Anggota DPR: Kebijakan BLT Minyak Goreng tak Bisa Tutupi Kegagalan Manajemen Pangan
Anggota DPR sebut kebijakan BLT migor tak bisa tutupi kegagalan manajemen pangan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai telah gagal melakukan manajemen pangan jelang bulan puasa tahun ini. Sebagai contoh, mulai dari persoalan minyak goreng yang akhirnya merembet ke kebutuhan pokok lain.
Anggota Komisi IV DPR RI Slamet mengatakan, naiknya bahan pangan minyak goreng di awal Ramadan tahun ini tidak terlepas dari lemahnya sikap pemerintah terhadap para pengusaha. Menurutnya, pemerintah mempunyai kewenangan tetapi tidak di gunakan untuk menekan para pengusaha dalam memainkan harga.
"Stok menurut kementerian teknis cukup tetapi kenapa harganya naik. Kedua, rakusnya para pengusaha kita yang tidak mau berempati kepada kesusahan rakyat namun mereka hanya memikirkan keuntungan ekonominya saja," ujar Slamet, Selasa (5/4/2022).
Sehingga, menurut dia, keduanya ini sangat klop yakni lemahnya pemerintah dan rakusnya para pengusaha sehingga membuat harganya menaik. Selain itu, lanjutnya, tidak adanya tindakan pemberian sanksi kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Dimana ia menilai Kemendag yang sangat kasat mata telah gagal menjadi perpanjangan tangan Presiden dalam mengantisipasi gejolak harga. Dan termasuk soal kecukupan pasokan pangan. Sehingga membuat pemerintah semakin menunjukkan lemahnya tata manajerial ditengah situasi yang tidak begitu kondusif.
"Seharusnya Presiden sudah me-reshuffle Menteri perdagangan yang sudah gagal mengantisipasi kelangkaan bahan pangan pokok," tegas Slamet.
Ia juga turut menyoroti tentang Bantuan Langsung Tunai (BLT) Minyak goreng yang dinilainya sebagai kebijakan populis untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam mengelola pangan. BLT Minyak goreng itu, Slamet menilai merupakan kebijakan populis untuk menutupi kegagalan pemerintah mengelola pangan.
Berkaca pada semrawutnya pembagian bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19, ia memperkirakan, pengucuran BLT minyak goreng ini juga rentan salah sasaran dan bisa menjadi alat politik sesaat. Karena pemerintah harus memastikan calon penerima BLT ini dapat tepat sasaran.
"Selain itu pemerintah juga harus mempertimbangkan BLT-BLT yang lain, misalnya gas dan BBM yang disaat yang hampir bersamaan mengalami lonjakan yang tidak sedikit," tuturnya.