS justru memasukkan materi muatan terkait dana bantuan korban atau victim trust fund (VTF). Poin tersebut diketahui merupakan usulan dari sejumlah kelompok masyarakat.

"Bayangkan, victim trust fund tidak ada di (DIM) DPR-pemerintah, tahu-tahu bisa masuk. Kurang apa komitmen kita terhadap teman-teman itu," ujar Willy.

Adapun hari ini, Panja RUU TPKS akan membahas tiga daftar inventarisasi masalah (DIM). Ketiganya adalah dua DIM untuk kekerasan seksual berbasis elektronik dan satu DIM terkait eksploitasi seksual.

"Kita tentu berharap sudah diparipurnakan sebelum, ya paling telat 14 April lah ya, sesuai dengan jadwal yang sudah kita susun," ujar Ketua Panja RUU TPKS itu.

Selain tak mencabut Pasal 27 Ayat 1 UU ITE, aborsi tak dimasukkan ke dalam RUU TPKS. Hal itu dilakukan agar tak adanya tumpang tindih antara RUU TPKS dengan peraturan perundang-undangan yang lain.

Berdasarkan penjelasan pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, perkosaan tak masuk ke dalam RUU TPKS karena sudah diatur di revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Sementara itu, aborsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam 75 Ayat 1 UU Kesehatan dijelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi.

Namun, terdapat pengecualian untuk dua hal yang diatur dalam Pasal 75 Ayat 2 UU Kesehatan. Pertama adalah indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.

"Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan," tertulis dalam poin kedua ihwal pengecualian melakukan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 Ayat 2.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler